Perbedaan Ijtihad Syafi’i dan Hanafi di Era Teknologi Dalam sejarah hukum Islam, Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dikenal sebagai ...
Perbedaan Ijtihad Syafi’i dan Hanafi di Era Teknologi
Dalam sejarah hukum Islam, Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dikenal sebagai dua figur besar yang mewakili dua kutub metodologis dalam berijtihad. Keduanya sama-sama meletakkan dasar bagi penalaran hukum Islam, namun memiliki pendekatan berbeda dalam menilai teks dan realitas. Di era modern, perbedaan metodologis ini justru menunjukkan betapa fleksibel dan dinamisnya Islam dalam merespons transformasi zaman.
1. Pembiayaan Perbankan Modern
Versi Syafi’i:
Imam Syafi’i menekankan keabsahan hukum berdasarkan kejelasan nash. Dalam konteks pembiayaan modern, sistem murabahah dianggap sah selama tidak terdapat unsur riba atau gharar. Prinsip yang dipegang ialah:
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan.”
Artinya, selama akad dan objek transaksi jelas serta memenuhi prinsip jual-beli syar’i, maka pembiayaan modern dapat dikategorikan sah secara syariat.
Dalil Al-Qur’an:
﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا﴾
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Versi Hanafi:
Imam Hanafi lebih menitikberatkan pada ‘illah (alasan hukum) dan kemaslahatan. Maka dalam konteks perbankan modern, beliau memberi ruang bagi bentuk pembiayaan baru seperti mudarabah atau musyarakah selama tujuannya untuk maslahat publik. Kaidah yang digunakan adalah:
الأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala urusan tergantung pada tujuannya.”
Maka, selama orientasi sistem keuangan syariah bertujuan untuk kesejahteraan umat dan tidak menyalahi prinsip tauhid ekonomi, inovasi tersebut diterima.
2. Mata Uang Digital (Bitcoin dan Altcoin)
Versi Syafi’i:
Pandangan Imam Syafi’i cenderung berhati-hati terhadap hal-hal yang belum memiliki dasar nash jelas. Mata uang digital yang tidak memiliki nilai intrinsik dianggap mengandung gharar (ketidakjelasan), sehingga perlu pengawasan ketat agar tidak menjadi sarana spekulasi.
Dalil Al-Qur’an:
﴿وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ﴾
“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188)
Versi Hanafi:
Imam Hanafi, dengan metode qiyas dan istihsan, dapat menganggap bahwa nilai tukar digital bisa diterima sebagai alat transaksi baru apabila sudah memenuhi fungsi tsamaniyyah (alat ukur nilai). Maka, bitcoin dapat diperlakukan sebagai mal mutaqawwim (barang bernilai) selama dijaga dari unsur gharar.
Interpretasi kontemporer menjelaskan bahwa mata uang digital dapat diterima secara hukum Islam jika memenuhi empat prinsip: kejelasan nilai, transparansi transaksi, tidak ada penipuan, dan adanya jaminan kemaslahatan umum. Pendekatan Hanafi lebih adaptif terhadap transformasi ekonomi digital global.
3. Artificial Intelligence (AI) dalam Etika Syariah
Versi Syafi’i:
Dalam paradigma Syafi’i, AI tidak dapat dilepaskan dari kontrol moral manusia. Selama AI hanya menjadi alat bantu, bukan subjek hukum, maka penggunaannya tidak menyalahi syariat. Prinsipnya berpijak pada kaidah:
الوسائل لها أحكام المقاصد
“Sarana mengikuti hukum tujuan.”
Dengan demikian, penggunaan AI dalam dakwah, pendidikan, atau pelayanan publik dianggap sah selama bertujuan maslahat dan tidak menimbulkan fitnah.
Versi Hanafi:
Imam Hanafi akan memandang AI dari segi manfaat sosial dan maqasid-nya. Jika AI digunakan untuk meningkatkan efisiensi keadilan, pendidikan, dan kesejahteraan, maka hal itu termasuk dalam maslahah mursalah. Namun, ketika AI mulai menyalahi nilai kemanusiaan, maka hukum penggunaannya bisa berubah menjadi haram atau makruh.
Perbedaan dua pendekatan ini menegaskan bahwa fiqh tidak menolak perubahan, melainkan menuntun perubahan agar tetap berada di bawah prinsip moral Islam. Di sinilah aktualisasi ijtihad menjadi sangat relevan di abad ke-21.
Refleksi Modern
Dalam konteks globalisasi, umat Islam tidak hanya dihadapkan pada perubahan ekonomi, tetapi juga pada tantangan etika dan eksistensi manusia itu sendiri. Pendekatan Syafi’i menjaga kehati-hatian agar hukum Islam tidak kehilangan keaslian teksnya, sedangkan pendekatan Hanafi membuka pintu bagi rekonstruksi hukum yang berpihak pada kemaslahatan publik. Keduanya, jika disinergikan, menghadirkan wajah Islam yang rasional sekaligus spiritual.
Oleh karena itu, Islam bukan hanya agama masa lalu, tetapi juga etika masa depan — yang menuntun manusia agar teknologi tetap menjadi alat, bukan pengganti nurani.
“Mungkin, di masa depan, bukan manusia yang mencari makna dalam algoritma — tapi algoritma yang mencari makna tentang manusia.”