Isyarat yang Menuju Cahaya Isyarat yang Menuju Cahaya Label: Puisi Spiritual | Ditulis oleh Robby Andoyo Tuh...
Isyarat yang Menuju Cahaya
Label: Puisi Spiritual | Ditulis oleh Robby Andoyo
Tuhanku yang sunyi dan agung,
Engkau tahu, bahkan sebelum aku tahu
Engkau dengar, sebelum aku sempat mengucap
Doa-doaku tak selalu berupa kata
Sering kali hanya sebaris getar
di ruang hati yang paling diam
Aku tak ingin memaksa langit
Aku hanya mengetuknya—
dengan tangis yang tak lagi terdengar
dengan luka yang telah menjadi zikir
Tuhanku,
jika malam terasa terlalu panjang
dan dunia terlalu ramai untukku pahami
biarkan aku bersandar di pangkuan-Mu
sebagai makhluk yang terus mencari arti
Tak pernah ada keinginan
untuk menoleh kepada selain-Mu
karena pada-Mu,
aku menemukan keberadaanku
karena-Mu,
aku belajar mencintai tanpa ingin memiliki
menyembah tanpa pamrih,
dan berharap tanpa syarat
Beginilah aku hidup
di bumi yang fana,
berjuang menaklukkan tubuh yang lelah
demi jiwa yang ingin pulang,
tenang, tersenyum,
kembali kepada-Mu yang tak berjarak
Setiap detik yang hilang,
kutangisi sebagai karunia yang tak terjaga
Setiap menit sia-sia,
menjadi bara yang membakar kesadaranku
Engkaulah yang Maha Kuat,
tapi memeluk yang rapuh
Engkaulah yang Maha Suci,
tapi mengerti yang najis
Engkaulah yang Maha Kasih,
tapi tak pernah menghukum cinta yang terlambat pulang
Ragaku—
tak lebih dari daging yang bisa usang
tapi jiwaku,
adalah cahaya yang pernah Kau tiupkan
sebelum aku punya nama
sebelum dunia mencatat sejarah
Tuhanku,
jangan biarkan ia redup
bimbing ia pulang ke arah-Mu
lewat jalan-jalan sunyi
yang penuh cahaya
Terima kasih
atas hidup yang ajarkan aku bertahan
atas kesulitan yang mengajari aku ikhlas
atas nafsu yang menamparku hingga sadar
bahwa perjalanan ini bukan milikku
melainkan milik-Mu,
yang menuntunku dengan cinta
Catatan Penutup:
Dalam setiap kegundahan, selalu ada isyarat menuju cahaya. Puisi ini adalah doa tanpa suara—pantulan jiwa yang terus belajar kembali kepada-Nya. Ditulis bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungkan.
Dalam setiap kegundahan, selalu ada isyarat menuju cahaya. Puisi ini adalah doa tanpa suara—pantulan jiwa yang terus belajar kembali kepada-Nya. Ditulis bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungkan.