Tunduk karena Ilmu atau karena Hierarki? Dalam tradisi pesantren, kata tunduk sering dipakai sebagai tanda adab—se...
Dalam tradisi pesantren, kata tunduk sering dipakai sebagai tanda adab—sebuah sikap hormat yang tampak lembut dan bersahaja. Namun bila kelekatan antara santri dan guru dimaknai hanya sebagai ketaatan tanpa batas, persis seperti karyawan yang tunduk semata karena gaji, maka bentuk penghormatan itu berubah rupa: dari adab menjadi struktur hierarkis yang berbahaya.
Adab sebagai bentuk penghormatan
Adab menuntut pengakuan terhadap sumber ilmu. Santri yang menghormati gurunya karena ilmu sejatinya menunjukkan kesadaran epistemik: ia mengakui bahwa pengetahuan mendatangkan tanggung jawab, bukan status. Dalam bentuk idealnya, hubungan ini bersifat dialektis—guru menuntun, santri mempertanyakan, keduanya saling teruji dalam dialog ilmiah dan spiritual.
Tunduk sebagai relasi transaksional
Tetapi ketika penghormatan ditempatkan pada fondasi otoritas mutlak—guru sebagai figur tak tersentuh—maka logika relasi berubah. Tunduk menjadi mekanisme pelestarian kekuasaan: loyalitas bukan karena kebenaran ilmu, melainkan karena implikasi sosial, politik, atau emosional. Ada pergeseran dari ilmu ke hierarki.
Bahaya feodalisme kultural
Feodalisme kultural terjadi saat struktur kelembagaan membiarkan kultus individu tumbuh. Dalam konteks pesantren, konsekuensinya berlapis: kritik intelektual tersingkir, proses ijtihad menjadi mandek, dan santri kehilangan otoritas moral untuk mempertanyakan. Padahal pendidikan Islam idealnya memupuk akal dan nurani, bukan menenggelamkannya dalam ketaatan rumah semata.
Relasi ilmu dan etika
Ilmu tanpa etika berisiko menjadi alat legitimasi. Guru yang tak boleh dikritik, sekalipun salah, mengubah ilmu menjadi senjata institusional. Sebaliknya, adab yang sehat menuntut keberanian moral: santri yang berani bertanya karena ia paham bahwa kebenaran diuji, bukan dipatuhi tanpa syarat.
Dalam Al-Qur’an terdapat prinsip tentang kesetaraan hak dan kewajiban serta larangan terhadap pengkultusan manusia:
Ù…َا Ùƒَانَ Ù„ِبَØ´َرٍ Ø£َÙ†ْ ÙŠُؤْتِÙŠَÙ‡ُ اللَّÙ‡ُ الْÙƒِتَابَ ÙˆَالْØُÙƒْÙ…َ ÙˆَالنُّبُÙˆَّØ©َ Ø«ُÙ…َّ ÙŠَÙ‚ُولَ Ù„ِلنَّاسِ Ùƒُونُوا عِبَادًا Ù„ِÙŠ Ù…ِÙ†ْ دُونِ اللَّÙ‡ِ
“Tidak patut bagi seseorang yang diberi Kitab, hikmah, dan kenabian oleh Allah, kemudian ia berkata kepada manusia: ‘Jadilah kamu hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah.’” (QS. Ali Imran: 79)
Perbedaan pengaruh dan otoritas
Pengaruh guru yang sehat lahir dari keteladanan, bukan intimidasi. Otoritas yang sehat bersifat sementara dan bersyarat: guru dihormati selama ajarannya menghidupkan akal dan nurani. Jika otoritas dipertahankan melalui mekanisme sosial—ketakutan, pembatasan akses informasi, atau penjelasan sepihak—maka hubungan itu tidak lagi pendidikan melainkan subordinasi.
Praktik reformis tanpa menghancurkan tradisi
Reformasi etika pesantren tak mesti berarti penghancuran tradisi. Langkah-langkah kecil dapat mengubah kultur: mendorong diskusi kritis, membuka forum evaluasi guru, mengajarkan adab yang disertai hak jawab, dan memperkuat literasi hukum serta etika. Tujuannya bukan menggerus wibawa guru, melainkan memurnikan fungsi guru sebagai pengantar ilmu, bukan penguasa pribadi.
Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu tanpa etika sia-sia; betapa pentingnya pendekatan yang menyeimbangkan pengetahuan dan moralitas.
Imam al-Ghazali — Ilmu harus menyucikan hati, bukan mengangkat ego.
Apa yang santri dan masyarakat butuh lakukan?
Santri perlu dilatih menjadi pembelajar kritis: menghormati guru sekaligus diberi ruang mempertanyakan. Masyarakat pesantren perlu mekanisme akuntabilitas yang sehat agar otoritas tidak berubah menjadi kultus. Ulama idealnya menerima koreksi sebagai bagian dari dinamika ilmu, bukan ancaman terhadap posisi.
Kesimpulan
Tunduk karena ilmu adalah tindakan yang memuliakan kebenaran; tunduk karena hierarki adalah tindakan yang memuliakan kekuasaan. Tradisi pesantren paling bernilai ketika menjadikan hubungan guru–murid sebagai arena pencerahan—bukan penaklukan. Menghormati guru berarti membebaskan ilmu dari ikatan feodal; itu bukan pembangkangan, melainkan manifestasi tertinggi dari adab.
Referensi Singkat
Al-Qur’an — Tafsir pilihan terkait otoritas dan ilmu.
Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Pembahasan tentang ilmu dan etika.
Sadek, A. (ed.). Education and Authority in the Islamic World. Studi kasus dan analisis modern.