Makna ‘Ada’: Menyelami Hakikat Keberadaan dalam Jalan Islam Pernahkah seseor...
Makna ‘Ada’: Menyelami Hakikat Keberadaan dalam Jalan Islam
Pernahkah seseorang berhenti sejenak di tengah rutinitas, lalu tiba-tiba bertanya dalam hati: “Sebenarnya, aku ini siapa? Kenapa aku ada di dunia ini?” Pertanyaan sederhana itu, yang tampak sepele, sesungguhnya menyimpan rahasia paling dalam dari kehidupan manusia. Kata ada tampak kecil, tapi di dalamnya bersemayam seluruh makna tentang keberadaan dan kesadaran.
Makna Dasar ‘Ada’
Segala yang bisa dilihat, disentuh, dirasakan, atau dipikirkan disebut ada. Lawannya adalah tiada. Namun, manusia hanya dapat memahami ada karena mengenal rasa kehilangan, sepi, dan hampa. Ketika seseorang kehilangan sesuatu yang berarti, ia baru menyadari betapa berharganya keberadaan itu sendiri. Dalam kesadaran semacam ini, manusia sebenarnya sedang belajar memahami hakikat hidup tanpa disadari.
‘Ada’ dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, ada tidak berdiri sendiri. Segala sesuatu yang tampak nyata hanyalah bayangan dari Wujud yang lebih tinggi, yaitu Allah. Al-Qur’an menegaskan:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
“Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa keberadaan manusia bukan kebetulan, melainkan kehendak Ilahi yang menghidupkan segala sesuatu. Manusia ada karena dihadirkan, bukan karena memilih untuk ada. Dalam kesadaran ini, manusia menemukan dirinya bukan pusat wujud, melainkan bagian kecil dari Kehendak yang lebih agung.
Refleksi Sederhana
Ketika seseorang mulai menyadari bahwa dirinya ada, ia sedang memasuki ruang dzikir terdalam. Bukan dzikir yang diucapkan dengan bibir, tapi dzikir kesadaran — ketika hati perlahan menyadari asal dan tujuan hidupnya. Di titik itu, manusia berhenti sekadar bertanya tentang apa yang ia miliki, dan mulai bertanya tentang mengapa ia dihadirkan.
Kesadaran akan keberadaan menjadi cermin paling jujur. Ia mengajarkan kerendahan hati, sebab manusia menyadari bahwa keberadaannya bukan hasil usaha, melainkan anugerah. Dari kesadaran inilah lahir rasa syukur, tunduk, dan keinginan untuk mengenal Sang Pencipta lebih dalam.
Penutup Reflektif
Pada akhirnya, memahami makna ‘ada’ bukanlah tugas para filsuf semata. Itu panggilan setiap jiwa yang ingin mengenal dirinya. Karena yang benar-benar ada bukan yang terlihat, tapi yang memberi makna bagi keberadaan itu sendiri — Tuhan.
Semakin manusia memahami makna ‘ada’, semakin ia tahu bahwa keberadaan bukan miliknya, melainkan pinjaman dari Keabadian.
“Semakin canggih mesin kita, semakin terlihat betapa primitif cara kita memahami diri sendiri.”