Ali Syariati dan Revolusi Kesadaran: Islam sebagai Gerak Pembebasan Pemikiran Ali Syariati merupakan salah satu tonggak penting d...
Ali Syariati dan Revolusi Kesadaran: Islam sebagai Gerak Pembebasan
Pemikiran Ali Syariati merupakan salah satu tonggak penting dalam upaya membangkitkan kembali Islam sebagai kekuatan moral dan sosial. Ia melihat agama bukan sekadar perangkat ritual, melainkan sebuah energi peradaban yang mampu mengubah struktur ketidakadilan. Dalam pandangannya, Islam harus menjadi gerak pembebasan — bukan alat legitimasi status quo.
Dalam konteks modern, pandangan ini menemukan relevansinya ketika manusia hidup dalam belenggu struktural baru: konsumerisme, hegemoni media, dan ketidakpekaan sosial. Syariati menyeru agar spiritualitas Islam tidak berhenti pada bentuk ibadah, tetapi menjelma menjadi etos perubahan. Bagi Syariati, iman sejati adalah kesadaran yang aktif — iman yang mendorong manusia untuk memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan.
1. Iman sebagai Gerak, Bukan Diam
Dalam kerangka Syariati, iman bukanlah hasil dari kepasrahan buta. Ia adalah kesadaran yang bergerak, sebuah refleksi eksistensial tentang makna manusia di hadapan Tuhan dan sejarah. Iman sejati menuntut aksi. Tanpa aksi, iman menjadi stagnan, kehilangan ruh sosialnya.
Al-Qur’an berulang kali menegaskan keterkaitan antara iman dan amal. Dalam Surah Al-Baqarah (2:177), Allah berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ... وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ
"Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin."
Ayat ini menjadi dasar bagi Syariati bahwa iman yang sejati harus memancar dalam tindakan sosial. Spiritualitas bukanlah pelarian dari realitas, melainkan keberanian untuk berhadapan dengannya.
2. Revolusi Kesadaran sebagai Tugas Intelektual Muslim
Syariati menempatkan intelektual Muslim pada posisi sentral dalam gerak sejarah. Intelektual bukanlah sosok yang sekadar mengumpulkan pengetahuan, tetapi yang mampu menerjemahkan pengetahuan menjadi kesadaran transformatif. Dalam bahasa Syariati, “Setiap ilmu yang tidak memerdekakan manusia hanyalah sekadar alat bagi penindasan.”
Kesadaran yang dimaksud bukanlah kesadaran ideologis sempit, melainkan kesadaran yang membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan selain kepada Tuhan. Inilah bentuk tertinggi tauhid — ketika manusia hanya tunduk kepada kebenaran dan menolak segala bentuk kekuasaan yang menindas.
Al-Qur’an menegaskan misi pembebasan ini dalam Surah Al-Hadid (57:25):
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
"Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia menegakkan keadilan."
Ayat ini memperlihatkan dimensi sosial dari risalah kenabian. Bagi Syariati, tugas manusia beriman adalah melanjutkan proyek kenabian tersebut — menegakkan keadilan, bukan hanya berbicara tentangnya.
3. Spiritualitas yang Menggerakkan Sosial
Syariati menolak spiritualitas yang menenangkan tapi tidak mengubah. Ia mengkritik keras sikap apatis dan fatalistik yang membuat umat kehilangan daya juang. Spiritualitas, menurutnya, seharusnya melahirkan manusia yang sadar, aktif, dan peduli terhadap penderitaan sesama.
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk bekerja dan berjuang, sebagaimana dalam Surah Al-Insyiqaq (84:6):
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
"Wahai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka pasti engkau akan menemui-Nya."
Ayat ini menjadi dasar spiritual bagi kerja sosial manusia. Bekerja keras dan berjuang demi kemanusiaan adalah bagian dari ibadah. Dengan demikian, perjuangan sosial bukan sekadar tindakan politik, melainkan ibadah eksistensial.
4. Islam Sebagai Etika Pembebasan
Bagi Syariati, Islam adalah sistem etika yang membebaskan. Ia mengajarkan nilai-nilai egaliter, keadilan, dan solidaritas. Ia menentang segala bentuk eksploitasi, baik yang bersifat ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam konteks ini, Islam tampil sebagai ide moral yang menggerakkan perubahan sosial.
Al-Qur’an menggambarkan nilai pembebasan itu dalam Surah Al-Ma’un (107:1–3):
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
"Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin."
Bagi Syariati, pendustaan agama bukanlah sikap ateistik, tetapi ketidakpedulian sosial. Maka, seseorang yang rajin beribadah tetapi menutup mata terhadap penderitaan masyarakat — sejatinya telah membohongi pesan Islam itu sendiri.
5. Aplikasi Gagasan Syariati di Era Modern
Dalam realitas modern, ajaran Syariati bisa diaplikasikan melalui tiga dimensi utama:
Pertama, pendidikan. Lembaga pendidikan Islam seharusnya melahirkan insan yang berpikir kritis dan empatik, bukan sekadar lulusan yang menghafal doktrin. Pendidikan harus menjadi ruang pembentukan kesadaran sosial dan spiritual yang utuh.
Kedua, ekonomi berkeadilan. Prinsip zakat, infak, dan distribusi kekayaan yang adil harus dijadikan fondasi ekonomi modern yang berlandaskan nilai-nilai etika. Kesalehan tidak cukup diukur dari ibadah ritual, tetapi dari bagaimana seseorang memperlakukan sesamanya.
Ketiga, kesadaran ekologi. Syariati menekankan manusia sebagai khalifah di bumi, yang berarti bertanggung jawab atas alam. Pengrusakan lingkungan adalah bentuk penindasan baru terhadap generasi masa depan.
6. Revolusi Sunyi: Kesalehan yang Bergerak
Syariati menyebut gerakan spiritual yang aktif sebagai “revolusi sunyi” — perubahan yang dimulai dari kesadaran individu, lalu menjalar ke ruang sosial. Ia menolak ekstremisme dan kekerasan, tetapi mendorong kesadaran moral yang menular dan mengguncang sistem ketidakadilan.
Pada akhirnya, perjuangan yang diimpikan Syariati bukanlah perjuangan sektarian, tetapi universal: perjuangan melawan kezaliman dalam segala bentuknya, demi martabat kemanusiaan yang satu. Inilah Islam yang hidup, Islam yang berpikir, Islam yang bertindak.
Penutup
Spirit Ali Syariati tetap relevan di tengah krisis moral dan sosial dunia modern. Ia mengingatkan bahwa iman tidak boleh menjadi candu, melainkan harus menjadi energi pembebasan. Bahwa spiritualitas bukan sekadar zikir di kamar, tetapi keberanian untuk menegakkan kebenaran di jalan sejarah.
 
 
							     
							     
							     
							     
 
 
 
 
 
 
 
 
