Antara Ketaatan dan Keadilan: Menimbang Kewajiban Jumat dalam Fiqh Malik, Hanafi, dan Ibn Hazm Pertanyaan praktis ini menggerakkan...
Antara Ketaatan dan Keadilan: Menimbang Kewajiban Jumat dalam Fiqh Malik, Hanafi, dan Ibn Hazm
Pertanyaan praktis ini menggerakkan dua dimensi utama fiqh: kemampuan/masyaqqah dan legitimasi moral institusi. Ketika seorang mukim tinggal di kota namun harus menempuh jarak jauh untuk mencapai masjid jami‘, dan sekaligus menyaksikan imam yang berperilaku zalim, apakah ia boleh meninggalkan Jumat? Berikut kajian sistematis menurut tiga tradisi besar.
Ayat dan Hadis Rujukan
Ayat pokok yang selalu dirujuk ulama ialah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu menuju zikir kepada Allah.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 9)
Dalam hadis juga terdapat pengecualian-pernyataan terkait uzur:
«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»
“Jumat adalah kewajiban atas setiap Muslim secara berjamaah, kecuali empat: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (Isnad dan redaksi diriwayatkan dalam kitab-kitab fiqh sebagai dasar pengecualian)
Pandangan Mazhab Malik
Imam Malik menempatkan prinsip masyaqqah dan maslahah di pusat penimbangannya. Bila jarak menimbulkan kesulitan substansial — mis. jauh sampai mengganggu tugas pokok, atau kondisi perjalanan berbahaya — maka kewajiban hadir ke Jumat dapat gugur dan diganti dengan salat Zuhur.
Soal imam fasik: tradisi Maliki mengakui bahwa kefasikan imam tidak otomatis membatalkan sahnya Jumat; namun jika kefasikan itu menimbulkan fitnah, keresahan, atau mengganggu khusyuk jamaah sehingga maslahat umum terganggu, maka menghadiri Jumat dengan imam tersebut boleh ditinggalkan. Penekanan Malik adalah menjaga maslahat umat dan menghindari mudharat.
Pandangan Mazhab Hanafi (Abu Hanifah)
Abu Hanifah membatasi cakupan kewajiban Jumat pada komunitas yang mempunyai struktur masjid jami‘ dan seruan yang efektif. Dalam praktiknya, penduduk di pinggiran atau yang secara faktual tidak terjangkau oleh mekanisme seruan dan jamaah dianggap tidak diwajibkan menghadiri Jumat dan boleh melaksanakan Zuhur.
Dalam kasus jarak jauh di dalam kota: jika perjalanan menjadi beban berat (melewati kemampuan normal), pendapat Hanafi memberi dispensasi. Mengenai imam zalim, tradisi Hanafi lebih pragmatis: fokus pada kelangsungan tata ibadah; jika kehadiran menimbulkan bahaya atau menjadi legitimasi bagi kezhaliman sehingga menimbulkan mudharat, individu boleh mempertimbangkan mengganti dengan Zuhur atau mencari jamaah alternatif.
Pandangan Ibnu Hazm (Zahiri)
Ibnu Hazm menegaskan pentingnya legitimasi kepemimpinan dalam pelaksanaan Jumat. Bagi sebagian Zahiri, persyaratan sahnya Jumat mencakup imam yang memiliki legitimasi moral dan institusional: tanpa itu, khutbah dan jamaah kehilangan landasan syar‘i. Jika imam berperilaku zalim dan otoritasnya digunakan untuk menindas atau menghalangi syariat, pelaksanaan Jumat di bawahnya dianggap bermasalah dan umat dapat meninggalkannya.
Pendekatan ini mengaitkan dimensi ritual dengan dimensi politik-moral: ibadah berjamaah bermakna bila ia mencerminkan keadilan dan kehormatan umat.
Analisis Sintetik dan Panduan Praktis
Dari ketiga tradisi itu dapat diambil prinsip praktis:
1. Masyaqqah (kesulitan nyata): bila jarak dan kondisi fisik menimbulkan beban berat, baik Malik maupun Hanafi memperbolehkan mengganti Jumat dengan Zuhur.
2. Fitnah dan mudharat: bila imam yang zalim menyebabkan fitnah, mengancam keselamatan, menghilangkan khusyuk, atau menjadikan masjid alat penindasan, Malik dan Hanafi memberi ruang dispensasi; Ibnu Hazm menilai legitimasi itu bisa membatalkan sahnya Jumat di bawah imam tersebut.
3. Mencari alternatif: bila memungkinkan, jamaah dianjurkan mencari masjid lain dengan imam yang lebih adil, atau mengorganisir jamaah alternatif yang sah. Ini sesuai maqāṣid: menjaga ibadah tanpa memberi legitimasi kepada kedzaliman.
4. Niat dan kontekstualisasi: keputusan meninggalkan Jumat harus disertai niat menjaga agama dan keselamatan, serta konsultasi dengan ulama lokal yang paham situasi kontekstual agar tidak jatuh pada kelonggaran sewenang-wenang.
Penutup Reflektif
Fiqh klasik menyediakan alat: uzur, masyaqqah, maqāṣid, dan kriteria legitimasi. Dalam soal jarak jauh dan imam zalim, tidak ada jawaban hitam-putih yang seragam; ada ruang ijtihad kontekstual. Prinsip yang harus dikedepankan adalah: ibadah tidak boleh memuliakan kezhaliman; dan hukum tidak boleh memaksa di luar kemampuan umat.
“Kewajiban ritual adalah panggilan kesetiaan; bila panggilan itu berfungsi sebagai alat penindasan, maka kesetiaan itu menuntut pembelaan martabat.”
Daftar Pustaka
Al-Sarakhsi, Muhammad ibn Ahmad. Al-Mabsūṭ. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya.
Malik ibn Anas. Al-Mudawwanah al-Kubrā dan Al-Muwatta’. Kumpulan riwayat dan fiqh Malikiyah.
Ibnu Hazm, Ahmad ibn Muhammad. Al-Muhalla. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyya.
Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.
Hallaq, Wael B. Scholastic Method in Classical Islam. Princeton University Press.