Kritik Spiritual atas Hari Santri: Ketika Simbol Kehilangan Ruh Makna Awal Hari Santri Hari Santri sejatinya lahir dari semangat...
Kritik Spiritual atas Hari Santri: Ketika Simbol Kehilangan Ruh
Makna Awal Hari Santri
Hari Santri sejatinya lahir dari semangat keilmuan dan pengabdian ruhani. Ia merupakan penghormatan terhadap tradisi pesantren — pusat pembentukan jiwa dan akhlak — tempat ilmu menjadi jalan menuju Allah, bukan sekadar alat sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, makna ini mengalami reduksi. Hari Santri kini lebih sering dimaknai sebagai pesta seremonial, bukan momentum perenungan spiritual.
Dalam makna spiritualnya, santri adalah simbol perjalanan batin: pencarian akan kebenaran, penyucian diri, dan pencapaian ma‘rifah. Ketika Hari Santri kehilangan aspek ini, yang tersisa hanyalah baju putih, sorban, dan atribut yang kehilangan ruh.
Pesantren dan Krisis Spiritualitas
Pesantren dahulu berdiri di atas fondasi *tazkiyah al-nafs* — penyucian jiwa. Para santri diajarkan untuk belajar bukan demi status sosial, tetapi demi kebersihan hati. Namun di era modern, pesantren pun mulai bergeser: menjadi institusi administratif yang sibuk dengan akreditasi, sertifikasi, dan lomba-lomba. Dalam kesibukan itu, keheningan spiritual — yang dahulu menjadi pusat energi pesantren — kian memudar.
Al-Qur’an menegaskan:
﴿قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا﴾
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9)
Ayat ini adalah fondasi pesantren sejati. Namun kini, banyak yang lupa bahwa keberuntungan itu tidak lahir dari seragam dan slogan, melainkan dari proses pembersihan batin yang terus-menerus. Hari Santri yang kehilangan kesadaran ini akan berubah menjadi rutinitas tanpa ruh, sekadar kalender nasional yang hampa makna.
Hati, Ilmu, dan Kekosongan Makna
Imam al-Ghazali pernah berkata bahwa hati (*qalb*) adalah pusat pengetahuan sejati — bukan otak, bukan mata, melainkan dimensi batin yang menjadi cermin hakikat. Dalam *Ihya’ Ulum al-Din*, ia menulis bahwa hati adalah tempat Allah memandang manusia. Namun, hati yang kotor oleh riya, cinta dunia, dan kepentingan politik akan tertutup dari cahaya ilmu.
Al-Qur’an juga menyinggung hal ini:
﴿فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ﴾
“Bukan mata yang buta, tetapi hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Ketika Hari Santri kehilangan fungsi penyucian hati, maka simbolisme yang dibangun hanyalah ilusi sosial. Banyak yang bangga memakai identitas “santri” tapi lupa membersihkan niat. Hari Santri berubah menjadi perayaan ego kolektif, bukan refleksi spiritual.
Simbolisme tanpa Ruh
Simbol tanpa ruh adalah jasad tanpa nyawa. Ia bergerak, tapi tidak hidup. Begitulah Hari Santri ketika kehilangan makna batinnya. Ia dirayakan di lapangan, diisi orasi, pawai, dan lomba-lomba, tetapi jarang diisi dzikir, tafakkur, atau muhasabah. Padahal, inti kesantrian justru terletak pada kesadaran batin akan ketergantungan kepada Tuhan.
Ironisnya, banyak generasi baru yang mengenal Hari Santri tanpa memahami pesantren sebagai jalan spiritual. Mereka tahu “perayaannya”, tapi tidak memahami “perjalanannya”. Santri di masa lalu menempuh jalan sunyi — menundukkan ego, melawan nafsu, dan menapaki jalan cinta. Santri di masa kini seringkali hanya meniru simbol luarnya.
Refleksi Akhir
Hari Santri seharusnya menjadi momentum introspeksi kolektif. Bukan sekadar peringatan sejarah, tetapi ziarah spiritual menuju diri. Ia bukan hari kemenangan, melainkan hari penyadaran bahwa ilmu tanpa hati hanyalah kebanggaan kosong. Dalam dunia yang semakin bising oleh simbol, santri harus kembali menjadi penjaga keheningan batin.
Jika Hari Santri hanya menjadi pesta tanpa ruh, maka perayaannya adalah bentuk kehilangan itu sendiri. Sudah saatnya umat Islam — khususnya kalangan pesantren — menyalakan kembali lentera batin. Karena hanya dari hati yang jernih, ilmu akan menemukan maknanya, dan peringatan akan kembali menjadi pengingat.
Pada akhirnya, bukan manusia yang menciptakan algoritma, tapi algoritma yang sedang menulis ulang manusia.
Daftar Pustaka
- Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005. 
- Al-Qur’an al-Karim. 
- Abdul Hadi W.M. Spiritualitas dan Sastra Sufi. Jakarta: Paramadina, 1996. 
- Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. New York: SUNY Press, 1989. 
- Fazlur Rahman. Islam and Modernity. Chicago: University of Chicago Press, 1982. 
 
 
							     
							     
							     
							     
 
 
 
 
 
 
 
 
