Makna Ketekunan di Era Algoritma: Belajar dari Pekerja Jalanan Digital Dalam lautan data dan kecepatan algoritma, ada manus...
Makna Ketekunan di Era Algoritma: Belajar dari Pekerja Jalanan Digital
Dalam lautan data dan kecepatan algoritma, ada manusia-manusia yang bekerja dalam diam. Mereka tidak dikelilingi sorotan layar, tidak dikenal di media sosial, tetapi terus menunaikan tugas dengan hati yang penuh kesungguhan. Salah satunya adalah seorang driver ShopeeFood bernama Lody Aulian. Angkanya tampak sederhana: 2.759 pengantaran dalam 1.486 hari. Namun di balik angka itu, ada kisah yang tidak bisa dibaca mesin — tentang ketekunan, kesabaran, dan makna kerja yang sejati.
Lody bukan bagian dari elite digital, tapi ia hidup dalam sistem yang ditentukan oleh rating dan algoritma. Setiap hari ia berinteraksi dengan layar, sinyal, dan waktu yang terus mengejar. Namun dari data sederhana itu, tampak bahwa ia bekerja dengan ritme yang manusiawi — rata-rata dua pesanan per hari, tapi dengan kesempurnaan nilai 5.0 dari pelanggan. Ia tidak mengejar jumlah, melainkan menjaga kualitas. Ia hadir di jalan sebagai wajah kejujuran di dunia yang semakin mekanistik.
Kerja sebagai Jalan Sunyi
Bekerja di era digital bukan hanya tentang efisiensi, tapi juga tentang menjaga nurani. Setiap perjalanan, setiap pengantaran, adalah bentuk ibadah kecil yang menuntut kesabaran dan ketelitian. Dalam pandangan Islam, kerja adalah bagian dari amal yang kelak diperlihatkan kepada Tuhan.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ
“Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu.” (QS. At-Taubah [9]: 105)
Ayat ini menegaskan bahwa kerja bukan hanya perintah sosial, tetapi juga perintah spiritual. Tidak ada kerja yang sia-sia bila dilakukan dengan hati. Dalam kesunyian jalanan kota, ketika suara motor dan deru hujan menjadi teman, di sanalah ketulusan diuji — bukan oleh manusia, tapi oleh kesadaran diri sendiri.
Ketika Angka Menjadi Cermin Jiwa
Angka 2.759 mungkin tampak kecil dibandingkan ribuan order yang dilakukan driver lain. Tapi justru di situ letak maknanya: konsistensi tanpa ambisi. Dunia algoritmik menilai dari kecepatan dan kuantitas, namun Tuhan menilai dari keikhlasan dan niat. Seperti disebut dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Kahf [18]: 30)
Setiap pengantaran yang dilakukan dengan niat baik adalah bentuk amal yang diam. Mungkin dunia tidak mencatatnya, tetapi waktu mengingatnya. Dan dalam sistem yang dikuasai mesin, manusia seperti Lody adalah pengingat bahwa ada dimensi yang tidak bisa diprogram: ketulusan.
Etos Kerja dan Kemanusiaan
Kerja di era algoritma telah mengubah cara manusia memahami produktivitas. Dulu, kerja diukur dari tenaga dan waktu. Kini, kerja diukur dari data dan rating. Namun di balik statistik itu, masih ada hati yang bekerja. Lody Aulian tidak menaklukkan algoritma dengan kecepatan, melainkan dengan keajegan. Ia mungkin tidak tampak “produktif” secara data, tapi secara moral dan spiritual, ia adalah cermin dari kesempurnaan kerja.
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:
«إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ»
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. al-Baihaqi)
Hadis ini seolah berbicara langsung kepada mereka yang bekerja di bawah sistem digital hari ini: tetaplah itqan, sempurnakan pekerjaanmu walau dunia tidak melihat. Karena kesempurnaan bukan diukur dari hasil, tapi dari kesetiaan terhadap proses.
Refleksi: Dari Jalanan ke Makna
Setiap kali seorang pekerja seperti Lody menyalakan motornya, sesungguhnya ia sedang menyalakan harapan baru dalam ruang hidup yang sering kali terasa mekanis. Ia mengajarkan bahwa kerja tidak harus bising untuk bermakna. Bahwa dalam kesunyian pun, ada spiritualitas yang tumbuh: bekerja karena nilai, bukan karena algoritma.
Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar. Tapi sebagian kecil masih bekerja demi sesuatu yang lebih tinggi: martabat diri. Mereka adalah saksi diam bahwa peradaban tidak dibangun oleh mesin, melainkan oleh manusia yang bersedia terus berjuang tanpa pamrih.
Penutup
Makna ketekunan bukan tentang seberapa cepat seseorang sampai pada tujuannya, melainkan seberapa tulus ia melangkah. Dunia modern sering menilai dari hasil, tapi spiritualitas menilai dari niat. Lody Aulian, dengan seragam oranye dan rating sempurnanya, bukan sekadar pekerja digital — ia adalah simbol kecil dari kejujuran manusia di tengah badai mekanisasi.
“Bukan seberapa banyak langkah yang ditempuh, tapi seberapa dalam jejak yang ditinggalkan di jalan waktu.”