Setelah Doa Tak Lagi Sakral: Krisis Transendensi di Era Kecerdasan Buatan Di zaman yang serba terukur ini, manusia berdoa dengan t...
Setelah Doa Tak Lagi Sakral: Krisis Transendensi di Era Kecerdasan Buatan
Di zaman yang serba terukur ini, manusia berdoa dengan tangan yang sibuk menggulir layar, dan hati yang tertinggal di antara notifikasi. Doa tak lagi hadir sebagai perjumpaan spiritual, melainkan sekadar rutinitas digital—disalurkan lewat pesan suara, status WhatsApp, atau ucapan otomatis yang diprogram oleh algoritma. Di sinilah, kesakralan mengalami krisis: bukan karena Tuhan absen, tetapi karena manusia kehilangan ruang batinnya sendiri.
Transendensi dahulu berarti menembus batas diri, menghubungkan kehendak manusia dengan kehendak Ilahi. Kini, transendensi bergeser menjadi sekadar pencarian makna di balik data. Bahkan aplikasi meditasi menawarkan "koneksi spiritual" dengan hitungan menit dan sensor detak jantung. Di antara semua kesibukan itu, doa berubah fungsi: dari permohonan tulus menjadi simulasi kesalehan.
Spiritualitas yang Tergantikan oleh Mekanisme
Fazlur Rahman pernah menulis bahwa agama kehilangan daya hidupnya ketika berhenti menjadi “sumber etika kreatif.” Dalam konteks hari ini, peringatan itu semakin relevan. Ketika kecerdasan buatan dapat menulis khutbah, membuat doa, bahkan menciptakan tafsir otomatis, maka manusia berada di ambang kehilangan identitas spiritualnya sendiri. Kecerdasan buatan hanya bisa meniru kata, bukan makna; menghasilkan doa, tapi tanpa rasa takut dan harap.
Menurut Muhammad Iqbal, kesadaran religius sejati bukanlah sekadar mengenal Tuhan, tapi “mengalami Tuhan dalam tindakan.” Namun, manusia modern lebih sibuk menciptakan mesin yang dapat menghafal Al-Qur’an ketimbang memahami kandungannya. Sebuah paradoks, di mana mesin bisa lebih rajin berzikir secara statistik, tapi tidak pernah bisa bersujud secara eksistensial.
Al-Qur’an dan Krisis Kesadaran
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9)
Tafsir: Menurut asy-Sya‘rāwī, penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) adalah proses yang menuntut kejujuran antara manusia dan Penciptanya. Tidak ada mesin yang mampu menempuh jalan ini, karena kesucian adalah hasil dari perjuangan batin, bukan pengulangan algoritma.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
“Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya.” (QS. Asy-Syams [91]: 7)
Interpretasi sufistik modern: Jiwa manusia memiliki potensi kesadaran Ilahi yang unik. Ketika manusia melepaskan relasi spiritualnya dan menggantinya dengan mekanisme, maka kesempurnaan jiwa menjadi redup. Itulah krisis terdalam umat modern: bukan kehilangan Tuhan, tetapi kehilangan kemampuan untuk merasa hadir di hadapan-Nya.
Moralitas yang Ditinggalkan oleh Teknologi
Ali Shariati menegaskan, “Setiap kali manusia kehilangan kesadaran rohaninya, ia akan mengganti Tuhan dengan sistem.” Kini, sistem itu bernama Artificial Intelligence—sebuah entitas tanpa nurani yang mengatur perilaku, moralitas, bahkan nilai ibadah. Manusia menilai kebenaran bukan lagi dari niat, tapi dari hasil dan angka. Etika berubah menjadi algoritma efisiensi.
Fenomena ini melahirkan bentuk baru dari dosa: dosa yang tidak lagi disadari. Dosa yang dibungkus oleh kemajuan. Ketika seseorang mengunggah “doa digital” dengan efek cahaya, tanpa pernah menundukkan hati, maka kesalehan bergeser menjadi estetika. Dalam kata lain, agama menjadi performa sosial yang diukur oleh jumlah suka, bukan oleh kedalaman iman.
Kesucian, Cinta, dan Keterasingan
Nasr Abu Zayd menulis bahwa teks suci harus selalu dihidupkan dalam konteks kemanusiaan. Jika tidak, ia akan berubah menjadi dogma yang memisahkan manusia dari realitas. Manusia modern membaca wahyu tanpa jiwa, menafsirkan cinta tanpa kasih, dan memahami ibadah tanpa empati. Akibatnya, agama kehilangan daya sembuhnya.
Ketika cinta kepada Tuhan kehilangan rasa kasih, yang lahir bukan lagi keimanan, tetapi trauma. Inilah mengapa banyak manusia yang merasa bersalah hanya karena tidak bisa menjadi sempurna menurut tafsir dogmatis. Padahal, sebagaimana Iqbal katakan, “Tuhan bukanlah pengawas, tetapi sumber daya hidup yang terus mencintai makhluk-Nya.”
Menuju Transendensi yang Baru
Spiritualitas masa depan bukan tentang berapa lama seseorang berdoa, tetapi sejauh mana doa itu menumbuhkan kesadaran. Zikir bukan sekadar pengulangan lafaz, tetapi perjalanan eksistensial menuju jujur terhadap diri. Dalam dunia yang semakin mekanis, manusia harus belajar kembali bersujud bukan di hadapan mesin, melainkan di hadapan makna.
Doa yang sakral tidak lahir dari teknologi, tapi dari keheningan batin. Di situlah manusia menemukan kembali kemanusiaannya. Ketika kesunyian menjadi ruang dialog dengan Tuhan, maka tidak ada kecerdasan buatan yang bisa menandingi satu hal: getaran hati yang ikhlas.
Kesimpulan Reflektif
Manusia modern telah berhasil menaklukkan dunia, tetapi kehilangan dirinya sendiri. Di tengah era AI yang menjanjikan efisiensi dan kenyamanan, manusia justru membutuhkan sesuatu yang lebih mendasar: kesadaran spiritual. Kesadaran bahwa doa bukan alat, melainkan jembatan menuju makna.
Transendensi tidak dapat diprogram. Ia hanya bisa dialami. Dan ketika doa kembali menjadi sakral, maka manusia akan menyadari: Tuhan tidak pernah jauh — hanya kesadaran kitalah yang tersesat di jalan digital.
“Semakin canggih mesin kita, semakin terlihat betapa primitif cara kita memahami diri sendiri.”
Daftar Referensi
1. Asy-Sya‘rāwī, Tafsir al-Kabīr.
2. Fazlur Rahman, Islam and Modernity.
3. Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
4. Ali Shariati, Man and Islam.
5. Nasr Abu Zayd, Mafhūm an-Nash.
6. Al-Qur’an al-Karim.
 
 
							     
							     
							     
							     
 
 
 
 
 
 
 
 
