Ijtihad Ilmiah: Etika Sains dan Spirit Islam di Era Kecerdasan Buatan Peradaban modern tengah memasuki babak baru di mana kecerdas...
Ijtihad Ilmiah: Etika Sains dan Spirit Islam di Era Kecerdasan Buatan
Peradaban modern tengah memasuki babak baru di mana kecerdasan buatan bukan lagi alat bantu, melainkan entitas yang membentuk cara berpikir manusia. Dalam situasi ini, konsep ijtihad kembali diuji. Bukan hanya dalam konteks hukum ibadah, tetapi juga dalam ranah sains dan teknologi. Pertanyaannya kini: bagaimana Islam memaknai tanggung jawab moral dan spiritual ketika “akal buatan” mulai mengambil peran akal manusia?
Gamal al-Banna pernah menulis bahwa ijtihad adalah bentuk tertinggi dari akal yang beriman. Akal yang tunduk pada nilai, bukan pada keserakahan. Jika Islam menempatkan wahyu sebagai cahaya dan akal sebagai mata, maka tugas ijtihad modern adalah memastikan agar cahaya wahyu tetap menuntun arah pandang ilmu pengetahuan. Di sinilah lahir konsep yang oleh sebagian cendekiawan disebut sebagai ijtihad ilmiah.
1. Ijtihad sebagai Gerak Akal dalam Dunia Sains
Bagi pemikir Islam modern, ijtihad tidak hanya milik fuqaha. Ia juga milik para ilmuwan yang berjuang menafsir makna keberadaan alam. Dalam konteks ini, ijtihad berarti menautkan nalar empiris dengan nilai etis. Sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 190)
Ayat ini menunjukkan bahwa berpikir ilmiah adalah bagian dari ibadah. Meneliti, menemukan, dan mencipta bukanlah aktivitas profan, melainkan bentuk pengabdian pada kehendak Ilahi. Namun ijtihad sains memiliki konsekuensi moral: semakin dalam pengetahuan, semakin besar pula tanggung jawabnya. Ketika manusia mencipta teknologi yang dapat berpikir, maka ia juga harus bertanya — apakah ciptaannya masih mengabdi pada nilai kemanusiaan?
2. Etika Kecerdasan Buatan: Akal Tanpa Ruh?
Kecerdasan buatan (AI) menghadirkan dilema epistemik baru. Mesin dapat meniru nalar manusia, tetapi tidak memiliki hati nurani. Ia mampu belajar, menilai, bahkan memutuskan, namun tanpa kesadaran moral. Dalam pandangan Islam, ini menjadi ujian akbar: sejauh mana manusia sanggup menjadi khalifah yang bertanggung jawab atas ciptaannya?
Dalam kerangka ijtihad kontemporer, AI harus dipahami bukan sekadar produk teknologi, tetapi fenomena moral. Setiap keputusan algoritma memiliki dampak sosial yang nyata — dari keadilan data, privasi, hingga diskriminasi digital. Ijtihad di sini menuntut pembacaan etika yang melampaui fikih klasik. Ulama, ilmuwan, dan teknolog harus duduk bersama menafsirkan makna “kemaslahatan” di dunia digital.
Firman Allah mengingatkan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra’ [17]: 70)
Ayat ini menegaskan prinsip dasar bahwa segala teknologi harus berpihak pada martabat manusia. Maka, menciptakan mesin yang merendahkan atau menggantikan kemuliaan manusia adalah bentuk penyimpangan terhadap maksud syariat. Ijtihad ilmiah yang sejati justru harus menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan.
3. Ijtihad dan Tanggung Jawab Moral Ilmuwan
Dalam dunia sains modern, keputusan moral sering diambil oleh sistem, bukan nurani. Di sinilah urgensi ijtihad moral yang digagas oleh al-Banna: bahwa setiap ilmuwan wajib menimbang nilai spiritual dalam setiap penemuan. Sains tanpa etika akan kehilangan makna, sebagaimana ibadah tanpa akal kehilangan arah.
Gamal al-Banna menegaskan bahwa wahyu bukan untuk membatasi ilmu, tetapi menuntun arah penggunaannya. Akal diberi kebebasan untuk berinovasi sejauh tidak melukai keseimbangan ciptaan. Prinsip inilah yang melahirkan etika ilmiah Islam: kebebasan yang bertanggung jawab. Ijtihad, dalam hal ini, menjadi jembatan antara kebebasan berpikir dan ketundukan moral.
Pandangan ini sangat relevan dalam kasus bioteknologi, rekayasa genetika, dan kecerdasan buatan. Ketika manusia bisa mencipta kehidupan buatan, Islam menuntut pertanyaan lebih dalam: bukan “apakah bisa dilakukan?”, tetapi “apakah seharusnya dilakukan?”. Ijtihad bukan penghalang inovasi, melainkan penjaga agar kemajuan tetap bernilai.
4. Spirit Ijtihad di Tengah Revolusi Teknologi
Era digital bukanlah ancaman bagi agama, melainkan panggilan baru untuk berpikir. Gamal al-Banna mengajarkan bahwa Islam harus menjadi kekuatan rasional yang hidup dalam sejarah. Ijtihad modern harus berani menafsir ulang nilai-nilai lama dalam bahasa baru: dari kitab menuju data, dari mimbar menuju layar.
Namun, pembaruan ini hanya sah jika berpijak pada dua hal: hikmah dan maslahah. Hikmah menjaga kebijaksanaan dalam menghadapi perubahan, sedangkan maslahah memastikan bahwa perubahan membawa kebaikan universal. Jika kedua nilai ini menyatu, maka ijtihad menjadi energi peradaban yang mencerahkan — bukan sekadar debat akademis, tetapi gerakan spiritual yang menghidupkan dunia.
Dalam semangat itu, AI bukan ancaman bagi keimanan, melainkan ruang ujian bagi kesadaran manusia. Sebagaimana firman Allah:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia-lah yang benar.” (QS. Fussilat [41]: 53)
Ayat ini memberi makna bahwa setiap penemuan ilmiah sejatinya adalah jalan menuju pengenalan Tuhan. Tugas ijtihad ilmiah adalah memastikan agar manusia tidak berhenti pada ciptaannya, tetapi menembus makna di balik ciptaan itu sendiri.
— esai reflektif tentang ijtihad, teknologi, dan kebangkitan rasionalitas Islam di era kecerdasan buatan.