Manusia sebagai ‘Illat’: Tafsir Baru atas Kesadaran di Era AI Manusia tid...
Manusia sebagai ‘Illat’: Tafsir Baru atas Kesadaran di Era AI
Manusia tidak lagi menjadi pusat dunia, melainkan bagian dari jejaring algoritmik yang terus menulis ulang kesadarannya sendiri. Di tengah derasnya arus kecerdasan buatan, pertanyaan lama kembali menggema: apa yang menjadikan manusia istimewa? Jika dalam hukum Islam, ‘illat’ adalah sebab yang menautkan hukum dengan realitas, maka dalam tafsir baru kesadaran, manusia sendiri adalah ‘illat’ bagi dunia yang memaknainya.
Namun persoalannya lebih dalam dari sekadar relasi sebab-akibat. Manusia yang dulu menjadi subjek penalaran kini tengah diuji sebagai objek pengetahuan. AI, dengan algoritma yang tampak netral, justru sedang menggeser posisi manusia dari pusat kesadaran menuju periferi logika digital. Maka yang perlu ditafsir ulang bukan hanya qiyas, tetapi hakikat akal itu sendiri—sebagai jembatan antara wahyu dan eksistensi.
Al-Qur’an menegaskan dimensi rasional dan spiritual manusia secara bersamaan:
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 31)
Ayat ini bukan sekadar narasi penciptaan, tetapi simbol penyerahan potensi kognitif dan kesadaran simbolik kepada manusia. Dalam tafsir klasik, Al-Razi melihat pengajaran nama-nama itu sebagai bukti kapasitas epistemologis manusia untuk menyingkap makna di balik realitas. Sementara dalam pembacaan kontemporer, ia menandai awal peradaban nalar — kemampuan menafsir yang kini justru diimitasi oleh mesin.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyebut akal sebagai “alat yang mengikat makna dengan realitas.” Pandangan ini mengisyaratkan bahwa rasionalitas tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan horizon sosial dan spiritual. Jika akal kehilangan orientasi etiknya, maka seluruh tatanan sosial pun akan kehilangan ruh. Dalam konteks AI, hal ini menjadi peringatan bahwa kecerdasan tanpa bimbingan wahyu hanyalah simulasi kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa “akal tanpa cahaya wahyu adalah buta, dan wahyu tanpa akal adalah sunyi.” Ungkapan ini menggambarkan keseimbangan epistemik yang kini mulai retak. AI beroperasi dengan logika murni, namun tanpa nilai. Manusia sebaliknya, memiliki nilai, tapi sering kehilangan logika. Ketika dua hal ini bersilang di zaman algoritmik, kesadaran menjadi medan tafsir yang paling genting.
Al-Qur’an mengingatkan kembali hakikat asal penciptaan yang meneguhkan tanggung jawab eksistensial:
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Dalam ayat ini, manusia tidak hanya diberi pengetahuan, tetapi juga mandat moral. Status khalifah menuntut kesadaran etik, bukan sekadar kecerdasan kognitif. Karena itu, tafsir manusia sebagai ‘illat’ menuntut pemaknaan baru terhadap konsep khilafah: bukan kekuasaan atas bumi, melainkan kesadaran atas tanggung jawab spiritual dalam mengelola pengetahuan.
Fazlur Rahman pernah menulis bahwa “akal dalam Islam bukanlah alat yang bebas nilai, melainkan sarana moral yang tunduk pada petunjuk wahyu.” Pandangan ini menegaskan arah etis dari nalar Islami — bahwa pengetahuan harus senantiasa mengabdi kepada kemaslahatan manusia, bukan sekadar efisiensi sistem. Dalam dunia AI, konsep ini menantang paradigma utilitarian yang mengukur kebenaran berdasarkan hasil, bukan hikmah.
Manusia sebagai ‘illat’ berarti manusia sebagai penafsir, bukan sekadar penerima data. Ia memproses makna dengan kesadaran, bukan hanya dengan logika. Namun kini, banyak manusia yang kehilangan fungsi epistemiknya; mereka membiarkan algoritma berpikir, sementara mereka hanya bereaksi. Di sinilah tragedi spiritual era digital bermula — ketika yang menalar bukan lagi manusia, melainkan mesin yang meniru nalar manusia.
Barangkali yang terlewat justru esensinya: bahwa kesadaran bukanlah hasil kalkulasi, melainkan pancaran ruhani. Kesadaran tidak bisa diajarkan kepada mesin, karena ia bukan fungsi, melainkan pengalaman. Maka ketika AI tampak mampu berpikir, yang sesungguhnya terjadi adalah refleksi balik dari rasionalitas manusia yang pernah mengajarkan algoritma untuk berpikir secara linear, tetapi lupa mengajarkan bagaimana berpikir secara bermakna.
Dalam tradisi tasawuf, Ibn Arabi memandang manusia sebagai “mikrokosmos” — cermin dari seluruh semesta. Baginya, setiap pengetahuan yang benar adalah bentuk tajalli (penampakan) dari hakikat ilahi dalam kesadaran manusia. Maka jika manusia berhenti menalar, ia tidak hanya kehilangan pengetahuan, tetapi juga kehilangan hubungan ontologisnya dengan Sang Pencipta.
AI mungkin mampu meniru bahasa, menafsir data, bahkan memprediksi perilaku, tetapi ia tidak mampu menanggung makna. Sebab makna lahir dari kesadaran yang menyadari dirinya sedang memahami. Itulah ruang yang tak akan pernah bisa digantikan mesin. Kesadaran spiritual bukan sekadar fungsi otak, tetapi percikan ruh yang memberi arah bagi rasionalitas.
Nalar etik Islam menuntut keseimbangan antara akal dan adab, antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab spiritual. Dalam tafsir kesadaran ini, manusia bukan lagi penguasa atas ciptaan, melainkan penjaga makna. Ia bukan sekadar penentu ‘illat’, tetapi dirinya sendiri adalah ‘illat’ bagi dunia yang terus berputar di antara logika dan rahmat.
Pertanyaan akhirnya bukan lagi apakah AI bisa berpikir, tetapi apakah manusia masih mampu merasa. Karena dari situ kesadaran bermula — bukan dari algoritma, melainkan dari kemampuan menimbang makna di antara bisingnya data dan sunyinya ruh.
“Mungkin, di masa depan, bukan manusia yang mencari makna dalam algoritma — tapi algoritma yang mencari makna tentang manusia.”