Ali Syariati dan Etika Sosial Islam: Spirit Kemanusiaan dalam Gerak Iman Ali Syariati tidak pernah menulis Islam sebagai sistem h...
Ali Syariati dan Etika Sosial Islam: Spirit Kemanusiaan dalam Gerak Iman
Ali Syariati tidak pernah menulis Islam sebagai sistem hukum kaku atau ritual yang statis. Baginya, Islam adalah gerak — sebuah napas kemanusiaan yang menuntun manusia untuk terus sadar akan tanggung jawab sosialnya. Ia percaya bahwa seseorang tidak bisa menjadi hamba Tuhan yang sejati tanpa menjadi manusia yang peduli pada sesama.
Etika sosial, dalam pandangan Syariati, adalah titik pertemuan antara iman dan realitas. Di sinilah spiritualitas berhenti menjadi sekadar kata, dan mulai menjadi tindakan yang nyata. Dalam setiap nafas keimanan, ada tanggung jawab sosial yang tak bisa dihindarkan.
1. Manusia sebagai Amanah, Bukan Sekadar Individu
Syariati menolak pandangan individualistik yang memisahkan manusia dari lingkungannya. Menurutnya, manusia diciptakan bukan untuk menjadi penonton sejarah, tetapi pelaku yang bertanggung jawab atas arah peradaban. Setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah bagian dari amanah Ilahi.
Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam Surah Al-Ahzab (33:72):
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, tetapi manusia memikulnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
Bagi Syariati, ayat ini bukan sekadar metafora, tapi seruan eksistensial. Manusia diminta untuk berani memikul tanggung jawab moral yang berat: menegakkan keadilan, menjaga kemanusiaan, dan menolak setiap bentuk kezaliman.
2. Etika Sebagai Revolusi Nilai
Etika sosial bukan tentang aturan moral yang beku, tetapi tentang kesadaran yang hidup. Syariati menganggap etika sebagai revolusi nilai — perubahan cara berpikir dan bertindak. Ketika manusia berhenti memandang dirinya sebagai pusat dunia, dan mulai menempatkan kemaslahatan bersama di atas kepentingan pribadi, di sanalah etika menemukan maknanya.
Al-Qur’an menegaskan prinsip ini dalam Surah Al-Ma’idah (5:8):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."
Etika Syariati bukan hanya soal adil dalam ucapan, tapi dalam struktur sosial. Ia menolak kemunafikan spiritual — ketika seseorang tampak saleh secara ritual, namun abai terhadap ketidakadilan di sekitarnya.
3. Keadilan Sosial Sebagai Inti Tauhid
Konsep tauhid dalam pemikiran Syariati memiliki makna sosial yang dalam. Tauhid bukan sekadar keyakinan bahwa Tuhan itu satu, tetapi kesadaran bahwa seluruh kehidupan harus berjalan di bawah satu prinsip: keadilan. Segala bentuk penindasan — baik oleh individu, negara, atau sistem ekonomi — adalah bentuk syirik sosial.
Dalam Surah An-Nahl (16:90), Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan."
Ayat ini menjadi landasan moral dari seluruh perjuangan Syariati. Ia percaya bahwa setiap sistem yang tidak menegakkan keadilan, sejatinya telah menentang prinsip tauhid. Maka, melawan ketidakadilan bukan sekadar tindakan sosial, melainkan ibadah tauhid yang paling otentik.
4. Spirit Kemanusiaan yang Tidak Eksklusif
Salah satu keindahan pemikiran Syariati adalah keberaniannya menjangkau seluruh umat manusia tanpa membatasi diri pada identitas keagamaan. Ia percaya bahwa kebenaran moral bersifat universal. Islam, baginya, adalah jalan menuju kesadaran kemanusiaan yang lebih dalam.
Ia sering mengutip semangat Al-Qur’an dalam Surah Al-Hujurat (49:13) sebagai bukti bahwa keberagaman adalah bagian dari rancangan Ilahi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa."
Dengan pemaknaan ini, Syariati menolak fanatisme agama dan etnis. Bagi dia, yang menentukan kemuliaan bukanlah simbol, tetapi kontribusi sosial dan moral seseorang terhadap kemanusiaan.
5. Tanggung Jawab Moral di Era Modern
Etika sosial Islam yang ditawarkan Syariati semakin mendesak untuk diterapkan di era modern. Dunia kini menghadapi krisis moral: kesenjangan ekonomi, kemiskinan struktural, dan kekeringan empati. Di tengah lautan teknologi, manusia justru kehilangan arah spiritual dan tanggung jawab sosialnya.
Syariati seakan berbicara kepada generasi digital hari ini: bahwa iman harus berjalan beriringan dengan integritas, dan kecerdasan harus tumbuh bersama empati. Kecanggihan tanpa nurani hanya akan melahirkan kemajuan yang kehilangan arah.
Etika sosial bukan tentang menjadi suci, tetapi tentang menjadi sadar — sadar bahwa setiap tindakan manusia memiliki dampak sosial, ekologis, dan spiritual.
6. Kesalehan yang Menyentuh Bumi
Syariati menutup banyak pemikirannya dengan seruan yang menggugah: “Janganlah mencari Tuhan di langit, temukan Dia di antara manusia yang tertindas.” Bagi dia, kesalehan sejati tidak ditemukan dalam kesunyian yang steril, melainkan dalam aksi yang memberi kehidupan.
Inilah esensi Islam yang hidup: iman yang berjalan di antara pasar, bekerja di tengah rakyat, dan berpihak kepada mereka yang kehilangan suara. Etika sosial Islam bukanlah teori abstrak, melainkan cahaya yang menuntun manusia untuk memanusiakan sesamanya.
Penutup
Pemikiran Ali Syariati tentang etika sosial membuka pintu baru bagi spiritualitas modern yang tidak terasing dari dunia. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia beriman berarti menjadi manusia yang bertanggung jawab atas sesama. Bahwa setiap tindakan sosial adalah bagian dari ibadah, dan setiap keadilan yang ditegakkan adalah bentuk cinta kepada Tuhan.
Pada akhirnya, iman bukan diukur dari seberapa tinggi seseorang menunduk di hadapan Tuhan, tetapi sejauh mana ia mampu menegakkan manusia lain agar tidak lagi tertunduk di hadapan ketidakadilan.