Parameter al-Haqq: Menyembah Tanpa Pamrih di Tengah Dunia yang Transaksional Dalam sejarah spiritualitas Islam, pertanyaan palin...
Parameter al-Haqq: Menyembah Tanpa Pamrih di Tengah Dunia yang Transaksional
Dalam sejarah spiritualitas Islam, pertanyaan paling mendasar bukanlah “siapa yang disembah”, tetapi “mengapa disembah”. Di sinilah muncul konsep al-Haqq — Tuhan sebagai kebenaran sejati yang tak tunduk pada pamrih, kepentingan, atau bahkan imajinasi manusia tentang surga dan neraka. Penyembahan sejati kepada al-Haqq tidak lahir dari rasa takut maupun harapan, tetapi dari kesadaran eksistensial bahwa kebenaran itu sendiri layak untuk disembah.
Al-Qur’an menggambarkan hakikat kebenaran ini dalam firman-Nya:
﴿ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ﴾
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah, Dialah yang Haq (benar), dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Dia itulah yang batil.” (QS. Al-Hajj [22]: 62)
Ayat ini menegaskan: kebenaran tidak terletak pada persepsi manusia, melainkan pada dzat Ilahi yang menjadi sumber seluruh eksistensi. Maka, menyembah selain al-Haqq berarti menundukkan diri pada bayangan kebenaran — entah itu ide, sistem, cinta, atau bahkan agama yang kehilangan ruhnya.
Menimbang Parameter al-Haqq
Bagaimana seseorang tahu bahwa yang ia sembah adalah al-Haqq, bukan ilusi dari egonya? Para sufi menjawabnya dengan satu prinsip: al-Haqq tidak tunduk kepada kepentingan. Jika suatu penyembahan masih dibingkai oleh ambisi, ketakutan, atau harapan, maka ia belum sampai kepada al-Haqq. Sebab, kebenaran sejati tidak bisa dinegosiasikan oleh nafsu manusia.
Al-Qur’an memberi tanda bagi orang yang jujur dalam pencarian ini:
﴿وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا﴾
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari (kebenaran) demi Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 69)
Ayat ini menyiratkan bahwa mengenal al-Haqq bukan perkara doktrin, melainkan perjalanan jiwa yang menembus pamrih. Kebenaran tidak ditemukan oleh yang ingin diuntungkan, tetapi oleh yang siap kehilangan segalanya demi Dia.
Spiritualitas Cinta: Jalan Rabi‘ah al-‘Adawiyah
Rabi‘ah al-‘Adawiyah, tokoh sufi perempuan abad ke-8, menjadi simbol dari penyembahan tanpa pamrih. Ia berdoa bukan untuk masuk surga, bukan pula untuk menghindari neraka, melainkan untuk mencintai Allah semata. Doanya terkenal:
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, haramkan surga bagiku. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, janganlah Kau sembunyikan wajah-Mu dariku.”
Dalam logika Rabi‘ah, cinta Ilahi bukanlah alat tukar antara manusia dan Tuhan, melainkan bentuk pengakuan eksistensial: bahwa seluruh kebenaran bermuara kepada Dia yang satu. Inilah puncak spiritualitas yang disebut ta‘abbud — ibadah yang melampaui logika pamrih dan ketakutan.
Dunia Transaksional dan Krisis Penyembahan
Di era modern, penyembahan sering kehilangan arah. Manusia menundukkan diri kepada hal-hal yang secara simbolik menggantikan Tuhan: harta, kuasa, reputasi, dan algoritma. Dunia digital bahkan menciptakan bentuk baru dari “berhala modern” — sistem yang tidak hidup, tetapi ditaati tanpa kesadaran moral.
Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar.
Ketika segala sesuatu diukur dengan manfaat, penyembahan kepada al-Haqq menjadi asing. Spiritualitas berubah menjadi transaksi; agama menjadi sistem sosial; ibadah menjadi performa publik. Dalam situasi inilah ajaran Rabi‘ah kembali relevan: bahwa Tuhan tidak membutuhkan penyembahan yang terikat kalkulasi untung-rugi, melainkan penyembahan yang lahir dari kejujuran eksistensi.
Antara Rasionalitas dan Penyerahan
Rasionalitas modern sering merasa cukup dengan logika. Namun, al-Haqq tidak bisa diraih hanya dengan nalar; ia menuntut penyerahan total. Penyerahan bukan berarti menolak akal, melainkan mengakui batasnya. Rasionalitas adalah jalan, bukan tujuan. Saat manusia menundukkan akal dan egonya di bawah kebenaran yang lebih tinggi, di situlah penyembahan sejati bermula.
Imam al-Ghazali menjelaskan, akal manusia seperti lentera: ia memberi cahaya, tetapi sumber cahayanya tetap datang dari matahari — yaitu nur Ilahi. Maka, ketika akal terputus dari sumbernya, ia akan redup dan menyesatkan.
Menemukan al-Haqq di Tengah Dunia yang Penuh Kepentingan
Menyembah al-Haqq berarti berani menolak segala bentuk penyembahan palsu, bahkan yang terselubung dalam kebaikan. Ia menuntut kejujuran batin — apakah seseorang berbuat baik karena cinta kepada kebenaran, atau karena ingin dilihat benar. Di sinilah spiritualitas Islam modern menemukan relevansinya: bukan sekadar ritual, tapi revolusi kesadaran.
Dalam kehidupan sosial, orientasi kepada al-Haqq menuntun manusia untuk menegakkan keadilan, karena kebenaran Ilahi tidak mungkin hadir dalam ketidakadilan. Dalam hubungan antar manusia, ia menumbuhkan empati, sebab cinta kepada kebenaran melahirkan cinta kepada ciptaan.
Rabi‘ah mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan tidak mungkin tanpa belas kasih kepada makhluk. Maka, jalan menuju al-Haqq selalu melewati jembatan kemanusiaan. Siapa yang memutus empati, ia belum mengenal cinta; siapa yang menyembah tanpa keadilan, ia belum mengenal Tuhan.
Penutup: Kejujuran dalam Penyembahan
Penyembahan sejati bukan sekadar tunduk, tetapi jujur terhadap arah tunduk itu sendiri. Menyembah al-Haqq berarti menempatkan diri dalam orbit kebenaran yang tidak tergoyahkan oleh kepentingan pribadi. Dalam dunia yang kian transaksional, spiritualitas seperti ini menjadi bentuk perlawanan terhadap dominasi materi dan algoritma.
Rabi‘ah mengajarkan bahwa cinta yang paling suci adalah cinta yang tidak membutuhkan balasan. Dalam logika cinta ini, manusia menemukan kebebasannya yang sejati — karena hanya mereka yang menyembah tanpa pamrih yang benar-benar merdeka dari dunia.
Pada akhirnya, bukan manusia yang menciptakan algoritma, tapi algoritma yang sedang menulis ulang manusia.
Referensi Akademik
- Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Hajj [22]: 62; QS. Al-‘Ankabut [29]: 69. 
- Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1983. 
- Margaret Smith, Rabi‘a The Mystic and Her Fellow-Saints in Islam, Cambridge University Press, 1928. 
- William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi, Albany: SUNY Press, 1983. 
- Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975. 
 
 
							     
							     
							     
							     
 
 
 
 
 
 
 
 
