Kegaduhan Dakwah dan Hilangnya Kedalaman Dunia dakwah belakangan ini berdenyut dengan irama yang aneh: cepat, dangkal, lucu, d...
Kegaduhan Dakwah dan Hilangnya Kedalaman
Dunia dakwah belakangan ini berdenyut dengan irama yang aneh: cepat, dangkal, lucu, dan viral. Banyak ceramah beredar seperti potongan hiburan — penuh sensasi, miskin substansi. Agama ditampilkan bukan sebagai jalan kedewasaan, tetapi sebagai pertunjukan. Fenomena ini menandai krisis: suara keras lebih mudah dikenal daripada gagasan jernih, dan popularitas lebih dihargai daripada kedalaman.
Dalam tradisi Islam, nalar bukan sekadar pelengkap iman. Ia adalah jantung yang membuat agama berjalan tegak. Al-Qur’an sendiri mengulang-ulang seruan ini. Sebagaimana firman Allah:
.أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kamu menggunakan akal?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Ayat ini bukan teguran lembut, melainkan panggilan keras untuk menjaga martabat akal dalam kehidupan beragama. Namun realitas dakwah hari ini justru berlawanan: akal tidak lagi dianggap sebagai cermin kebenaran, tetapi kadang dicurigai sebagai ancaman popularitas.
Ketika Gagasan Besar Diganti Gimik
Banyak konten dakwah yang viral bukan karena nilai ilmiah atau kedalaman ruhani, tetapi karena unsur kontroversi, emosi sesaat, atau dramatisasi. Fenomena ini menandai pergeseran dari pedagogi ke performa. Publik lebih mengenal “siapa yang lucu” daripada “siapa yang benar”. Di titik ini, dakwah tidak lagi mencerahkan, melainkan sekadar menghibur.
Padahal Nabi ﷺ membawa tradisi pengetahuan yang mendidik, bukan hiburan yang memanjakan. Sebagaimana sabda beliau:
«إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا»
“Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang pendidik.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan bahwa inti dakwah adalah pendidikan yang membentuk manusia, bukan tontonan yang menguras emosi tetapi tidak menambah wawasan.
Menghidupkan Kembali Nalar Fiqh
Ushul fiqh mengajarkan bahwa setiap hukum memiliki ‘illat — alasan rasional yang membuatnya hidup. Tanpa pemahaman terhadap ‘illat, agama mudah berubah menjadi instruksi mekanis. Salah satu kaidah yang paling penting dalam ushul fiqh menyatakan:
«الحُكْمُ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا»
“Hukum berputar bersama ‘illat-nya, ada dan tiadanya.”
Kaidah ini menuntut kecerdasan membaca konteks. Namun dalam ruang publik hari ini, yang sering muncul justru kebalikannya: seruan-seruan normatif tanpa analisis, fatwa-fatwa instan tanpa penggalian. Ruang dakwah akhirnya dipenuhi suara keras, bukan suara yang memahami akar persoalan.
Di sini para pemikir modern seperti Ali Shariati dan Dr. Musthafa Sakka menjadi relevan kembali. Shariati menekankan bahwa agama harus menghidupkan manusia, bukan membuatnya pasif. Sakka mengingatkan bahwa tradisi Islam memiliki kemampuan besar untuk beradaptasi asalkan akal dihidupkan. Semangat keduanya adalah semangat perlawanan — bukan terhadap otoritas agama, tetapi terhadap kelumpuhan intelektual.
Krisis Spiritualitas yang Tersamar
Ketika dakwah hanya menghibur, ia menumpulkan kesadaran. Orang merasa sudah “beragama” karena melihat konten religius, padahal tidak ada transformasi diri. Agama berubah menjadi konsumsi, bukan perjalanan spiritual. Padahal Al-Qur’an mengingatkan bahwa kebenaran tidak ditemukan oleh telinga atau mata, tetapi oleh hati yang jernih:
.فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Ayat ini menjadi kritik terselubung terhadap zaman yang mengandalkan tontonan. Dakwah viral memang terlihat, tetapi belum tentu menerangi hati.
Kembali ke Tradisi Kejernihan
Agama membutuhkan pembaruan, tetapi bukan yang dangkal. Pembaruan yang sejati muncul dari keberanian untuk membaca ulang sumber-sumber agama secara lebih jernih, lebih cerdas, dan lebih manusiawi. Inilah yang diperjuangkan oleh ulama-ulama modern: menjadikan dakwah sebagai ruang peradaban, bukan ruang sensasi.
Yang dibutuhkan umat hari ini bukan penceramah yang viral, tetapi pemikir yang menyalakan kembali martabat akal dan kedalaman ruhani. Dakwah yang luhur tidak memecah perhatian, tetapi memecah kebodohan. Tidak mengundang tawa kosong, tetapi membangun kesadaran.
Penutup: Cahaya yang Mengajarkan
Dakwah yang baik bukan yang paling banyak ditonton, tetapi yang paling dalam memengaruhi jiwa. Agama harus membawa manusia naik level — dari keramaian menuju kedalaman, dari viralitas menuju pencerahan. Bila dakwah kembali pada misinya, masyarakat akan menemukan lagi bentuk spiritualitas yang membebaskan.
"Ketika dakwah berubah menjadi panggung hiburan, maka yang hilang bukan hanya kedalaman ilmu, tetapi juga martabat akal yang seharusnya dijaga.”