Ketika Moralitas Menjadi Teater: Antara Nurani dan Panggung Sosial Di zaman modern, moralitas sering kali tampil dalam bentuk...
Ketika Moralitas Menjadi Teater: Antara Nurani dan Panggung Sosial
Di zaman modern, moralitas sering kali tampil dalam bentuk yang teaterik. Manusia tidak lagi berbuat baik karena kesadaran nurani, melainkan karena tuntutan sosial untuk terlihat saleh, baik, dan berbudi luhur. Dunia digital mempercepat proses ini — ketika kebaikan berubah menjadi konten, dan kesucian dipamerkan sebagai performa. Maka, kebenaran bergeser dari batin menjadi panggung.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendalam: mengapa manusia merasa bersalah terhadap dirinya sendiri, padahal tidak pernah mengganggu kehidupan orang lain? Jawabannya sering kali terkait dengan cara manusia membaca kitab suci — bukan sebagai sumber kasih, melainkan sebagai kumpulan ancaman. Padahal, kitab suci tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti manusia, melainkan untuk membimbingnya menuju keseimbangan antara rasa takut (khauf) dan harapan (raja’).
Tafsir Ulang Dosa dan Kesucian
Dosa sering kali dimaknai sebagai pelanggaran mutlak terhadap kehendak Tuhan, padahal dalam tafsir sufistik, dosa juga adalah proses pembelajaran jiwa. Al-Qur’an tidak hanya menekankan hukuman, tapi juga rahmat. Dalam Surah Az-Zumar ayat 53 Allah berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)
Tafsir Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‘rawi menjelaskan bahwa ayat ini adalah seruan kasih, bukan peringatan murka. Dosa dalam pandangan beliau bukan sekadar noda yang menghapus kesucian, melainkan tanda bahwa manusia masih berproses menuju kesempurnaan. Ia berkata, “الذنبُ نداءُ اللهِ للعبدِ كي يرجعَ إليهِ” — “Dosa adalah panggilan Allah agar hamba kembali kepada-Nya.”
Dalam konteks modern, tafsir seperti ini menjadi oase di tengah budaya yang kerap memproduksi rasa bersalah kolektif. Manusia yang tidak berdosa kepada siapa pun, tetap merasa berdosa karena cara mereka diajari untuk merasa bersalah — bukan karena kesadaran moral, tapi karena tafsir yang kehilangan kasih. Di sinilah letak pergeseran dari iman yang jujur menuju agama yang teaterik.
Rasa Jujur dan Takut dari Budaya
Rasa takut adalah bagian alami dari kesadaran spiritual. Namun, ketika rasa takut itu lahir bukan dari hubungan eksistensial dengan Tuhan, melainkan dari tekanan budaya, maka spiritualitas berubah menjadi formalitas. Banyak masyarakat religius yang lebih takut kepada pandangan tetangga daripada kepada nurani sendiri. Moralitas pun menjadi permainan sosial, bukan refleksi batin.
Ali Shariati, pemikir revolusioner asal Iran, pernah menulis bahwa agama yang kehilangan semangat keadilan dan kebebasan akan berubah menjadi “alat kekuasaan.” Ia menyebut kondisi itu sebagai taqlid al-‘abid — kepatuhan budak yang meniru tanpa mengerti. Dalam konteks ini, moralitas tidak lagi bersumber dari cinta kepada kebenaran, melainkan dari ketakutan pada stigma sosial.
Muhammad Iqbal juga menegaskan bahwa manusia beragama sejati adalah mereka yang sadar akan tanggung jawab moralnya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan massa. Iqbal menyebutnya sebagai “the reconstruction of religious consciousness” — kesadaran beragama yang dibangun kembali di atas fondasi kebebasan berpikir dan keberanian spiritual.
Tafsir yang Kehilangan Kasih
Banyak pembacaan kitab suci yang cenderung dogmatis, menekankan larangan tanpa menghadirkan cinta. Padahal, dogma tanpa kasih hanyalah kekosongan spiritual. Nasr Abu Zayd menegaskan bahwa teks wahyu tidak boleh dibaca secara beku, karena Al-Qur’an senantiasa berdialog dengan konteks manusia. Ia menulis, “Setiap ayat adalah percakapan, bukan perintah tunggal.” Maka, tafsir yang kehilangan kasih akan kehilangan jiwanya sendiri.
Fazlur Rahman menambahkan bahwa tugas umat beriman bukan hanya memahami hukum Tuhan, tetapi juga menafsirkan moralitas ilahi dalam konteks kemanusiaan modern. Ia menyebut pendekatannya sebagai double movement — gerakan ganda dari teks menuju konteks dan dari konteks kembali ke teks. Dengan cara ini, wahyu tidak kehilangan maknanya, tapi justru menemukan relevansi baru di setiap zaman.
Cinta Agama Tanpa Trauma
Cinta kepada agama seharusnya melahirkan ketenangan, bukan trauma eksistensial. Namun, banyak orang yang justru takut kepada Tuhan bukan karena kebesaran-Nya, melainkan karena cara mereka diajari untuk takut. Padahal, cinta yang benar tidak membutuhkan rasa takut yang melumpuhkan, tetapi menghadirkan keheningan yang memulihkan. Iman sejati bukan tentang menyembah dengan gemetar, melainkan menyembah dengan sadar.
Dalam pandangan sufistik modern, spiritualitas yang sehat adalah yang membebaskan manusia dari kecemasan moral palsu. Ketika seseorang jujur kepada dirinya sendiri, ia tidak lagi hidup dalam rasa bersalah yang direkayasa oleh tafsir dogmatis. Ia menemukan Tuhan di dalam kejujuran batinnya — bukan di panggung sosial yang menilai ibadahnya.
Kesimpulan
Ketika moralitas berubah menjadi teater, manusia kehilangan arah batin. Kebaikan dijalankan bukan karena keikhlasan, tapi karena kebutuhan tampil. Tafsir yang kehilangan kasih menciptakan manusia-manusia yang takut pada bayangan moralnya sendiri. Dalam situasi seperti ini, agama kehilangan pesonanya sebagai rahmat.
Untuk itu, diperlukan keberanian intelektual dan spiritual untuk membaca ulang teks-teks suci dengan cinta dan kesadaran. Ali Shariati, Nasr Abu Zayd, Muhammad Iqbal, dan Fazlur Rahman sama-sama mengingatkan: agama yang membebaskan harus mampu menghidupkan jiwa, bukan menakut-nakuti. Karena cinta kepada Tuhan seharusnya tidak melahirkan trauma, melainkan menghadirkan kedamaian yang paling dalam.
Maka, tugas manusia modern bukan lagi mempertontonkan moralitas di atas panggung sosial, melainkan memulihkan dialog jujur antara hati dan wahyu. Di sanalah letak moralitas sejati — bukan di sorotan kamera, tetapi di sunyi nurani yang tak tersentuh tepuk tangan.
Barangkali, di titik paling sunyi dari kesadaran manusia, Tuhan tidak lagi dicari lewat rasa takut, melainkan lewat rindu yang mendalam. Sebab, dalam rindu itulah manusia menyadari bahwa Ia tidak jauh — hanya tertutup oleh gema moralitas yang terlalu bising. Ketika dunia menjadikan kebaikan sebagai tontonan, maka diam menjadi bentuk ibadah yang paling luhur.
Moralitas sejati lahir bukan dari naskah dogma, tetapi dari percakapan lirih antara jiwa dan langit. Di sana, manusia berhenti menghakimi dirinya sendiri, lalu mulai mendengarkan suara cinta yang menuntunnya pulang. Itulah hakikat kesucian yang tak bisa dipentaskan — kesucian yang tumbuh dari kesadaran, bukan dari penilaian.
Dan mungkin, pada akhirnya, agama bukan panggung bagi yang sempurna. Ia adalah ruang teduh bagi mereka yang masih mencari, masih jatuh, dan masih ingin pulang. Di titik itu, setiap rasa bersalah berubah menjadi doa, dan setiap air mata menjadi jalan menuju cahaya.
Referensi
Ali Shariati, Man and Islam. Tehran: Shariati Foundation, 1971.
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Oxford University Press, 1934.
Nasr Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Toward a Humanistic Hermeneutics. Leiden: Brill, 2004.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Mutawalli Asy-Sya‘rawi, Tafsir Asy-Sya‘rawi. Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1991.