Iqbal dan Keberanian Berpikir: Melawan Ketundukan yang Disamarkan sebagai Taqwa Dalam peradaban modern yang semakin kehilangan ar...
Iqbal dan Keberanian Berpikir: Melawan Ketundukan yang Disamarkan sebagai Taqwa
Dalam peradaban modern yang semakin kehilangan arah moral, keimanan sering kali berubah menjadi simbol pasrah tanpa daya. Banyak orang menganggap tunduk berarti suci, diam berarti bijak, dan patuh berarti taat. Padahal, di balik diam itu, sering tersembunyi ketakutan untuk berpikir. Muhammad Iqbal, pemikir besar dari anak benua India, menolak bentuk kepasrahan seperti itu. Baginya, iman bukan sekadar menerima, tetapi berani menafsirkan ulang makna hidup di hadapan Tuhan.
Iqbal menulis dalam karya monumentalnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, bahwa “agama harus menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dari keterbelengguan dogma.” Keberanian berpikir bukanlah dosa, melainkan bentuk tertinggi dari ibadah, karena berpikir adalah bagian dari fitrah ilahiah manusia. Dalam konteks ini, iman yang sejati justru menuntun manusia untuk bangkit dari kepasrahan yang pasif menuju kesadaran yang aktif.
Spirit Al-Qur’an dan Tanggung Jawab Akal
Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk menggunakan akalnya. Salah satu ayat yang sangat kuat menggambarkan hal itu adalah:
﴿ إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ﴾
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 190)
Tafsir Syaikh Mutawalli as-Sya‘rawi menjelaskan bahwa ayat ini menuntun manusia agar tidak berhenti pada ritual, tetapi menjadikan akal sebagai sarana kontemplatif untuk mengenali kebesaran Tuhan. Berpikir bukan bentuk kesombongan, melainkan bentuk syukur atas anugerah akal.
Namun, dalam realitas sosial, banyak umat yang justru menolak berpikir kritis atas nama taqwa. Mereka mengira kesucian terletak pada ketundukan buta terhadap tradisi, padahal yang dikehendaki Al-Qur’an adalah kesadaran yang hidup. Tuhan tidak menciptakan manusia untuk menjadi robot yang tunduk tanpa memahami.
Khudi: Kesadaran Diri Sebagai Bentuk Iman
Bagi Iqbal, inti dari iman adalah khudi — kesadaran diri yang berakar pada hubungan eksistensial dengan Tuhan. Khudi bukan ego yang sombong, tetapi kepribadian spiritual yang teguh terhadap kebenaran. Iman yang hidup bukan iman yang tunduk kepada simbol, melainkan iman yang berani menegakkan kebenaran meski berhadapan dengan otoritas duniawi.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
﴿ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴾
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk lainnya.” (QS. Al-Isra [17]: 70)
Menurut tafsir Quraish Shihab dalam al-Mishbah, kemuliaan manusia terletak pada kesadarannya untuk berpikir dan bertanggung jawab. Maka, menafikan akal dengan alasan ketaatan berarti menolak karunia terbesar yang Allah berikan.
Keberanian Melawan Kepasrahan
Iqbal menganggap stagnasi pemikiran Islam terjadi karena umat kehilangan keberanian intelektual. Mereka lebih memilih aman dalam doktrin daripada gelisah dalam pencarian. Padahal, iman sejati justru tumbuh di ruang kegelisahan spiritual itu. Tanpa keberanian berpikir, agama akan kehilangan ruhnya, menjadi ritual yang kering, dan kehilangan makna kemanusiaan.
Firman Allah menegaskan:
﴿ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 11)
Perubahan tidak lahir dari kepasrahan, tetapi dari keberanian mengambil tanggung jawab terhadap diri dan masyarakat. Bagi Iqbal, setiap muslim adalah khalifah yang diberi mandat untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih adil. Taqwa bukan berarti diam, tetapi berani memperjuangkan nilai kebenaran di tengah kekuasaan yang menindas.
Ketika Cinta Kepada Tuhan Tidak Lagi Menakutkan
Di banyak ruang keagamaan, cinta kepada Tuhan sering kali diselimuti rasa takut. Manusia ditakut-takuti dengan neraka, dosa, dan hukuman, padahal hakikat cinta adalah kebebasan. Iqbal melihat bahwa ketakutan spiritual yang berlebihan hanya akan melahirkan umat yang pasif dan penakut. Ia menyeru agar cinta kepada Tuhan dihidupi melalui semangat kreatif dan tanggung jawab sosial.
Firman Allah menyatakan:
﴿ فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan lurus; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar-Rum [30]: 30)
As-Sya‘rawi menafsirkan ayat ini sebagai seruan agar manusia hidup dalam keseimbangan antara cinta dan akal. Agama yang benar tidak mematikan fitrah, tetapi menyempurnakannya.
Kesimpulan: Iman yang Hidup, Bukan yang Diam
Adapun pemikiran Iqbal bukan sekadar refleksi intelektual, tetapi panggilan spiritual bagi umat yang ingin hidup bermartabat. Iman sejati bukanlah ketundukan yang mematikan, melainkan keberanian berpikir yang menyalakan. Dalam dunia yang kian bising oleh ketakutan dan kepatuhan buta, manusia justru harus menyalakan api akalnya agar tidak menjadi budak dari simbol-simbol kesucian yang beku.
Spirit Iqbal mengingatkan: taqwa yang sejati bukanlah ketakutan untuk berpikir, melainkan keberanian untuk mencintai Tuhan dengan seluruh daya cipta. Dalam cinta yang sadar itulah, iman menemukan bentuk revolusionernya—iman yang tidak tunduk pada kebodohan, tetapi berjalan bersama akal menuju kemerdekaan rohani.
“Kecerdasan buatan hanyalah cermin; yang tampak di sana bukan masa depan mesin, melainkan wajah batin manusia.”
Referensi
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Oxford University Press, 1934.
Mutawalli As-Sya‘rawi, Tafsir As-Sya‘rawi, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1991.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam, Oxford University Press, 2000.
Ali Shariati, Man and Islam, Tehran: Shariati Foundation, 1971.