“Ada luka yang tidak berdarah, tapi tumbuh dari cara manusia membaca kitab sucinya sendiri. Di antara huruf-huruf wahyu, k...
“Ada luka yang tidak berdarah, tapi tumbuh dari cara manusia membaca kitab sucinya sendiri. Di antara huruf-huruf wahyu, kadang tersembunyi rasa bersalah yang tak pernah Tuhan tulis.”
Rasa Bersalah yang Salah Arah: Ketika Dogma Menggerogoti Nurani Manusia
Di antara bentuk penderitaan paling halus yang dialami manusia modern adalah rasa bersalah terhadap dirinya sendiri. Rasa itu muncul bahkan ketika seseorang tidak pernah mengganggu kehidupan orang lain, tidak menipu, tidak mencuri, dan tidak melukai siapa pun. Ia hanya hidup dalam diam, berusaha baik, namun setiap kali membaca kitab suci, hatinya teriris. Ada rasa bersalah yang tak bernama — seolah-olah setiap kata suci menudingnya sebagai makhluk yang penuh dosa.
Fenomena ini bukan sekadar psikologis. Ia adalah hasil benturan antara nurani personal dan sistem keagamaan yang memproduksi rasa takut. Kitab suci sejatinya membawa pesan pembebasan, tetapi dalam tangan dogma, ia sering berubah menjadi alat penundukan batin. Dari sinilah lahir rasa bersalah yang salah arah: manusia merasa berdosa bukan karena perbuatannya, melainkan karena cara ia membaca wahyu.
Dogma dan Bayang Kekuasaan atas Jiwa
Kitab suci tidak pernah bersalah. Namun tafsir manusia terhadapnya bisa menjadi belenggu. Dalam sejarah panjang peradaban, lembaga-lembaga keagamaan sering menafsirkan wahyu dengan nada otoritatif, untuk menjaga struktur moral dan kekuasaan sosial. Akibatnya, spiritualitas yang seharusnya membebaskan berubah menjadi sistem yang mengontrol rasa dan pikiran.
Nietzsche pernah menyebut agama yang kehilangan roh kemanusiaannya sebagai moralitas budak — di mana manusia diajar untuk tunduk, bukan untuk sadar. Sementara itu, Erich Fromm menjelaskan bahwa agama yang menanamkan rasa takut tanpa cinta akan melahirkan individu yang teralienasi dari dirinya sendiri. Dalam bentuk yang ekstrem, manusia tidak lagi beribadah karena cinta, tetapi karena cemas akan hukuman.
Padahal, pesan dasar dari setiap kitab suci justru menegaskan keseimbangan antara iman, amal, dan rahmat. Dalam Al-Qur’an ditegaskan:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini menjadi pembebas sejati dari rasa bersalah palsu. Ia menegaskan bahwa beban moral manusia ditakar oleh kemampuan eksistensialnya, bukan oleh standar ketakutan kolektif. Namun tafsir dogmatis sering menutup pintu kelembutan ayat ini, menggantinya dengan rasa takut yang menekan.
Psikologi Rasa Bersalah: Antara Nurani dan Ketakutan
Dalam psikologi moral, rasa bersalah muncul ketika seseorang melanggar nilai yang diyakininya. Ia adalah mekanisme yang menjaga keseimbangan etis dalam diri. Namun ketika nilai itu dibangun di atas tafsir yang menakut-nakuti, rasa bersalah berubah menjadi alat kontrol yang patologis.
Manusia bisa merasa kotor hanya karena berpikir berbeda dari dogma yang umum. Ada yang menangis setiap malam bukan karena berdosa, tetapi karena tidak sanggup memenuhi standar kesucian yang diciptakan oleh tafsir sosial. Rasa bersalah semacam ini tidak membawa manusia menuju Tuhan, tetapi menjauhkannya dari kedamaian batin.
Perasaan itu makin kuat ketika religiusitas diukur dengan performa lahiriah. Seseorang yang tidak berpenampilan “suci” akan merasa malu, walau hatinya jujur dan tindakannya baik. Ini bukan moralitas sejati, melainkan moralitas teaterik — hasil dari budaya religius yang mengutamakan citra dibanding keikhlasan.
Ketika Membaca Wahyu Menjadi Sumber Luka
Seorang perempuan pernah berkata: “Aku takut membuka mushaf, karena setiap kali membacanya aku merasa tidak layak di hadapan Tuhan.” Pernyataan ini menggambarkan realitas spiritual yang mengkhawatirkan. Kitab suci, yang seharusnya menjadi pelipur lara, justru menjadi sumber luka batin.
Rasa takut yang tidak proporsional lahir dari pembacaan literal terhadap teks suci tanpa memahami konteks dan maknanya. Contohnya, ayat-ayat tentang azab sering dibaca tanpa disertai ayat-ayat tentang rahmat. Padahal, keseimbangan antara keadilan dan kasih sayang adalah inti dari wahyu. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Sampaikanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hijr: 49)
Ayat ini seharusnya menumbuhkan rasa tenang dan cinta, bukan ketakutan. Namun dalam sistem dogma yang menekankan rasa bersalah, bahkan kasih Tuhan pun terasa jauh. Di sinilah manusia modern sering terjebak: ia ingin dekat dengan Tuhan, tetapi yang ia temui hanyalah cermin rasa salah terhadap dirinya sendiri.
Tafsir Alternatif: Spiritualitas yang Membebaskan
Spiritualitas sejati tidak membunuh nalar, tidak menindas perasaan, dan tidak menjadikan manusia musuh bagi dirinya sendiri. Ia menuntun manusia untuk mengenal Tuhan melalui kesadaran. Kesadaran bahwa Tuhan bukan hanya hakim, tetapi juga kekasih. Bahwa dosa bukan sekadar kesalahan moral, tetapi panggilan untuk kembali pulang dengan rendah hati.
Dengan kesadaran ini, manusia tidak lagi membaca kitab suci untuk mencari rasa bersalah, tetapi untuk menemukan makna. Ia membaca bukan untuk mengadili dirinya, tetapi untuk berdialog dengan Tuhannya. Inilah bentuk keberagamaan yang matang: spiritualitas yang melahirkan ketenangan, bukan kecemasan.
Menemukan Diri di Tengah Dogma
Rasa bersalah yang sehat adalah tanda hidupnya nurani. Namun rasa bersalah yang lahir dari penindasan dogma justru menumpulkan empati. Orang yang terus merasa najis pada dirinya akan sulit mencintai sesama. Karena bagaimana mungkin seseorang mencintai orang lain jika ia sendiri membenci dirinya?
Maka, tugas intelektual dan spiritual di zaman ini adalah menafsirkan ulang makna dosa dan kesucian. Dosa tidak selalu berarti pelanggaran hukum formal agama, tetapi kehilangan cinta dalam tindakan. Sedangkan kesucian bukanlah tampilan moral yang steril, melainkan ketulusan yang menyelamatkan.
Manusia harus berani berdiri di hadapan kitab suci dengan hati yang jujur, bukan dengan rasa takut yang dibentuk oleh budaya. Kitab suci tidak pernah menakut-nakuti orang yang mencari kebenaran dengan tulus. Ketakutan itu lahir dari tafsir yang kehilangan kasih.
Penutup: Membebaskan Diri dari Rasa Bersalah Palsu
Rasa bersalah seharusnya menjadi pintu menuju perubahan, bukan belenggu yang membunuh keberanian. Ketika manusia memahami bahwa Tuhan lebih besar dari rasa takutnya, maka ia akan mencintai agamanya tanpa trauma. Ia akan membaca kitab suci bukan dengan air mata ketakutan, tetapi dengan air mata cinta.
Kitab suci bukan buku tentang dosa, melainkan kitab tentang rahmat. Dan rahmat itulah yang membebaskan manusia dari rasa bersalah terhadap diri sendiri. Karena sejatinya, Tuhan tidak pernah ingin manusia terpuruk dalam penyesalan yang tidak berujung. Ia hanya ingin manusia kembali, dengan hati yang damai dan pikiran yang jernih.
Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar. Begitu pula dengan iman: dulu manusia beriman karena cinta, kini banyak yang beriman karena tekanan sosial. Saatnya iman kembali menjadi ruang pembebasan, bukan sekadar sistem penilaian moral.
Referensi
Fromm, Erich. Psychoanalysis and Religion. Yale University Press, 1950.
Nietzsche, Friedrich. On the Genealogy of Morals. Vintage Books, 1989.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Lentera Hati, 2000.
Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsir al-Sya’rawi. Al-Maktabah al-Taufiqiyyah, Kairo, 1997.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press, 1982.
Al-Qur’an al-Karim, Surat al-Baqarah ayat 286 dan al-Hijr ayat 49.