Di Balik Seragam Oranye: Manusia yang Menandingi Algoritma Dalam dunia yang semakin diukur oleh data, ada sosok-sosok yang be...
Di Balik Seragam Oranye: Manusia yang Menandingi Algoritma
Dalam dunia yang semakin diukur oleh data, ada sosok-sosok yang berjalan di antara angka tanpa pernah kehilangan makna. Seorang driver ShopeeFood bernama Nofri telah mencatat lebih dari sembilan ribu pengantaran dan menempuh hampir tiga puluh ribu kilometer. Dalam sistem algoritmik, semua itu hanyalah statistik. Namun di balik angka itu, tersembunyi sesuatu yang lebih dalam — sesuatu yang tidak bisa dihitung oleh mesin: ketekunan, tanggung jawab, dan hati yang bekerja tanpa pamrih.
Setiap hari, tanpa jeda yang panjang, ia menyalakan motor, mengenakan jaket oranye, dan menyapa pagi. Dunia digital mungkin mencatatnya sebagai “satu dari ribuan kurir aktif”, tapi dunia nyata mengenalnya sebagai pribadi yang sabar dan tepat waktu. Dalam era di mana manusia berlomba mengejar rating, ia justru menjadi rating itu sendiri: wujud nyata dari konsistensi.
Kerja di era algoritma sering kali memaksa manusia menyesuaikan diri dengan ritme mesin. Semua diukur, dibandingkan, dan dikalkulasi. Tapi dari ketekunan seorang pekerja lapangan, kita belajar bahwa esensi kerja bukan hanya soal efisiensi — melainkan kesetiaan terhadap waktu dan tanggung jawab.
Etos Kerja di Tengah Dunia Digital
Setiap pengantaran adalah bentuk ibadah kecil. Dalam Islam, kerja tidak sekadar mencari rezeki, tapi juga cara menjaga martabat. Al-Qur’an mengingatkan:
ÙˆَØ£َÙ†ْ Ù„َÙŠْسَ Ù„ِÙ„ْØ¥ِنسَانِ Ø¥ِÙ„َّا Ù…َا سَعَÙ‰ٰ
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm [53]: 39)
Ayat ini menegaskan bahwa nilai manusia terletak pada ikhtiarnya, bukan hasil yang instan. Seorang driver yang tetap bekerja dalam panas, hujan, dan keheningan jalanan bukan sedang melawan nasib, melainkan sedang menulis takdirnya dengan tinta kesungguhan.
Dalam logika digital, kecepatan adalah segalanya. Tapi dalam logika kemanusiaan, yang penting adalah keajegan — keberlanjutan niat baik yang tidak lekang oleh waktu. Dari situlah lahir keberkahan.
Manusia di Hadapan Algoritma
Algoritma bisa menilai perilaku, mengukur performa, bahkan memprediksi kebiasaan. Namun ada satu hal yang tetap tak dapat disentuh oleh kecerdasan buatan: niat. Mesin tidak bisa memahami mengapa seseorang tetap tersenyum ketika lelah, atau mengapa ia tetap bekerja walau hujan mengguyur. Niat adalah sisi terdalam dari eksistensi manusia — dimensi yang membuat manusia tetap “ada”.
Dalam pandangan spiritual, kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ia adalah latihan rohani. Nabi Muhammad ï·º bersabda:
«Ø¥ِÙ†َّ اللهَ ÙŠُØِبُّ Ø¥ِذَا عَÙ…ِÙ„َ Ø£َØَدُÙƒُÙ…ْ عَÙ…َÙ„ًا Ø£َÙ†ْ ÙŠُتْÙ‚ِÙ†َÙ‡ُ»
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. al-Baihaqi)
Kesempurnaan dalam bekerja bukan berarti tanpa cela, tetapi konsisten menjaga niat baik. Seperti driver tadi — bekerja tanpa banyak bicara, namun diam-diam membangun peradaban kecil di tiap langkahnya.
Refleksi: Ketika Kerja Menjadi Dzikir
Kerja yang dilakukan dengan hati adalah dzikir yang bergerak. Ia mengingat Tuhan bukan melalui kata, melainkan melalui tindakan. Dalam keheningan mesin dan deru jalan, seorang pekerja menemukan bentuk dzikir tersendiri: kesadaran bahwa setiap usaha adalah bagian dari pengabdian.
Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar. Namun masih ada yang bekerja bukan untuk keduanya, melainkan karena nilai kerja itu sendiri: pengabdian terhadap kehidupan.
Dari sosok sederhana itu, tersirat pesan bahwa teknologi boleh mendefinisikan efisiensi, tapi hanya manusia yang dapat memberi makna. Ia mungkin tidak dikenal publik, tapi di mata Tuhan, ketekunan adalah kemuliaan yang tak perlu panggung.
Penutup
Barangkali kelak, ketika semua sistem menjadi otomatis, dunia masih membutuhkan manusia-manusia seperti dia — yang bekerja bukan karena rating, tapi karena nurani. Di balik seragam oranye itu, ada jiwa yang tidak pernah menyerah, dan di balik statistik yang dingin, masih berdenyut hangatnya kemanusiaan.
“Kemajuan sejati bukan saat mesin bekerja lebih cepat dari manusia, tapi ketika manusia bekerja dengan hati yang tak bisa ditiru mesin.”