Reinterpretasi Syariat dalam Pemikiran Gamal al-Banna: Arah Baru Ijtihad Kontemporer Di antara para pemikir reformis abad ke-20, n...
Reinterpretasi Syariat dalam Pemikiran Gamal al-Banna: Arah Baru Ijtihad Kontemporer
Di antara para pemikir reformis abad ke-20, nama Gamal al-Banna menempati posisi yang khas. Ia lahir dari keluarga besar al-Banna — adik kandung Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin — namun arah pemikirannya justru melintasi garis konservatisme organisasi itu. Jika Hasan menekankan aspek sosial-politik Islam, maka Gamal bergerak di wilayah yang lebih mendalam: rasionalisasi syariat dan penataan ulang konsep ijtihad bagi dunia modern.
Menurut al-Banna, stagnasi dunia Islam bukan karena kekurangan sumber hukum, melainkan karena kebekuan metodologis dalam menafsirkan teks. Syariat dipahami secara kaku, sementara realitas terus berubah. Bagi al-Banna, ijtihad bukan sekadar metode hukum, tetapi jantung dari kesadaran keagamaan yang hidup. Ia menulis, “al-Islam la yuhmalu bi riwayah, innama yuhmalu bi fikr” — Islam tidak dapat dijalankan hanya dengan meriwayatkan, tetapi dengan berpikir.
1. Rasionalisasi Syariat dan Tantangan Zaman
Pandangan Gamal al-Banna berangkat dari kritik terhadap pendekatan fiqih klasik yang cenderung menundukkan realitas pada teks. Ia menegaskan bahwa teks-teks syariat harus dibaca dalam terang rasionalitas manusia yang terus berkembang. Pemikiran ini merefleksikan semangat tajdid — pembaruan — yang menuntut keterlibatan akal dalam memahami wahyu.
Dalam salah satu karyanya, al-Banna menulis bahwa peran akal bukan sekadar pelengkap bagi nash, tetapi mitra sejajar dalam menafsirkan kehendak Tuhan. Akal berfungsi sebagai penjaga relevansi hukum terhadap realitas. Dengan demikian, ijtihad menurut al-Banna bersifat kontinu dan tidak mengenal kata selesai. Selama zaman berubah, maka tugas akal untuk menafsirkan hukum juga terus hidup.
Ia mengutip firman Allah:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Ayat ini, menurutnya, bukan hanya seruan etis untuk mencari ilmu, tetapi juga isyarat epistemologis bahwa agama memuliakan rasionalitas. Maka ijtihad harus selalu berpihak pada pengetahuan dan kesadaran, bukan pada peniruan buta.
2. Dekonstruksi Taklid dan Otoritas Ulama
Salah satu gagasan paling tajam dari Gamal al-Banna adalah dekonstruksi terhadap otoritas ulama klasik. Ia menolak konsep “penutupan pintu ijtihad” yang selama berabad-abad menjadi dalih konservatisme hukum Islam. Menurutnya, jika pintu ijtihad tertutup, maka agama berhenti berjalan bersama sejarah.
Bagi al-Banna, umat Islam modern harus berani membaca ulang teks tanpa bergantung sepenuhnya pada otoritas lama. Dalam hal ini, ia sejalan dengan semangat ijtihad jamā‘ī (ijtihad kolektif), di mana komunitas intelektual, ilmuwan, dan profesional turut berpartisipasi menafsirkan hukum Islam sesuai bidangnya. Ia menulis, “al-‘ulamā’ la yamlikūna al-haq al-mutlaq, wa lā al-nās yajib an yattabi‘ūhum bi ghayri fahm” — ulama tidak memiliki kebenaran mutlak, dan umat tidak wajib mengikuti mereka tanpa memahami alasan di baliknya.
Pandangan ini menegaskan prinsip kesetaraan epistemik antara ulama dan masyarakat. Ijtihad menjadi proses dialogis, bukan monopoli keulamaan. Dalam konteks kontemporer, hal ini membuka ruang bagi pembacaan Islam yang lebih demokratis dan partisipatif.
3. Ijtihad sebagai Proyek Peradaban
Bagi Gamal al-Banna, ijtihad bukan semata upaya hukum, tetapi proyek peradaban. Islam, katanya, bukan agama teks mati, melainkan sistem nilai yang harus diterjemahkan ke dalam dinamika kehidupan modern. Oleh karena itu, ijtihad mesti menembus batas-batas fiqih menuju wilayah etika, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Ia mengingatkan bahwa pembaruan tanpa dasar spiritual akan kehilangan arah, dan spiritualitas tanpa rasionalitas akan membeku. Dalam pandangan ini, al-Banna memadukan dua kutub: akal dan iman, teks dan konteks. Ia menulis bahwa wahyu adalah cahaya, sementara akal adalah mata; keduanya tak dapat dipisahkan dalam melihat kebenaran.
Firman Allah yang menjadi dasar refleksinya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 11)
Ayat ini dijadikan pijakan bahwa perubahan sosial dan hukum harus berangkat dari kesadaran manusia itu sendiri. Ijtihad, dalam makna ini, menjadi kekuatan moral yang menggerakkan perubahan.
4. Arah Baru Ijtihad di Era Modern
Dalam dunia modern yang dilingkupi oleh ilmu pengetahuan, teknologi, dan pluralitas nilai, Gamal al-Banna memandang ijtihad sebagai bentuk ijtihad madani — ijtihad yang terlibat aktif dalam membangun peradaban. Ia menolak dikotomi antara agama dan kemajuan, karena menurutnya, Islam yang sejati justru mendorong manusia untuk berinovasi.
Al-Banna menolak pendekatan fiqih yang hanya menjawab pertanyaan “halal atau haram”. Baginya, pertanyaan sejati Islam adalah “apa yang bermanfaat bagi manusia dan selaras dengan nilai ilahi?”. Di sini, hukum Islam dipahami sebagai etika kemaslahatan, bukan sekadar peraturan formal. Ia mengajak umat Islam keluar dari ruang pengulangan menuju ruang penciptaan — dari teks menuju makna.
Dengan demikian, warisan intelektual Gamal al-Banna menjadi cermin bahwa ijtihad sejati adalah keberanian untuk berpikir melampaui masa lalu tanpa kehilangan kesetiaan pada nilai-nilai wahyu. Ijtihad bukan sekadar metode hukum, melainkan napas spiritual yang menjaga agama tetap hidup di tengah perubahan dunia.
— esai reflektif untuk peradaban dan kebangkitan rasionalitas Islam kontemporer.