Antara Adab dan Feodalisme: Menimbang Tradisi Takzim di Pesantren dalam Bayang Budaya Kolonial Fenomena sosial di lingkungan pesant...
Antara Adab dan Feodalisme: Menimbang Tradisi Takzim di Pesantren dalam Bayang Budaya Kolonial
Fenomena sosial di lingkungan pesantren kembali menjadi sorotan publik setelah salah satu stasiun televisi nasional menayangkan liputan mengenai budaya takzim di Pondok Pesantren Lirboyo. Tayangan tersebut menampilkan santri yang berjalan merangkak dan menundukkan kepala untuk bersalaman dengan gurunya. Dari sudut pandang dzahir, sebagian masyarakat menilai tradisi itu tidak memanusiakan manusia, bahkan dianggap sebagai bentuk feodalisme yang tersisa dari masa kolonial. Akibatnya, liputan itu menuai protes besar hingga pihak stasiun televisi akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Peristiwa ini membuka kembali perbincangan lama: sejauh mana budaya takzim dalam pesantren dapat dikategorikan sebagai warisan spiritual Islam, dan kapan ia berubah menjadi bentuk feodalisme simbolik yang menyalahi nilai-nilai kemanusiaan? Pertanyaan tersebut menuntut refleksi mendalam antara adab yang bersumber dari nilai-nilai Islam dan sistem sosial yang terbentuk dari sejarah kolonialisme.
Akar Budaya Kolonial dan Feodalisme Keagamaan
Secara historis, feodalisme dalam konteks Nusantara seringkali dikaitkan dengan sistem sosial warisan kolonial, di mana struktur masyarakat dibentuk secara hierarkis: penguasa, bangsawan, dan rakyat jelata. Pola ini secara perlahan merembes ke dalam struktur sosial keagamaan, terutama setelah kolonialisme menginstitusikan model penghormatan vertikal terhadap otoritas. Dalam konteks pesantren, bentuk penghormatan yang berlebihan terkadang merupakan warisan kultural dari sistem sosial tersebut, bukan bagian asli dari ajaran Islam.
Islam sendiri menolak bentuk pengultusan personal. Rasulullah ﷺ adalah sosok yang sangat dihormati, tetapi beliau menolak segala bentuk perlakuan berlebihan terhadap dirinya. Dalam sebuah hadis disebutkan:
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
"Barang siapa senang orang berdiri menghormatinya, maka bersiaplah untuk tempat duduknya di neraka." (HR. Abu Dawud)
Hadis ini mengandung pesan egaliter bahwa penghormatan dalam Islam bersifat batiniah, bukan simbolik atau hierarkis. Nabi menolak bentuk penghormatan yang melahirkan jarak antara manusia dengan manusia lain, apalagi yang mengarah pada ketundukan sosial yang berlebihan.
Tafsir Kontemporer dan Pendekatan Sufistik
Dalam tafsirnya, Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, ulama Mesir kontemporer, menjelaskan makna penghormatan kepada ulama dan guru bukan dalam bentuk perendahan diri, tetapi dalam bentuk penghargaan terhadap ilmu dan akhlak. Menurutnya, adab yang sejati adalah ketika hati tunduk karena cinta dan pengetahuan, bukan tubuh yang menunduk karena status sosial. Asy-Sya'rawi menegaskan bahwa Islam menolak penghormatan yang lahir dari rasa takut atau subordinasi.
Dari perspektif sufistik modern, adab diartikan sebagai harmoni antara batin dan lahir. Tindakan fisik seperti menunduk, mencium tangan, atau bersimpuh hanya bermakna jika dilandasi oleh kesadaran spiritual. Tanpa kesadaran itu, tindakan tersebut berpotensi berubah menjadi ritual feodal yang kehilangan ruh. Seorang murid dalam tasawuf sejati menghormati gurunya bukan karena hierarki sosial, melainkan karena ia melihat pantulan cahaya Ilahi melalui sang guru.
Pendekatan ini menempatkan adab bukan sekadar ritual kultural, melainkan proses penyucian jiwa yang membebaskan manusia dari ego dan hawa nafsu. Dengan demikian, kritik terhadap bentuk fisik penghormatan bukanlah penolakan terhadap adab, melainkan usaha mengembalikan adab pada substansinya: cinta, ilmu, dan kesetaraan spiritual.
Kritik Sosial dan Batas Etika Publik
Kasus yang terjadi antara pihak stasiun televisi dan kalangan pesantren menjadi contoh menarik tentang batas antara kritik sosial dan penghormatan terhadap ruang sakral. Secara hukum, kebebasan pers di Indonesia dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Namun, dalam konteks budaya keagamaan, kritik terhadap praktik internal lembaga pendidikan Islam harus disampaikan dengan prinsip tabayyun (klarifikasi) dan husnuzan (prasangka baik).
Dalam konteks fikih sosial, kritik yang terbuka di ruang publik dapat diterima selama tujuannya adalah perbaikan moral dan tidak mengandung unsur penghinaan. Al-Qur’an menegaskan:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (QS. Al-An’am [6]: 108)
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai etika dalam menyampaikan kritik. Kritik sosial terhadap lembaga keagamaan seperti pesantren diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan adab dan kesadaran moral agar tidak menimbulkan fitnah atau permusuhan.
Menimbang Tradisi Takzim: Antara Simbol dan Substansi
Dalam sejarah Islam, penghormatan terhadap guru merupakan bagian dari tradisi keilmuan yang luhur. Namun, ketika penghormatan itu menjadi simbol kekuasaan atau bahkan kebanggaan sosial, maka substansinya telah berubah. Di sinilah tantangan bagi dunia pesantren modern: menjaga nilai adab tanpa terjebak pada ritualisme simbolik yang bisa mengaburkan nilai kemanusiaan.
Budaya menunduk atau merangkak mungkin dipahami sebagai ekspresi takzim yang luhur di kalangan pesantren, namun bagi masyarakat luas yang tidak memahami latar spiritualnya, tindakan itu bisa tampak sebagai perendahan diri. Oleh karena itu, penting bagi kalangan pesantren untuk menjelaskan makna adab tersebut secara kontekstual dan proporsional agar tidak disalahpahami sebagai bentuk feodalisme.
Kesimpulan
Pertama, fenomena penghormatan berlebihan dalam pesantren tidak dapat langsung dicap sebagai feodalisme, tetapi perlu dibaca dalam konteks sejarah, spiritualitas, dan niat pelaku. Namun demikian, pengaruh budaya kolonial yang menanamkan hierarki sosial masih tampak jelas dalam pola interaksi keagamaan di Indonesia.
Kedua, Islam menolak setiap bentuk penghormatan yang melahirkan perendahan martabat manusia. Adab sejati harus berdiri di atas cinta, ilmu, dan kesetaraan spiritual sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan para ulama sufi. Tradisi pesantren perlu terus melakukan pembaruan pemahaman agar tetap menjaga kemuliaan tanpa kehilangan nilai humanisme Islam.
Ketiga, kritik terhadap praktik sosial pesantren harus dipahami sebagai bagian dari dinamika peradaban Islam. Kritik yang disampaikan dengan adab justru membantu pesantren untuk lebih beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya. Di sinilah pentingnya menempatkan dakwah, pendidikan, dan adab dalam kerangka Islam humanistik—yang menghidupkan ruh, bukan sekadar melestarikan simbol.
Daftar Referensi
1. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur. Jakarta: LKiS, 2000.
2. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
3. Ibn ‘Āsyūr, at-Taḥrīr wa at-Tanwīr. Tunis: Dar al-Sahnun, 1984.
4. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
5. H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan. Jakarta: Grasindo, 2004.
6. Clifford Geertz, The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press, 1960.
7. Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS, 2004.
8. Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
9. Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought. London: Routledge, 1981.
10. Al-Qur’an al-Karim.