Politik, Kekuasaan, dan Fiqh Perlawanan: Merenungkan Ulang Moralitas Otoritas Di setiap zaman, kekuasaan selalu hadir sebagai ...
Politik, Kekuasaan, dan Fiqh Perlawanan: Merenungkan Ulang Moralitas Otoritas
Di setiap zaman, kekuasaan selalu hadir sebagai paradoks: ia menjanjikan ketertiban, namun sering pula membawa luka. Para ulama modern seperti Ali Shariati dan Dr. Musthafa Sakka melihat kekuasaan bukan sekadar struktur politik, tetapi medan pergulatan moral, tempat manusia diuji antara mengabdi atau menyimpang, antara melindungi atau menindas. Inilah titik di mana filsafat politik, psikologi kekuasaan, dan fiqh bertemu dalam satu pertanyaan besar: bagaimana menjaga kemuliaan otoritas agar tidak berubah menjadi kezaliman?
Filsafat Politik: Kekuasaan sebagai Amanah, Bukan Kepemilikan
Dalam filsafat politik Islam, kekuasaan tidak pernah dimaknai sebagai kepemilikan personal. Ia hanya amanah, sedangkan manusia hanyalah penjaga sementara. Al-Qur’an menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi peradaban, bukan sekadar atribut pemimpin.
(إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ)
"Sesungguhnya Allah memerintahkan (manusia) berlaku adil dan berbuat ihsan." (QS. An-Nahl: 90)
Ayat ini tidak hanya bicara tentang moral individu. Ia adalah kritik terhadap segala bentuk kekuasaan yang merasa berhak bertindak sesuka hati. Shariati menyebut bahwa setiap otoritas yang kehilangan orientasi moral akan berubah menjadi istibdad — tirani yang menghisap energi rakyat. Kekuasaan seperti ini tidak hanya merusak institusi, tetapi juga mematikan spiritualitas masyarakat.
Dalam tradisi politik Islam, pemimpin bukan hanya agen administrasi. Ia adalah pemikul beban etis. Jika keadilan hilang, kekuasaan kehilangan legitimasinya.
Psikologi Kekuasaan: Ketika Kursi Menjadi Cermin Jiwa
Salah satu aspek yang dilupakan banyak orang adalah bagaimana kekuasaan memengaruhi kondisi batin pemimpin. Di titik ini, kekuasaan bukan lagi persoalan batas-batas fiqh, melainkan problem psikologi manusia. Kekuasaan dapat membuat seseorang merasa lebih tinggi daripada rakyat yang seharusnya ia layani. Fenomena ini disinggung Al-Qur’an melalui potret Fir’aun, simbol psikologi kekuasaan yang korup.
(.فَحَشَرَ فَنَادَىٰ • فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ)
"Maka ia mengumpulkan (pengikutnya) lalu menyeru: ‘Akulah tuhan kalian yang paling tinggi!’” (QS. An-Naziyat: 23-24)
Ayat ini bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah peringatan abadi: bahwa kekuasaan dapat menutup hati, menumpulkan empati, dan membuat pemimpin tidak lagi melihat manusia sebagai manusia. Dari sinilah muncul kezaliman yang membuat masyarakat kehilangan rasa percaya diri, kehilangan harapan, bahkan kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kepatuhan dan ketertundukan.
Musthafa Sakka menyebut bahwa ciri kekuasaan yang sehat adalah kemampuannya untuk membuat rakyat merasa aman, bukan takut. Dalam bahasa psikologi politik, legitimasi lahir dari kepercayaan, bukan intimidasi.
Fiqh dan Ushul Fiqh: Ketika Hukum Melampaui Kekuasaan
Dalam wacana fiqh klasik, persoalan “pemimpin yang zalim” sudah lama dibahas, terutama dalam bab al-imamah. Banyak ulama mengingatkan bahwa kezaliman bukan hanya kesalahan moral, tetapi cacat legitimasi. Bahkan Ibn Hazm — tokoh yang tidak suka kompromi — menegaskan bahwa kekuasaan yang melampaui batas tidak boleh dibiarkan karena akan merusak maqashid syariah.
Perspektif ushul fiqh juga memperlihatkan bahwa otoritas tidak boleh berdiri di atas kerusakan moral. Kaidah “tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah” menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan terikat pada kemaslahatan, bukan hanya prosedur.
Masalahnya, sebagian orang menyederhanakan agama menjadi sekadar kewajiban formal, seolah-olah fiqh tidak boleh memikirkan ulang realitas sosial. Padahal fiqh yang hidup adalah fiqh yang berani mengkritik kekuasaan. Ulama modern memahami bahwa hukum tidak boleh membiarkan rakyat kehilangan martabat hanya karena pemimpinnya bersembunyi di balik simbol sakralitas.
Semangat Perlawanan Ulama Modern
Ali Shariati pernah menulis bahwa agama yang tidak membela yang lemah sesungguhnya sedang berdiri di pihak penindas. Sakka menyuarakan hal serupa: agama harus hadir sebagai cahaya bagi mereka yang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang bengis.
Dua pemikir ini menegaskan bahwa keberpihakan pada keadilan bukan sekadar pilihan moral, tetapi kewajiban teologis. Fiqh, dalam pandangan mereka, bukanlah instrumen untuk membenarkan status quo. Ia adalah alat pembebasan, dan ijtihad adalah cara untuk memastikan agama tetap berdiri di pihak manusia, bukan tiran.
Begitupula, warisan intelektual Islam harus dipahami sebagai ruang refleksi, bukan sekadar hafalan hukum. Ijtihad ada agar umat berani berpikir, bukan agar mereka mematuhi secara buta. Dan keberanian untuk mengkritisi kekuasaan adalah bagian dari cinta kepada kebenaran.
Jika kekuasaan lupa pada amanah, maka agama harus menjadi suara yang mengingatkan. Agama yang membisu di hadapan kezaliman bukan lagi cahaya, melainkan bayang-bayang yang meredupkan harapan manusia.
Pada akhirnya, kekuasaan selalu diuji bukan saat ia kuat, tetapi saat ia dipertanyakan. Dan di titik itulah moralitas pemimpin terbukti atau runtuh.
Kutipan Penutup
"Di hadapan kezaliman, agama bukanlah pelipur lara—ia adalah keberanian untuk mengatakan bahwa manusia lebih mulia daripada kekuasaan mana pun."