Saat menulis tulisan ini saya memposisikan diri saya sebagai Muslim yang berusaha melihat agama dengan nalar kekinian. Saat ini banyak s...
Saat menulis tulisan ini saya memposisikan diri saya sebagai Muslim
yang berusaha melihat agama dengan nalar kekinian. Saat ini banyak sekali
orang beragama tanpa didasari dengan nalar yang benar. Beragama tanpa nalar
hanya akan meresahkan masyarakat, membuat manusia semakin bodoh dan tidak berguna. Mengapa?
Bagi saya, bernalar yang benar identik dengan masuknya suatu pesan atau informasi
melalui mekanisme dan proses berfikir yang jauh dari ilusi, dogma dan prasangka.
Sepintar apapun orang jika beragama tanpa didasari nalar yang benar, pasti akan menjadi
orang yang merasa paling benar dalam segala hal. Orang tersebut pada dasarnya
selalu diliputi ilusi-ilusi kosong, bayang-bayang semu yang bersemayam dalam hatinya.
Coba kita ambil contoh, orang beragama tanpa bernalar akan cepat percaya dengan berita-berita hoax yang bernuansa religi, seperti, ketika melihat Leonel mesi sujud dilapangan hijau, mereka anggap Mesi sedang bersujud seperti orang Islam solat hingga mereka menyimpulkan pemain sepakbola barcelona itu sudah menjadi pemeluk agama islam, Saat melihat Jecky Chen menggunakan kopiah dalam acara resmi mereka percaya bahwa pemeran "True police story" itu telah menjadi muslim, dan masih banyak lagi tingkah laku orang-orang yang "baperan" dalam beragama. Baca juga " Beragama, Jangan baper!!."
Untuk mewujudkan pribadi yang beragama sekaligus bernalar, kita harus bisa menerima perbedaan.
Dalam Islam, perbedaan cara pandang adalah suatu hal yang wajar terjadi. Bahkan para sarjana-sarjana Islam dimasa lampau sangat produktif sekali dalam menulis hingga menghasilkan karya-karya cemerlang. Sebut saja, Ibn Rusyd yang dikenal didunia barat dengan nama averroes telah menulis buku perbandingan madzhab " Bidayatul Mujtahid " salah satu buku yang berani memuat diskursus kajian perbandingan madzhab-madzhab fiqh Islam. Upaya Ibn Rusyd ini adalah bentuk dari kesadaran intelektual
yang siap menerima perbedaan.
Ada juga Imam Al-Ghazali dikenal dengan " Hujjatul Islam " yang merupakan pengkritik keras averroes dalam kajian filsafatnya, hingga Ia menulis sebuah buku " Tahafut Al-Falasifah". Begitu pula Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hambali dan Ibn Hazm. Para sarjana-sarjana Islam ini memiliki cara penalaran hukum Islam yang berbeda beda. Imam Hanafi lebih populer dengan konsep Istihsan, Imam Malik identik dengan konsep Maslahah, Imam Syafi'i masyhur dengan konsep Analogi ( Al-Qiyas ) dan Ibn Hazm terkenal dengan kajian Istishab. Disini kita bisa melihat bagaimana para sarjana Islam ini berbeda pandangan, walaupun berbeda tidak pernah ada dalam sejarah Imam syafi'i memvonis Imam Hanafi sesat hanya karena mereka berbeda dalam memahami konsep " Istihsan ". Ini menjadi bukti bahwa perbedaan tafsir serta perbedaan pemahaman text-text wahyu tidak bisa dianggap sebagai penodaan terhadap agama. Perbedaan cara pandang dalam Islam adalah sebuah wujud dari kekayaan tradisi Islam. Dan jika ada orang yang belum siap menerima perbedaan, tidak menghargai orang lain dan merasa paling benar sendiri, maka sungguh ia bermasalah dengan pikirannya sendiri, atau mungkin dia tidak membiasakan diri untuk berpikir.
Disamping penerimaan terhadap perbedaan, salah satu indikator orang yang beragama dengan nalar kekinian
adalah semangat Tabayun/klarifikasi. Kita hidup dimasyarakat yang menjadikan agama sebagai identitas yang harus dijaga dengan baik. Kadang kala dalam hidup beragama seringkali terjadi gejolak-gejolak antar umat beragama, seperti adanya aksi intoleran yang berujung pada sweping masa ditempat ibadah, ada juga orang yang dituduh sebagai penista agama sampai berujung pada beberapa aksi demontrasi yang tidak ada akhirnya dan masih banyak lagi.
Alangkah baiknya jika terjadi sesuatu yang berkaitan dengan isu-isu SARA, hendaklah diutamakan Tabayun/klarifikasi terhadap pihak yang bersangkutan. Bukannya langsung dihakimi dengan emosi yang meluap-luap dan tuduhan yang membentuk opini publik dan orang awam marah dan geram. Akan sangat mulia jika Agama ini kita bela dengan semangat cinta dan kasih dan akhlakul karimah bukan malah kita bela dengan cara fitnah, caci maki, pemaksaan kehendak dan apa saja yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan universal. Jika pemahaman agama seseorang itu benar maka akan muncul dari pemahaman itu solusi-solusi bermanfaat atas masalah kekinian bukan justru memunculkan masalah kemanusiaan yang sampai meresahkan orang lain.
Dan yang terakhir dari cara beragama dengan nalar kekinian adalah tidak paranoid terhadap kekafiran.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan " Paranoid terhadap kekafiran "? Bagi saya, orang yang menghabiskan hidupnya dengan prasangka-prasangka terhadap orang yang berbeda agama itulah ciri orang yang paranoid terhadap kekafiran. Seperti seorang muslim misalnya yang menganggap segala produk dari barat yang berupa sains modern adalah musuh yang bisa menghancurkan agamanya. Padahal dengan kemajuan sains dan teknologi doktrin agama yang sesuai dengan kepantasan zaman akan mudah hidup dalam masyarakat. Seperti ajaran-ajaran agama yang bersifat universal seperti ketertiban, kebersihan dan menejemen yang baik. Inilah sebenarnya doktrin agama yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat.
Kita sadar saat ini kita hidup di era media sosial, facebook dan twitter bisa menjadi tempat berbagi pemikiran keagamaan kepada semua orang, kita bisa bertukar pikiran dengan sahabat dan keluarga. Inilah suatu bentuk dari hal yang positif dari perkembangan teknologi. Dan kemajuan teknologi tidak ada sangkut
pautnya dengan seberapa ramai suatu masyarakat dalam menjalankan rutinitas ibadah mereka, tapi kemajuan teknologi hanya dapat diperoleh dengan membiasakan diri untuk membuka pikiran, bernalar yang benar dan tidak paranoid terhadap pemeluk agama lain.
Kang Robby