Manusia dan Tanggung Jawab Sejarah: Aktivisme Sosial dalam Pandangan Ali Shariati Pendahuluan Pemikiran Ali Shariati (1933–1977) men...
Manusia dan Tanggung Jawab Sejarah: Aktivisme Sosial dalam Pandangan Ali Shariati
Pendahuluan
Pemikiran Ali Shariati (1933–1977) menempati posisi penting dalam khazanah intelektual Islam modern. Ia dikenal sebagai sosiolog dan pemikir revolusioner asal Iran yang berupaya membangkitkan kesadaran umat terhadap tanggung jawab sejarahnya. Bagi Shariati, manusia bukan sekadar makhluk yang hidup di dalam sejarah, tetapi agen aktif yang membentuk arah sejarah itu sendiri.
Pandangan ini lahir dari semangat Islam progresif yang menolak fatalisme dan budaya diam. Dalam konteks masyarakat modern, di mana institusi sering kehilangan orientasi moralnya, konsep tanggung jawab sejarah menjadi seruan untuk merebut kembali peran aktif manusia dalam menciptakan perubahan sosial yang bermakna.
Konsep Insan sebagai Pencipta Sejarah
Dalam karya aslinya berbahasa Persia, Shariati menulis:
“انسان، آفریدگار تاریخ است نه آفریدهٔ آن.”
(Insan, âfaridgâr-e târikh ast, na âfarideh-ye ân) yang berarti
“Manusia adalah pencipta sejarah, bukan hasil ciptaannya.”
Ungkapan ini menjadi basis dari teologi sosial Shariati: manusia memiliki kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab moral untuk mengubah kondisi sosial yang rusak.
Konsep ini menegaskan bahwa iman sejati bukanlah kepasrahan, melainkan gerak aktif menuju pembebasan. Dalam kerangka ini, setiap individu dipanggil untuk menolak struktur penindasan yang membelenggu, baik dalam bentuk kekuasaan politik, ekonomi, maupun hegemoni budaya modern yang mereduksi manusia menjadi objek sistem.
Ayat Al-Qur’an tentang Tanggung Jawab Sejarah
قُلْ هُوَ الَّذِي أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
“Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al-Mulk [67]: 23)
Menurut tafsir Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa at-Tanwir, ayat ini menegaskan potensi insaniyah sebagai instrumen kesadaran sejarah. Pendengaran, penglihatan, dan hati disebutkan bukan sebagai organ pasif, melainkan sebagai alat pencarian makna dan perubahan. Syukur yang dimaksud bukan hanya ucapan, melainkan pemanfaatan kemampuan manusia untuk memperbaiki kondisi sosial dan moral di sekitarnya.
Aktivisme Sosial dan Penolakan Budaya Diam
Ali Shariati menganggap diam terhadap ketidakadilan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap hakikat kemanusiaan. Budaya diam menjadikan manusia kehilangan ruh kritisnya dan membiarkan sejarah ditulis oleh kekuatan yang menindas. Dalam konteks modern, hal ini tampak dalam lembaga-lembaga yang kehilangan arah moral, ketika kepentingan menggantikan nilai, dan prosedur menggantikan makna.
Tanggung jawab sejarah, dalam pandangan Shariati, menuntut keberanian moral untuk berbicara dan bertindak. Aktivisme sosial bukan hanya perjuangan politik, melainkan manifestasi spiritual dari tauhid yang hidup. Manusia yang beriman adalah manusia yang sadar sejarah—ia mencipta, bukan tunduk; ia menulis, bukan dibaca oleh zaman.
Ayat Al-Qur’an tentang Menolak Budaya Diam
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 104)
Ibnu ‘Asyur menafsirkan ayat ini sebagai seruan kolektif untuk membentuk kesadaran sosial yang aktif. Seruan amar ma’ruf nahi munkar bukan sekadar ritual moral, melainkan mekanisme sosial untuk mencegah stagnasi nilai. Diam terhadap kemungkaran berarti membiarkan sejarah dikuasai oleh kebatilan, sementara keterlibatan aktif menjadi manifestasi syukur dan keberanian iman.
Dimensi Spiritual dalam Gerak Sosial
Bagi Shariati, aktivisme sosial tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas. Tauhid, baginya, bukan hanya pengakuan terhadap keesaan Tuhan, tetapi prinsip kesatuan realitas yang menolak segala bentuk penindasan. Maka setiap gerakan sosial yang menuntut keadilan sejatinya adalah bentuk ibadah sosial, di mana iman menjelma menjadi aksi.
Pemahaman ini menantang dikotomi palsu antara agama dan dunia. Dalam masyarakat modern yang cenderung memisahkan keduanya, Shariati mengingatkan bahwa iman tanpa perjuangan hanyalah retorika, dan perjuangan tanpa iman hanyalah ambisi. Manusia beriman sejati adalah mereka yang menyatukan keduanya dalam tanggung jawab sejarahnya.
Penutup Reflektif
Pemikiran Ali Shariati menegaskan bahwa setiap manusia memiliki tugas historis untuk menegakkan nilai dan keadilan. Dalam dunia modern yang terjebak dalam algoritma dan rutinitas, kesadaran sejarah menjadi bentuk pembebasan tertinggi. Diam berarti tunduk pada sistem, sementara bertindak berarti menegaskan eksistensi kemanusiaan.
Seperti ditegaskannya: “Manusia adalah makhluk yang mencipta sejarah, bukan hasil ciptaannya.” Maka manusia sejati adalah mereka yang berani berpikir, bersuara, dan berbuat ketika institusi kehilangan arah. Sebab di sanalah kemanusiaan menemukan maknanya yang paling luhur.
Daftar Referensi
Ali Shariati. Insan-e Bidar (The Enlightened Man). Tehran: Hosseinieh Ershad Publications, 1970.
Ali Shariati. Bazgasht be Khish (Return to Self). Tehran: Nashr-e Shariati, 1971.
Ali Shariati. Religion vs Religion. Tehran: Shariati Foundation, 1978.
Ibn ‘Ashur, Muhammad al-Tahir. At-Tahrir wa at-Tanwir. Tunis: Dar Sahnun li an-Nashr wa at-Tauzi‘, 1984.
Qur’an al-Karim. Surah Al-Mulk [67]: 23 dan Surah Ali ‘Imran [3]: 104.
Mutahhari, Murtadha. Man and Destiny. Tehran: World Organization for Islamic Services, 1983.
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Life and Thought. Albany: State University of New York Press, 1981.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Esposito, John L. Voices of Resurgent Islam. Oxford: Oxford University Press, 1983.
Engineer, Asghar Ali. Islam and Liberation Theology. New Delhi: Sterling Publishers, 1990.