Rekonstruksi Epistemologi Usul Fiqh di Era Modern Usul fiqh selalu diibaratkan sebagai mesin nalar yang menentukan arah perumu...
Rekonstruksi Epistemologi Usul Fiqh di Era Modern
Usul fiqh selalu diibaratkan sebagai mesin nalar yang menentukan arah perumusan hukum. Ia bukan sekadar kumpulan kaidah klasik, tetapi struktur berpikir yang menuntun manusia memahami kehendak ilahi melalui teks, realitas, dan tujuan etis syariat. Namun, ketika realitas berubah cepat, mesin yang diwariskan ulama terdahulu perlu ditinjau kembali—bukan untuk dihancurkan, tetapi untuk ditata agar tetap relevan.
Di era modern, pertanyaan penting muncul: bagaimana memastikan usul fiqh tetap menjadi fondasi kokoh tanpa berubah menjadi fosil pemikiran? Bagaimana menghindari dua ekstrem—membekukannya sebagai doktrin mati, atau merombaknya tanpa kendali sehingga kehilangan kontinuitas tradisi?
Al-Qur’an sebagai Penuntun Perubahan yang Bijaksana
Al-Qur’an tidak pernah memerintahkan manusia berhenti berpikir. Sebaliknya, ia menuntun agar akal menjadi instrumen memahami dinamika kehidupan.
.أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kalian menggunakan akal?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Ayat ini bukan sekadar teguran moral; ia menjadi landasan epistemologis bahwa nalar manusia adalah bagian dari amanah syariat. Karena itu, usul fiqh tidak boleh berhenti bertanya, menggali, dan menyesuaikan struktur kerjanya dengan situasi baru.
.(وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ)
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesempitan bagi kalian.” (QS. Al-Hajj: 78)
Ayat ini membuka ruang bagi ijtihad dalam konteks perubahan, menolak kekakuan, dan memerintahkan agar hukum bergerak selaras dengan kemaslahatan manusia.
Maqasid sebagai Jembatan antara Teks dan Realitas
Maqasid syariah sering diposisikan seolah menjadi “lawan” usul fiqh, padahal keduanya saling menopang. Maqasid menegaskan bahwa setiap hukum memiliki tujuan moral—kemuliaan hidup, keadilan, penjagaan martabat manusia.
.(إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebaikan.” (QS. An-Nahl: 90)
Ayat ini meneguhkan bahwa seluruh kerangka ijtihad harus mengarah pada keadilan. Maka, paradigma usul fiqh modern perlu menegaskan kembali pusat rotasinya: kemaslahatan manusia sebagai manifestasi kehendak ilahi.
Hadis sebagai Etika Ketaatan dan Struktur Sosial
Nabi memberikan fondasi penting tentang kepatuhan terhadap aturan, bukan sebagai bentuk buta, tetapi sebagai mekanisme menjaga keselamatan sosial.
قال رسول الله ﷺ: «عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Wajib bagi seorang Muslim untuk mendengar dan taat, baik dalam perkara yang disukai maupun tidak, selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat.”
Hadis ini mengingatkan bahwa setiap struktur sosial yang sehat memerlukan disiplin pada aturan. Ketika manusia meninggalkan standar prosedur, bencana dapat terjadi. Inilah titik relevansi usul fiqh: mengajarkan hubungan antara ketaatan, etika, dan keselamatan publik.
Kaidah Usul Fiqh sebagai Fondasi Rasional
Dalam proses rekonstruksi epistemologi, beberapa kaidah klasik tetap menjadi pilar penting:
«الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا»
Setiap tindakan dinilai berdasarkan tujuannya; kaidah ini membuka ruang bagi evaluasi moral setiap produk hukum.
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain; ini menjadi standar etik pada persoalan-persoalan modern seperti bangunan publik, kesehatan, teknologi, hingga hak sosial.
«الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ»
Kesulitan membuka pintu keringanan; kaidah yang sangat relevan dengan regulasi publik, bencana, pandemi, dan kebutuhan adaptasi sosial.
Rekonstruksi sebagai Pembaruan yang Bertanggung Jawab
Rekonstruksi epistemologi usul fiqh bukan upaya menghapus warisan ulama, namun menghidupkannya. Ulama klasik menyusun usul fiqh sesuai realitas masa mereka; hari ini realitas berubah, sehingga kerangka itu perlu dialog ulang dengan dunia modern.
.(وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ)
“Itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami buat agar manusia berpikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)
Rekonstruksi bukanlah bid’ah intelektual; ia adalah kelanjutan dari perintah untuk terus berpikir. Bahkan Imam al-Juwayni, al-Ghazali, al-Syathibi, hingga pemikir modern seperti Fazlur Rahman menunjukkan bahwa usul fiqh adalah disiplin evolutif, bukan statis.
Usul Fiqh sebagai Mesin yang Perlu Kalibrasi
Seperti mesin, usul fiqh bekerja berdasarkan input yang diberikan manusia. Jika inputnya buruk—pemahaman dangkal, data tidak akurat, atau bias ideologis—maka hasil hukumnya akan salah. Namun, kesalahan bukan pada mesin, melainkan operatornya.
Karena itu, rekonstruksi epistemologi berarti memastikan mesin ini:
- memahami teks secara holistik,
- terhubung dengan realitas empiris,
- peka terhadap tujuan moral syariat,
- serta terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Sintesis: Usul Fiqh dan Maqasid dalam Dialog Abad 21
Di era digital, persoalan seperti kecerdasan buatan, genetika, kesehatan publik, tata kelola bangunan, dan etika sosial membutuhkan pendekatan baru. Usul fiqh memberi struktur metodologis, sedangkan maqasid memberikan orientasi moral. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Sintesis ini menghasilkan paradigma ijtihad yang lebih matang: hukum bukan hanya mengikat, tetapi membebaskan dan memuliakan manusia.
Penutup
Rekonstruksi epistemologi usul fiqh adalah perjalanan panjang: mempertemukan tradisi dan inovasi, teks dan realitas, wahyu dan pengalaman manusia. Tujuannya bukan melahirkan hukum baru setiap hari, tetapi melahirkan kemampuan membaca zaman dengan kejernihan spiritual dan kedalaman intelektual.
“Di setiap masa, manusia dituntut bukan hanya memahami aturan, tetapi memahami jiwa di balik aturan itu.”