Hakikat Menyembah: Antara Tuhan dan Algoritma Manusia adalah makhluk yang menyembah. Di balik seluruh peradaban, kesadaran, dan p...
Hakikat Menyembah: Antara Tuhan dan Algoritma
Manusia adalah makhluk yang menyembah. Di balik seluruh peradaban, kesadaran, dan pencapaian intelektual, tersembunyi satu dorongan batin yang tak bisa dihapus: kebutuhan untuk menundukkan diri pada sesuatu yang dianggap lebih tinggi dari dirinya. Dalam bahasa teologis, inilah fitrah at-tadayyun — naluri beragama yang melekat pada struktur jiwa manusia sejak awal penciptaan.
Al-Qur’an menyingkap kecenderungan ini dengan sangat halus:
﴿ Ø£َرَØ£َÙŠْتَ Ù…َÙ†ِ اتَّØ®َذَ Ø¥ِÙ„َٰÙ‡َÙ‡ُ Ù‡َÙˆَاهُ ﴾
“Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Ayat ini mengandung kedalaman psikologis yang luar biasa. Ia menegaskan bahwa seseorang bisa menyembah tanpa sadar. Penyembahan tidak selalu berbentuk sujud di masjid atau sembahyang di altar, melainkan setiap kali manusia tunduk total pada sesuatu yang ia anggap absolut: kehormatan, kekuasaan, uang, atau bahkan cinta.
Penyembahan yang Beralih Wajah
Dalam peradaban modern, wajah penyembahan telah berubah. Dulu manusia menyembah berhala dari batu; kini manusia menyembah berhala dari data. “Dzat” yang dianggap berkuasa atas kehidupan tidak lagi bernama dewa, tetapi algoritma. Ia menentukan arah pandangan, nilai populer, bahkan citra diri di dunia maya. Dan seperti semua bentuk penghambaan, ia menuntut pengorbanan: waktu, perhatian, dan kemanusiaan.
Ketika seseorang menghabiskan malam demi kehadiran digital, bukan demi perjumpaan spiritual, maka sesungguhnya ia tengah bersujud pada sesuatu yang tak kasat mata, namun lebih berkuasa dari dirinya. Itulah bentuk baru dari penghambaan modern: penyembahan tanpa kesadaran.
Pengorbanan di Altar Nilai
Sejarah menunjukkan bahwa manusia sering mengorbankan sesamanya demi sesuatu yang dianggap “lebih dekat kepada dzat yang disembah.” Dalam agama, hal itu muncul ketika seseorang mengatasnamakan Tuhan untuk menindas. Dalam politik, ketika kekuasaan dijadikan ilah. Dalam cinta, ketika seseorang rela melukai demi mempertahankan yang disembahnya.
Inilah paradoks penghambaan: semakin manusia merasa mendekat kepada “dzat” yang ia sembah, semakin ia berpotensi menjauh dari kemanusiaan. Karena itu, Islam datang untuk mengembalikan arah penyembahan: bukan kepada makhluk, bukan kepada sistem, bukan kepada ide, melainkan hanya kepada Yang Maha Benar — al-Haqq.
﴿ ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِنسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ ﴾
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini bukan sekadar perintah ritual, tetapi pengingat tentang orientasi hidup. Menyembah Tuhan berarti menempatkan seluruh aspek kehidupan di bawah cahaya kebenaran, bukan di bawah bayang-bayang ego atau algoritma.
Spirit Tauhid di Tengah Era Algoritma
Spirit tauhid bukan hanya pengakuan bahwa Allah Esa, tetapi juga kesadaran eksistensial bahwa tidak ada entitas lain yang pantas dijadikan pusat ketaatan mutlak. Tauhid membebaskan manusia dari ilusi penyembahan palsu — baik yang berwujud kekuasaan, sistem, maupun kenikmatan digital. Ia mengajarkan bahwa kebebasan sejati justru lahir dari penyerahan yang benar.
Dalam kacamata spiritual Islam, modernitas yang kehilangan pusat penyembahan sejati akan menghasilkan manusia yang bingung, terbelah, dan kehilangan arah moral. Ketika manusia menukar Tuhan dengan algoritma, ia tidak sedang menjadi bebas — ia hanya mengganti tuannya.
Karena itu, tugas etis manusia modern bukan menolak penyembahan, melainkan mengarahkannya kembali kepada sumber kebenaran yang murni. Bukan berhenti menyembah, tetapi menyembah dengan sadar.
Penutup
Menyembah adalah bagian dari takdir manusia. Namun nilai dari penyembahan itu ditentukan oleh kepada siapa ia diarahkan. Jika kepada Tuhan yang benar, maka manusia naik derajat menjadi khalifah di bumi. Jika kepada selain-Nya, manusia jatuh menjadi budak ciptaannya sendiri. Inilah perbedaan antara ibadah yang membebaskan dan penghambaan yang memperbudak.
Pada akhirnya, bukan manusia yang menciptakan alat untuk disembah, tetapi alat itulah yang kini sedang menulis ulang arah penyembahan manusia.
Referensi Akademik
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998.
Ibn Taymiyyah, Al-‘Ubudiyyah, Riyadh: Dar al-Watan, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Routledge, 1990.
Fromm, Erich. The Anatomy of Human Destructiveness. New York: Holt, 1973.
al-Qur’an al-Karim, Surah al-Jatsiyah (45): 23; Adz-Dzariyat (51): 56.