Apakah Adab Harus Tunduk pada Algoritma? Menafsir Ulang Spirit Ta’lim al-Muta’allim Apakah Adab Harus Tund...
Apakah Adab Harus Tunduk pada Algoritma? Menafsir Ulang Spirit Ta’lim al-Muta’allim
Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan salah satu karya monumental dalam tradisi pendidikan Islam yang menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Dalam sejarah pesantren, kitab ini menjadi fondasi bagi pembentukan moral intelektual, yang menuntun hubungan antara murid dan guru secara etis dan spiritual. Namun, di era digital dan algoritmik seperti sekarang, muncul pertanyaan baru: apakah adab sebagaimana dimaksud dalam kitab klasik ini harus beradaptasi dengan logika efisiensi teknologi, atau justru adab-lah yang harus menjadi pengendali bagi perilaku digital manusia modern?
1. Spirit Kitab dan Esensi Adab
Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji bukan sekadar panduan perilaku murid terhadap guru, melainkan konstruksi epistemologis tentang bagaimana ilmu dapat bernilai dan berfaedah. Dalam kitab tersebut ditegaskan bahwa ilmu tanpa adab akan kehilangan keberkahan. Adab berfungsi sebagai mekanisme spiritual yang menghubungkan pengetahuan dengan amal, mencegah kesombongan intelektual, serta menjaga kemurnian niat menuntut ilmu.
Dalam konteks klasik, adab menjadi pagar agar ilmu tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan dan ketundukan spiritual. Tetapi di dunia algoritmik, ketika otoritas berpindah dari guru ke mesin pencari, dari sanad ke sistem rekomendasi, maka adab perlu dibaca ulang bukan sekadar pada bentuk, melainkan pada ruh dan orientasinya.
2. Era Algoritma: Efisiensi dan Risiko
Algoritma menawarkan efisiensi yang tidak terbayangkan pada masa lalu. Seorang pelajar dapat mengakses ribuan kitab, artikel, dan ceramah hanya dalam hitungan detik. Sistem digital mempercepat sirkulasi pengetahuan dan mendemokratisasi akses terhadap sumber-sumber ilmu. Ini adalah revolusi besar dalam sejarah intelektual manusia.
Namun efisiensi juga membawa risiko. Informasi menjadi dangkal, pemahaman menjadi instan, dan proses refleksi digantikan oleh kecepatan konsumsi data. Nalar manusia mulai dibentuk oleh “like”, “views”, dan “ranking”. Jika tidak hati-hati, murid bukan lagi mencari ilmu, melainkan validasi. Ketika algoritma menentukan apa yang dianggap penting, maka manusia perlahan kehilangan kebebasan epistemiknya.
3. Feodalisme Pesantren: Tumbuh dari Kitab atau Kultur?
Di beberapa lingkungan pesantren, relasi antara guru dan murid kadang berubah menjadi hubungan vertikal yang kaku. Murid diposisikan hanya sebagai penerima, sementara guru dianggap tak boleh dikritik. Banyak yang menuduh kitab Ta’lim al-Muta’allim sebagai akar dari feodalisme itu.
Namun analisis yang lebih hati-hati menunjukkan bahwa akar masalah bukan terletak pada teksnya, melainkan pada tafsir sosial yang berkembang di sekitarnya. Kitab klasik sering dijadikan legitimasi untuk mempertahankan struktur kekuasaan dan hierarki sosial. Padahal, secara substantif, adab tidak identik dengan ketaatan buta; ia adalah penghormatan yang lahir dari kesadaran akan nilai ilmu dan integritas guru. Kultur patriarkal dan politik lokal sering kali menyelewengkan makna itu menjadi alat penundukan.
4. Jalan Tengah: Adab sebagai Kompas, Algoritma sebagai Alat
Adab tidak seharusnya tunduk pada algoritma. Justru sebaliknya, adab harus menjadi kompas moral agar teknologi tidak menelan kemanusiaan. Algoritma adalah alat, sedangkan adab adalah arah. Jika arah hilang, maka efisiensi hanya akan menghasilkan percepatan tanpa makna.
Penggunaan media digital untuk belajar seharusnya diimbangi dengan etika penggunaan: menghormati sumber, menjaga orisinalitas, menghindari plagiarisme, dan mengedepankan kejujuran intelektual. Dengan demikian, teknologi bukan lagi ancaman, melainkan mitra bagi kemajuan spiritual dan intelektual manusia.
5. Praktik Konkret: Membaca Ulang Ta’lim tanpa Menghapus Akar
Beberapa langkah penting agar nilai adab tetap relevan di era digital:
1) Membuka ruang tanya dan kritik dalam majelis ilmu. Penghormatan pada guru tidak harus meniadakan daya kritis murid.
2) Mengintegrasikan metode verifikasi modern: sumber digital, jurnal ilmiah, dan cross-check lintas madzhab.
3) Menetapkan etika digital: transparansi sumber, kejujuran ilmiah, serta tanggung jawab dalam menyebarkan ilmu.
Dengan cara ini, semangat Ta’lim al-Muta’allim tidak akan mati, melainkan bertransformasi menjadi fondasi etika digital yang lebih universal.
6. Dua Ayat untuk Penuntun
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ إِذَا قِيلَ لَهُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَالِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَـٰتٍۢ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah’, maka berdirilah; niscaya Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Tafsir ringkas: ilmu yang berderajat tinggi tidak lahir dari dominasi atau eksklusivitas, tetapi dari kelapangan hati dan kesediaan memberi ruang pada sesama pencari ilmu. Di sinilah prinsip adab dan keterbukaan epistemik bertemu.
فَتَعَالَى ٱللَّهُ ٱلْمَلِكُ ٱلْحَقُّ ۖ وَلَا تَعْجَلْ بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰٓ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۚ وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا
“Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya. Dan jangan tergesa-gesa dengan Al-Qur’an sebelum diselesaikan wahyunya kepadamu, dan katakan: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu’.” (QS. Thaha: 114)
Ayat ini menunjukkan bahwa pencarian ilmu memerlukan kesabaran dan kerendahan hati. Kecepatan bukan ukuran kemajuan, tetapi kedalaman adalah ukuran keberkahan. Prinsip ini sejalan dengan kritik terhadap budaya instan algoritmik yang sering menipu manusia dengan ilusi pengetahuan.
7. Penutup: Mengembalikan Ruh pada Bentuk
Kutipan reflektif yang layak diingat: “Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar.” Kalimat ini menegaskan bahwa manusia modern sering kali terjebak dalam logika sistem tanpa menyadarinya. Adab hadir sebagai daya pembebas dari hegemoni itu.
Relevansi Ta’lim al-Muta’allim tidak akan hilang selama ia ditafsirkan dengan semangat kemanusiaan. Adab adalah pondasi yang menghidupkan akal dan membersihkan niat, sedangkan algoritma hanyalah alat bantu dalam perjalanan mencari ilmu. Ketika teknologi tunduk pada adab, maka lahirlah peradaban yang efisien sekaligus bermartabat.
Referensi
1. Al-Zarnuji, Burhan al-Islam. Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
2. Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1992.
3. Azyumardi Azra, Tradisi dan Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1999.
4. Ulil Abshar Abdalla, “Menjadi Santri di Zaman Digital”, Channel THE AUTHORITY, 2024.
5. Ali Shariati, Man and Islam. Tehran: Shariati Foundation, 1982.