Nalar Burhani dan Reinterpretasi Hukum Hudud: Potong Tangan, Rajam, dan Cambuk dalam Horizon Sosial-Modern Layer Deskriptif Ilmiah...
Nalar Burhani dan Reinterpretasi Hukum Hudud: Potong Tangan, Rajam, dan Cambuk dalam Horizon Sosial-Modern
Layer Deskriptif Ilmiah
Nalar burhani, sebagaimana dirumuskan oleh Abed al-Jabiri, menempatkan rasionalitas demonstratif sebagai fondasi utama dalam memahami teks dan realitas. Ia bekerja melalui verifikasi, kausalitas, dan penalaran objektif yang dapat diuji. Dalam konteks hukum hudud—potong tangan, rajam, dan cambuk—pendekatan burhani menawarkan kerangka untuk meninjau kembali struktur epistemologis syariat dengan mempertimbangkan fakta sosial, maqasid al-shari‘ah, serta perkembangan moral publik kontemporer.
Pemahaman klasik terhadap hudud berdiri di atas nalar bayani yang bertumpu pada teks sebagai otoritas mutlak. Sementara itu, nalar irfani mengisi ruang spiritualitas dan pengalaman batin yang cenderung subjektif. Berbeda dengan keduanya, nalar burhani tidak menolak teks; ia justru membacanya melalui mekanisme pembuktian yang selaras dengan dinamika sosial. Hasilnya adalah pemahaman hukum yang tidak semata-mata legalistik, tetapi juga operasional dalam konteks modern.
Pada lapis deskriptif ini, kehadiran nalar burhani membuka kemungkinan reinterpretasi hudud sebagai instrumen perlindungan sosial, bukan sekadar perangkat hukuman fisik. Misalnya, ayat tentang pencurian:
.وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
“Laki-laki pencuri dan perempuan pencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan dan sebagai hukuman dari Allah.”
Pembacaan burhani tidak berhenti pada literalitas; ia menelusuri syarat, konteks sosial, dan tujuan preventif yang melekat pada ayat tersebut.
Begitu pula dengan wacana rajam yang muncul dari tradisi hadis dan praktik sejarah, serta cambuk pada kasus zina ghairu muhshan:
.الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.”
Nalar burhani mengkaji ulang struktur epistemiknya: apakah teks ini bersifat transhistoris atau kontekstual? Apa maqasid-nya? Apa kondisi sosial yang melatarinya?
Layer Analitis Kritis
Penerapan nalar burhani dalam isu hudud menuntut evaluasi ketat terhadap komponen penyusun hukum: (1) teks, (2) realitas empiris, dan (3) tujuan etis. Analisis ini menolak dikotomi antara syariat dan modernitas; yang dipersoalkan bukan legalitas hukuman, tetapi relevansi dan efektivitasnya sebagai mekanisme perlindungan sosial.
Pertama, potong tangan dalam konteks masyarakat pra-modern berfungsi sebagai penjera keras pada situasi minimnya sistem penjara, teknologi forensik, dan regulasi ekonomi yang adil. Dalam realitas modern, pencurian sering kali terkait kemiskinan struktural, ketimpangan, atau kondisi ekonomi-politik yang kompleks. Nalar burhani menuntut analisis kausal: apakah hukuman fisik relevan dalam konteks sistem sosial yang berubah drastis?
Kedua, rajam sebagai hukuman historis diuji melalui epistemologi hadis. Nalar burhani memandang bahwa sebagian praktik hukum di masa lalu adalah produk sistem sosial tertentu, bukan derivasi mutlak dari prinsip syariat. Ia menegaskan pentingnya verifikasi sanad, kontekstualisasi matan, dan pemetaan kondisi sosio-historis.
Ketiga, hukuman cambuk seratus kali pada zina bukan hanya persoalan literal, tetapi terkait perlindungan keluarga dan stabilitas sosial. Tetapi masyarakat modern memiliki perangkat hukum alternatif—perlindungan korban, regulasi sosial, mekanisme rehabilitasi—yang dapat memenuhi maqasid lebih efektif.
Pada titik ini, pendekatan burhani bekerja mirip hermeneutika modern: hukum dipahami sebagai teks yang berdialog dengan realitas hidup. Ia menolak pembacaan normatif yang ahistoris. Hukum tidak difungsikan sebagai artefak masa lalu, tetapi sebagai instrumen pengaturan sosial yang harus ditafsirkan ulang ketika kondisi ontologis manusia berubah.
Dalam kerangka usul fiqh, nalar burhani dekat dengan maqasid al-shari‘ah, maslahah mursalah, qiyas ta‘lili, dan istislah. Ia menjadikan keadilan publik, perlindungan martabat, dan pencegahan kerusakan sebagai poros analisis. Karena itu, pendekatan burhani mengusulkan pemindahan fokus dari hudud sebagai hukuman fisik menuju hudud sebagai nilai moral dan mekanisme protektif dengan perangkat hukum modern sebagai implementasi alternatif.
Layer Reflektif Filosofis
Pada lapis reflektif, pertanyaannya bukan lagi sekadar: “Bagaimana hudud diterapkan?”, tetapi “Untuk apa syariat hadir dalam kehidupan manusia?” Nalar burhani menyingkap bahwa esensi hukum bukan kekerasan fisik, melainkan pembentukan tatanan sosial yang bermartabat. Hukum menjadi ruang etis, bukan sekadar ruang kontrol.
Dari sudut pandang filsafat sosial, hukuman fisik pada masa lalu bekerja dalam masyarakat yang berbasis komunitas kecil, ikatan sosial ketat, dan transparansi kehidupan publik. Masyarakat modern bergerak dalam struktur yang lebih cair, kompleks, dan terikat oleh institusi. Karena itu, kesesuaian antara teks dan realitas tidak dapat dipaksakan secara mekanis.
Pembacaan burhani tidak mendegradasi teks suci; ia mengembalikan teks pada horizon tujuan etisnya. Yang dibela bukan bentuk hukum, tetapi nilai dasarnya: perlindungan terhadap manusia. Dengan demikian, reinterpretasi bukan dekonstruksi, melainkan pemulihan. Pemulihan terhadap maksud moral syariat—yang sering tertutup oleh pola pikir legalistik dan pembacaan beku.
Dalam horizon filosofis ini, hudud dipahami sebagai simbol keadilan, bukan model implementasi tunggal. Burhani menempatkan syariat sebagai sistem nilai yang selalu memerlukan aktualisasi baru ketika formasi sosial berubah. Ketika teknologi, ekonomi, dan struktur moral masyarakat berkembang, bentuk hukuman dapat berubah sepanjang menjaga substansi tujuan etisnya.
Refleksi ini membuka jalan bagi wacana hukum Islam yang tidak terjebak romantisme masa lalu. Tradisi tidak dihapus; tradisi dihidupkan melalui pembacaan kritis yang mampu menjawab pergulatan manusia modern—ketimpangan sosial, krisis moral, eksploitasi struktural, dan kerentanan antar-manusia.
Nalar burhani pada akhirnya mengajarkan bahwa kekuatan hukum Islam bukan pada kekakuan, tetapi pada kapasitas transformatifnya. Hukum yang laik diterapkan bukan yang identik dengan bentuk masa lalu, melainkan yang paling mendekati keadilan bagi manusia hari ini.
“Setiap zaman memiliki bentuk kriminalitas sendiri. Syariat menuntut kejujuran membaca realitas, bukan keberanian mengulang hukuman tanpa kesadaran etis.”