Akhir-akhir ini sebagian besar masyarakat di Indonesia, sedang dilanda penyakit "illness" yang luar biasa ganas. Bahkan Kepala...
Akhir-akhir ini sebagian besar masyarakat di Indonesia, sedang dilanda penyakit "illness" yang luar biasa ganas. Bahkan Kepala Bareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukamanto mengatakan,
" banyaknya konten hoaks, ujaran kebencian dengan mengaitkan suku, agama, ras, dan golongan (SARA) menunjukkan Indonesia darurat kejadian luar biasa (KLB) akal sehat".
Jadi, kehilangan akal sehat akibat "candu" dalam memproduksi, menyebarkan dan mensosialisasikan berita hoax, merupakan penyakit yang sudah seharusnya disembuhkan dan ditanggulangi dengan cepat.
Bagaimana caranya?
Melalui pendidikan karakter, sosialisasi Akhlakul Karimah dan menolak fanatisme golongan.
Pendidikan karakter dan sosialisasi Akhlakul Karimah bisa dimulai dari lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga yang harmonis memudahkan proses pendidikan karakter yang baik. Misalnya, dengan senantiasa menanamkan nilai-nilai Islam universal seperti: keadilan, keseimbangan dan toleransi.
Artinya, kita berbuat baik bukan didasari oleh keuntungan materi semata. Tapi ada semacam panggilan jiwa yang menuntut kita untuk ikhlas berbagi dengan orang lain. Dengan sikap seperti itu, pribadi kita akan semakin baik; tidak ada dendam, dengki dan permusuhan.
Demikian pula halnya dengan sikap menolak fanatisme golongan. Ini adalah sikap yang wajib kita miliki sebagai umat beragama.
Mengapa?
Karena fanatisme akut terhadap golongan tertentu membuat kita kehilangan akal sehat.
Imam Ghazali pernah mengatakan,
" salah satu tipu daya setan terhadap manusia, adalah larut dalam fanatisme golongan "ta'asub al-madzhabi".
Imam Ghazali juga pernah mendeskripsikan secara baik prihal watak manusia dalam kitab ihya Ulumuddin, " pada dasarnya manusia memiliki 2 nafsu dan sikap kebinatangan yang membunuh.
Pertama, Nafsu Keanjingan (asu).
Kedua, Nafsu (celeng).
Sikap keanjingan pertama bisa dimaknai sebagai sikap over agresif. Layaknya anjing bisa begitu agresif dalam segala hal. Apalagi jika anjing itu anjing yang tidak terlatih; anjing liar atau anjing gila. Tentu keagresifan nya tidak terkendali.
Mengapa bisa seperti itu? Karena anjing tidak memiliki akal seperti manusia. Keagresifan anjing bersumber pada insting semata. Manusia yang kurang mendayagunakan akalnya bisa dikatakan, seperti anjing yang begitu agresif tapi tidak terkendali.
Begitupula sikap kebabian. "Khinjiriyah" atau "celeng". Jika sikap ini diberdayakan tanpa kendali yang baik; dampak negatif dan destruktifnya akan semakin meluas.
Mulut manusia itu kecil sekali. Tapi apa yang dimakan manusia sehari-hari begitu banyak dan masif, tak sebanding mulutnya yang kecil itu. Bahkan, sampah dari apa yang dimakan oleh manusia banyak sekali.
Artinya, manusia terkadang membunuh diri mereka sendiri. Dengan begitu banyaknya sampah dan kehidupan hedonistik serba komsumtif membuat manusia lupa diri dan menjadi 'budak materi".
Kehidupan umat saat sekarang ini sudah mulai bergeser kearah negatif- destruktif. Dahulu, ketika umat Islam menjadi Pioneer dalam peta pertarungan peradaban. Para sarjana-sarjananya begitu produktif.
Atau bisa dikatakan, beragama membuat diri mereka menjadi lebih produktif dalam menghasilkan karya monumental nya, sebut saja, Ibnu Sina. Karya "Al-Qanun fi tibbi" The Canon of Medicine. Masih menjadi "marja' asasi" rujukan dalam diskursus medis modern. Ibnu Khaldun. Karyanya Al-Muqaddimah juga sampai saat ini menjadi refrensi dalam ilmu sosiologi modern. Ibn Rusyd yang dikenal di Eropa sebagai "the commentator" karena kelihaiannya mensharah atau menjelaskan karya klasik Aristoteles, juga begitu produktif. "Bidayatul Mujtahid" merupakan karya monumental nya yang berisi diskursus perbandingan madzhab fiqh Islam pada zamannya.
Adapun yang tidak kalah produktif adalah Imam Ghazali. Karyanya dalam bidang fiqh. Seperti: "Al-mustasfa" berupa kitab fiqih, didalamnya terdapat metodologi istinbat hukum berdasarkan kerangka berpikir madzhab Syafi'i. Imam Syafi'i muda begitu agresif, berdebat, mengkritik dan menulis sejumlah tulisan yang membuat orang "panas kupingnya" emosi.
Hal itu karena Imam Ghazali masih muda dan sedikit agresif. Sang guru Imam Al-kharamain atau dikenal dengan nama Imam Juwaini yang bermazhab Syafi'i juga dikenal fanatik. Beliau begitu "mati-matian" mempertahankan serangan kubu lain terhadap Madzhab Syafi'i. Tapi, kondisi berbeda ketika Imam Ghazali mencapai usia senja. Karya terakhirnya, Ihya Ulumuddin menjadi bukti nyata kepiawaian imam Ghazali dalam bidang kritik sosial. Kitab ini juga bisa menjadi kitab "autokritik" terhadap trend berlebihan dalam hidup. Karena itu tidak salah jika Imam Ghazali dijuluki "hujjatul Islam" karena argumentasi nya yang kuat dan keilmuan nya yang luar biasa.
Seperti inilah seharusnya kita beragama, produktif, imajinatif dan bergerak menuju perubahan yang lebih baik. Bukan seperti yang dilakukan sejumlah kelompok Islam zaman now yang baru-baru ini "tercyduk" karena membawa nama Islam serta mencatutnya untuk melakukan sejumlah aksi jahat yang merugikan orang lain.
MCA (Muslim Cyber Army). Begitulah kelompok ini dikenal. Pemakaian simbol dan istilah "islami" tidak sedikitpun merubah esensi dari apa yang telah mereka lakukan selama ini. Ironis memang, aksesoris Islam yang dikenal suci, disalahgunakan untuk kepentingan aksi kejahatan.
Padahal MUI (Majlis Ulama Indonesia) beberapa waktu yang lalu telah berfatwa tentang keharaman secara total penyebaran informasi bohong, berita hoax dan fitnah. Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, juga mengecam keras kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dalam setiap aksi busuk yang dilakukannya.
Mungkin karena kebencian yang sudah akut membuat para penebar berita hoax kehilangan akal sehat. Memang tidak semua motif utama penyebaran berita hoax didasari rasa dendam dan sakit hati. Faktor ekonomi juga bisa menjadi pemicunya.
Seperti kejadian di Garut, seorang ta'mir mesjid merekayasa aksi penganiayaan terhadap dirinya sendiri, hanya karena ingin mendapat simpati dan sejumlah uang untuk membeli mesin bubut anak laki-lakinya. Maka, sangat benar sekali ada narasi hadis yang mengatakan, " kada al-fakru an yakuna kufran". Orang fakir miskin lebih dekat untuk menjadi kafir (ingkar terhadap perintah Allah SWT).
Di era modern seperti sekarang ini, sudah waktunya kita meninggalkan cara beragama reaktif yang merusak. Beragama secara reaktif adalah sikap tidak terkendali seseorang (emosional) saat ajaran agamanya dikritisi. Ini tidak berarti kita harus diam ketika agama kita direndahkan. Kita wajib marah. Tapi Islam agama yang mengajarkan umatnya tata krama, berakhlak mulia dan bersikap bijaksana.
Perilaku seseorang yang tidak baik terhadap kita tidak serta-merta harus disikapi secara emosional dan rasa dendam.
Nabi Muhammad Saw pernah mengatakan, " assabru di shadmati al-ula" kesabaran itu ada pada hentaman pertama. Artinya, ketika rasa emosi kita memuncak karena sikap orang lain, kita harus bisa menahan diri. Karena jika pada saat itu kita bereaksi keras terhadap sikap tidak menyenangkan yang kita alami, penyesalan demi penyesalan akan selalu menghantui hidup kita. Karena itu dibutuhkan "self-control" yang baik.
Alangkah baiknya jika emosi yang kita miliki digunakan untuk hal-hal yang positif- konstruktif misalnya, aktif dalam kegiatan sosial yang bermanfaat, berkarya melalui tulisan, menulis buku, mendidik anak bangsa dan memberikan sumbangsih terbaik yang kita miliki untuk dunia.
Inilah yang saya maksud dengan beragama secara produktif; lebih berfokus pada pengembangan diri daripada larut dalam dendam dan amarah terhadap pihak lain.
Sebagai penutup, mari kita beragama secara produktif. Produktif dalam beribadah, baik berupa ibadah ritual: shalat, puasa maupun ibadah sosial:berbuat baik kepada sesama. Islam itu sakral dan suci. Pembelaan terhadap Islam juga harus dengan cara yang suci dan islami. Jangan pernah membela Islam dengan cara yang tidak beradab: fitnah, menghujat dan menistakan orang lain.
Boleh jadi apa yang kita anggap sebuah aksi bela Islam sebenarnya hanyalah pembelaan terhadap keegoisan kita dan kesombongan hati kita. Imam Ghazali pernah mengatakan, " setiap manusia memiliki setannya sendiri". Setan inilah yang menghasut manusia agar melupakan dirinya, lepas kontrol terhadap keadaan dan melakukan perbuatan yang diharamkan.
Nabi Muhammad Saw juga digoda oleh syaitan, tapi setan yang menggoda nabi sudah "dijinakkan". Berbeda dengan kita, semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, hasutan iblis dan tipu dayanya pada kita semakin besar.
Semakin tinggi pohon semakin banyak angin menerpa, semakin tinggi ilmu manusia semakin banyak godaan yang menyapa.
Semoga bermanfaat
Robby Andoyo