Reorientasi Studi Musthalah Hadis: Menghidupkan Makna di Balik Kategori Ilmiah Di tengah derasnya arus pengetahuan modern, ilmu mu...
Reorientasi Studi Musthalah Hadis: Menghidupkan Makna di Balik Kategori Ilmiah
Di tengah derasnya arus pengetahuan modern, ilmu musthalah hadis kerap dianggap sebagai disiplin yang kaku, membosankan, dan bahkan terpisah dari denyut kehidupan nyata. Banyak yang menilai bahwa musthalah hadis hanya berisi klasifikasi dan istilah—shahih, hasan, dhaif—tanpa ruh yang menjelaskan mengapa hadis dinilai demikian dan bagaimana nilainya bisa relevan dengan realitas manusia kontemporer. Padahal, di balik kerumitan itu, terdapat sebuah upaya intelektual besar dalam sejarah Islam: bagaimana memastikan kebenaran wahyu agar tidak tergelincir oleh kepentingan, bias, dan manipulasi zaman.
Sebagian skeptisisme terhadap musthalah hadis muncul karena cara penyajiannya yang terlalu teknis. Buku-buku klasik maupun pengajaran di kelas sering berhenti pada definisi, kategori, dan sanad, tanpa memberikan ruh epistemik—yakni, mengapa ilmu ini lahir dan untuk apa ia bekerja. Akibatnya, banyak generasi muda melihat musthalah hadis hanya sebagai daftar hafalan tanpa makna. Padahal, setiap istilah dalam ilmu hadis sejatinya adalah hasil dari dialog panjang antara iman, akal, dan kejujuran ilmiah.
Antara Skeptisisme Modern dan Kekeringan Metodologis
Skeptisisme terhadap musthalah hadis tidak muncul dari ruang hampa. Dunia modern terbiasa dengan pendekatan empiris, sementara musthalah hadis masih dipersepsikan tekstual dan dogmatis. Ketika ilmu lain berbicara dengan data dan konteks, ilmu hadis sering dianggap berhenti di tataran otoritas sanad. Padahal, akar dari metode sanad itu sendiri adalah upaya kritis paling canggih dalam sejarah keilmuan awal umat manusia.
Ulama seperti Imam al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Hajar al-Asqalani tidak sekadar mengumpulkan nama perawi, melainkan menegakkan etika intelektual: memastikan bahwa pengetahuan tentang Nabi ﷺ tidak jatuh ke tangan manipulatif. Itulah bentuk paling awal dari verifikasi data, jauh sebelum sains modern mengenal konsep validasi empiris.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya prinsip kritis ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka telitilah dengan cermat.” (QS. Al-Hujurat [49]: 6)
Ayat ini menjadi fondasi epistemologi keilmuan Islam—sebuah perintah untuk memverifikasi, bukan menelan mentah-mentah. Musthalah hadis, dengan segala kategorinya, adalah perpanjangan logis dari prinsip itu. Namun, ketika ilmu ini berhenti hanya pada “kategori”, tanpa menjelaskan “mengapa”, maka yang tersisa hanyalah bentuk tanpa jiwa.
Reorientasi: Dari Klasifikasi Menuju Kesadaran Epistemik
Reorientasi studi musthalah hadis bukan berarti menolak metode klasik, melainkan menghidupkan kembali semangat kritis yang melahirkannya. Para ulama dahulu membangun sistem ini untuk melindungi akal umat, bukan memenjarakannya. Maka, tugas intelektual hari ini adalah menafsir ulang spirit itu dalam konteks modern.
Sebagai contoh, ketika seseorang meragukan hadis tentang sains atau teknologi, pendekatan musthalah hadis tidak cukup berhenti pada status sanad. Ia perlu diperluas dengan analisis makna, maqashid, dan konteks zaman. Itulah bentuk ijtihad epistemik yang menempatkan hadis sebagai sumber inspirasi, bukan sekadar data hukum.
Allah berfirman:
وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 21)
Ayat ini mengajarkan bahwa pencarian kebenaran bukan hanya tentang menghafal teks, tetapi juga melihat ke dalam diri dan realitas sekitar. Maka, musthalah hadis perlu bergerak dari formalitas menuju refleksi, dari klasifikasi menuju kesadaran epistemik.
Menghidupkan Kembali Ilmu yang Berjiwa
Kritik terhadap musthalah hadis sebagai ilmu yang “kering” sebenarnya membuka peluang besar: ia mengingatkan bahwa ilmu ini butuh dihidupkan kembali. Pengajaran hadis di masa depan harus menghadirkan real cases—contoh nyata bagaimana sebuah hadis diuji keotentikannya, bagaimana sanad bekerja dalam praktik sosial, atau bagaimana makna hadis berkembang melalui hermeneutika.
Seorang peneliti hadis, misalnya, tidak hanya perlu tahu siapa perawi, tapi juga bagaimana peristiwa sosial membentuk narasi hadis. Di sinilah ilmu hadis bertemu dengan sosiologi, linguistik, dan filsafat ilmu. Jika langkah ini dilakukan, maka musthalah hadis bukan lagi sekadar sejarah sanad, tetapi sejarah berpikir umat Islam tentang kebenaran itu sendiri.
Ulama kontemporer menekankan bahwa ilmu hadis harus membuka diri terhadap pendekatan interdisipliner. Hadis tidak berdiri di ruang hampa; ia berinteraksi dengan konteks sejarah, kebudayaan, dan rasionalitas zaman. Dengan demikian, “menghidupkan makna” berarti menjadikan hadis relevan dengan pengalaman manusia hari ini tanpa kehilangan otoritasnya sebagai sumber wahyu.
Penutup
Reorientasi studi musthalah hadis adalah panggilan untuk mengembalikan ruh ilmu kepada tempat asalnya: kejujuran intelektual dan kejernihan berpikir. Jika dahulu ulama menegakkan sanad untuk menjaga kebenaran, maka hari ini tugas kita menjaga makna agar tidak kehilangan konteks. Musthalah hadis bukanlah museum kategori, tetapi laboratorium kebenaran yang hidup.
Selama umat masih membaca hadis dengan kesadaran bahwa setiap teks mengandung tanggung jawab moral dan intelektual, selama itu pula ilmu hadis akan tetap menjadi bagian dari peradaban yang berjiwa.
“Semakin canggih mesin kita, semakin terlihat betapa primitif cara kita memahami diri sendiri.”