Rasionalitas dan Spiritualitas dalam Kewajiban Jumat: Dari Abu Hanifah hingga Ibnu Hazm Perdebatan tentang kewajiban salat Jumat b...
Rasionalitas dan Spiritualitas dalam Kewajiban Jumat: Dari Abu Hanifah hingga Ibnu Hazm
Perdebatan tentang kewajiban salat Jumat bukan sekadar retrieval teks dari kitab; ia adalah dialog hukum yang merespons realitas sosial, politik, dan kondisi umat. Mayoritas ulama menetapkan Jumat sebagai kewajiban bagi muslim laki-laki yang memenuhi syarat. Namun sejumlah tradisi fiqh menempatkan batas, pengecualian, atau kondisi yang menggugurkan kewajiban itu. Artikel ini membaca argumen ulama yang tidak mewajibkan Jumat secara mutlak—menjelaskan dalil yang mereka pakai, rasionalitas metodologisnya, dan implikasi kontemporer dari opsi-opsi tersebut.
1. Landasan tekstual yang menjadi titik rujuk
Ayat dasar yang selalu dirujuk adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu menuju zikir kepada Allah.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 9)
Ayat ini menegaskan adanya seruan (nida’) dan perintah hadir; namun makna cakupan seruan—siapa yang termasuk, di mana, dan dalam kondisi apa—menjadi titik ijtihad yang berbeda-beda. Ulama yang membatasi kewajiban menafsirkan ‘seruan’ itu secara lokal dan kontekstual, bukan universal absolut untuk seluruh kondisi manusia di mana pun.
2. Abu Hanifah: batas geografis dan organisasi komunitas
Imam Abu Hanifah dan tradisi Hanafi memandang kewajiban Jumat terkait dengan keberadaan pusat komunitas (masjid jami‘) dan mekanisme seruan yang efektif. Argumennya tidak menolak Jumat sebagai institusi; ia menolak pemaksaan bentuk single-standard pada realitas yang beragam. Bagi penduduk desa yang tidak memiliki struktur jamaah atau yang dari segi praktis tidak bisa terlibat dalam seruan komunal, Abu Hanifah menempatkan salat Zuhur sebagai substitusi yang sah.
Dasar rasionalnya: teks menginstruksikan respons terhadap nida’. Jika tidak ada nida’ yang relevan bagi komunitas tertentu, maka kewajiban formal dalam bentuk yang sama tidak dapat diberlakukan secara praktis. Ini adalah contoh ijtihad yang mempertimbangkan infrastruktur sosial sebagai bagian dari hukum ibadah.
3. Imam Malik: uzur, masyaqqah, dan kelonggaran maqāṣidi
Tradisi Maliki menekankan prinsip maslahat dan tidak memaksakan ibadah dalam keadaan menimbulkan kesulitan berat. Hadis yang meriwayatkan pengecualian bagi orang sakit, budak, wanita, dan anak menjadi rujukan untuk memperluas kategori uzur. Imam Malik menempatkan hujan deras, bahaya perjalanan, atau kendala substansial lain sebagai bentuk masyaqqah yang menggugurkan kewajiban menghadiri Jumat secara fisik.
Logika ini adalah logika maqāṣidi: menjaga maslahat umat dan mencegah mudharat lebih besar. Ketika praktik wajib menyebabkan kerusakan sosial atau pribadi yang tidak proporsional, hukum memberi ruang dispensasi.
4. Ibnu Hazm dan perspektif legitimasi otoritas
Ibn Hazm (Zahiri) membawa dimensi lain: keterkaitan antara kewajiban Jumat dan legitimasi kepemimpinan agama/politik. Bagi sebagian ulama Zahiri, Jumat sah dan wajib dalam kerangka tata kelola umat yang memiliki imam atau otoritas yang sah. Tanpa otoritas tersebut—misalnya dalam kondisi kekacauan politik, fragmentasi kekuasaan, atau kepemimpinan yang tidak memenuhi syarat—penegakan Jumat sebagai institusi terpusat menjadi problematis.
Argumen semacam ini menyorot aspek institusional ibadah: Jumat bukan hanya ritual vertikal individu-ke-Tuhan, tetapi juga praktik kolektif yang merujuk pada struktur kepemimpinan. Jika struktur itu tidak hadir atau rusak, kewajiban itu tidak bisa berjalan sebagaimana dimaksud.
5. Implikasi metodologis dan etis
Apa yang dapat disimpulkan dari ketiga tradisi ini? Pertama, perbedaan bukan soal menolak teks, melainkan soal interpretasi konteks—geografi, keselamatan, dan legitimasi kelembagaan. Kedua, fiqh klasik telah mengembangkan mekanisme fleksibilitas: uzur, dispensasi, dan batas cakupan. Ketiga, argumen-argumen ini menunjukkan bahwa hukum ibadah mempertimbangkan kenyataan sosial sebagai bagian integral dari otoritas normatifnya.
Secara etis, pendekatan yang sensitif konteks mencegah penegakan hukum yang berubah menjadi beban tak masuk akal. Ia juga membuka ruang bagi ijtihad kontemporer: misalnya, bagaimana kewajiban Jumat dihadirkan bagi muslim urbanisasi, migran, atau komunitas minoritas di wilayah tanpa masjid jami‘. Rasionalitas fiqh ini relevan untuk merumuskan kebijakan keagamaan yang manusiawi.
6. Penutup: fiqh sebagai praktik kontekstual
Memahami ulama yang membatasi kewajiban Jumat adalah pelajaran tentang bagaimana hukum Islam bekerja sebagai percakapan antara teks dan realitas. Mereka tidak melemahkan kewajiban normatif; mereka menghadirkan prinsip kehati-hatian dan keluwesan agar hukum tidak memaksa di luar kemampuan umat. Bagi umat kontemporer, pesan ini relevan: otoritas agama harus selalu membaca situasi sosial dengan cermat, dan ijtihad itu sendiri menjadi alat untuk menjaga keseimbangan antara ketaatan ritual dan kemaslahatan manusia.
“Kewajiban agama tidak berhenti pada teks; ia hidup dalam konteks umat yang harus dipahami, dijaga, dan dihormati.”
Daftar Pustaka
- Al-Sarakhsi, Muhammad ibn Ahmad. Al-Mabsūṭ. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya. 
- Mudawwanah (Al-Madāwinah al-Kubrā). Kitab-kitab Malikiyah: Al-Muwatta’ dan komentar klasik. 
- Ibnu Hazm, Ahmad ibn Muhammad. Al-Muhalla. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyya. 
- Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society. 
- Hallaq, Wael B. Scholastic Method in Classical Islam. Princeton University Press. 
 
 
							     
							     
							     
							     
 
 
 
 
 
 
 
 
