Ketika Adab Menjadi Kompas di Tengah Laju Algoritma Di zaman ketika arah sering ditentukan oleh data dan perhatian diukur dengan metri...
Ketika Adab Menjadi Kompas di Tengah Laju Algoritma
Di zaman ketika arah sering ditentukan oleh data dan perhatian diukur dengan metrik, adab menawarkan sebuah alat navigasi yang tidak terlihat: kompas moral. Kompas itu bukan sekadar norma sosial, melainkan kerangka epistemik yang menuntun tujuan belajar, tata cara membagi ilmu, dan tata krama dalam berinteraksi—baik tatap muka maupun digital. Jika algoritma mempercepat langkah, adab menuntun arah. Tanpa kompas, laju hanya menjadi kebingungan yang sangat cepat.
Adab sebagai Orientasi Epistemik
Adab bukan soal sopan santun semata. Dalam tradisi pendidikan Islam, adab menyangkut niat, kesetiaan pada kebenaran, kehormatan sumber ilmu, dan tanggung jawab sosial-pendidikan. Adab mendudukkan ilmu pada konteksnya: untuk membentuk akhlak, bukan sekadar mengumpulkan data. Dengan demikian adab berfungsi sebagai orientasi epistemik—petunjuk untuk bertanya, memverifikasi, dan mengamalkan pengetahuan.
Dalam praktik modern, algoritma merekomendasikan konten berdasarkan keterlibatan, bukan kualitas. Tanpa adab, murid digital mudah terseret pada sensasi: membaca ringkasan tanpa telaah, mengutip tanpa merujuk, menegaskan tanpa menguji. Akhirnya ilusi mengetahui menggantikan kebiasaan belajar yang jujur.
Algoritma: Alat, Bukan Hakim
Algoritma itu netral secara ontologis; ia berguna karena diprogram untuk tujuan tertentu. Namun netralitas itu menjebak apabila dipahami sebagai legitimasi; sistem yang dirancang untuk engagement tidak otomatis menghargai kebenaran. Kompas adab hadir ketika manusia menanyakan: untuk apa informasi ini? untuk siapa pengetahuan ini disajikan? Adab menuntut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan etis tersebut.
Praktisnya, penggunaan algoritma dalam pendidikan bisa memperluas akses dan mempercepat verifikasi sumber. Tetapi sekaligus ia dapat mendistribusikan kesalahan lebih cepat. Oleh karena itu, adab menghendaki sikap kritis: cek sumber, jelaskan niat, dan laporkan jika ada distorsi. Adab menautkan kecepatan dengan tanggung jawab.
Mencari Keseimbangan: Efisiensi yang Bermakna
Efisiensi bukan musuh; masalah muncul saat efisiensi menjadi tujuan tunggal. Jalan tol teknologi efektif bila pengemudi memahami peta dan tujuan. Dalam konteks belajar, efisiensi harus mengantar pada pendalaman: ringkasan yang diikuti pembacaan asli, ceramah yang mendorong diskusi kritis, materi populer yang membuka rujukan klasik. Adab menuntut bahwa alat (algoritma) melayani proses pembelajaran, bukan menggantikan proses itu.
Contoh konkret: seorang guru digital yang memanfaatkan platform streaming harus menandai sumber, menyertakan rujukan, dan menyediakan ruang tanya jawab. Seorang pelajar yang berbagi fragmen teks perlu menyertakan rujukan lengkap. Ini adalah praktik sederhana di mana adab menerjemahkan etika ke dalam kebiasaan digital.
Adab Melawan Feodalisme Intelektual
Seringkali kultur feodal bersembunyi di balik penghormatan berlebih: penghormatan yang menutup kritik berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan. Adab yang sehat berbeda: ia menghormati guru sekaligus mempertahankan hak berpikir kritis murid. Adab yang baik membuka majelis, bukan menutupnya. Ia melindungi otoritas yang bertanggung jawab, bukan memelihara otoritarianisme yang menyuburkan dogma.
Dalam era algoritma, otonomi intelektual bisa diperdalam jika adab mendorong transparansi dan dialog. Teknologi memberi akses; adab memberi kualifikasi pada akses itu—apakah akses itu menambah pemahaman atau sekadar angka keterlibatan?
Dua Ayat untuk Pedoman
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ إِذَا قِيلَ لَهُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَالِسِ فَٱفْسَحُوا۟...
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu...” (QS. Al-Mujadalah: 11)
إِنَّمَا ٱلْأَعْمَالُ بِٱلنِّيَّـٰتِ...
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya...” (HR. Al-Bukhari)
Penutup: Adab sebagai Praktik Harian
Adab bukan tesis teoretis, melainkan kebiasaan yang harus dipraktikkan: menandai sumber, menolak plagiarisme, membuka ruang kritik, dan menautkan kecepatan dengan kedalaman. Ketika adab menjadi kompas, algoritma kehilangan kapasitasnya untuk menyesatkan; ketika adab absen, bahkan kebenaran pun dapat terdegradasi menjadi hiburan cepat.
Menjadi tanggung jawab bersama—pendidik, pelajar, dan pembuat kebijakan digital—untuk mengokohkan kompas itu. Hanya dengan demikian laju zaman tidak mengubur makna, melainkan menjadi sarana percepatan menuju kebijaksanaan.
Signature Refleksi Robby Andoyo
Kecepatan bukan ukuran kemajuan, tetapi kedalaman adalah ukuran keberkahan. Prinsip ini menjadi kritik halus terhadap budaya instan algoritmik yang sering menipu manusia dengan ilusi pengetahuan. Sebab kadang, bukan keterlambatan yang menimbulkan kebodohan, melainkan tergesa-gesa dalam memahami yang membuat manusia kehilangan makna. Adab menuntun kita untuk berhenti sejenak, menatap dalam, dan memastikan bahwa langkah cepat tetap berada di jalan yang benar.
“Algoritma boleh menuntun langkah, tapi hanya adab yang mampu menuntun arah.”
Referensi
Al-Zarnuji, Burhan al-Islam. Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
Azyumardi Azra. Tradisi dan Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1999.
Nurcholish Madjid. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1992.
Ulil Abshar Abdalla. “Menjadi Santri di Zaman Digital.” Channel THE AUTHORITY, 2024.
Onuoha, Freedom C. “The Politics of Information and Algorithms.” Journal of Digital Ethics, 2021.