Zannī al-Thubūt & Zannī al-Dilālah: Ruang Ijtihad yang Menyala Salah satu keindahan besar dalam tradisi ushul fiqh adala...
Zannī al-Thubūt & Zannī al-Dilālah: Ruang Ijtihad yang Menyala
Salah satu keindahan besar dalam tradisi ushul fiqh adalah keberanian ulama untuk mengakui bahwa tidak semua teks bersifat absolut. Ada ayat dan hadis yang qat'ī, dan ada pula yang zannī: belum pasti penetapannya atau belum tunggal maknanya. Pada titik inilah agama berhenti menjadi beku dan berubah menjadi percakapan yang hidup. Ijtihad menemukan pintunya bukan pada kekakuan teks, tetapi pada ruang-ruang yang memang dibiarkan terbuka oleh wahyu.
Dalam diskursus klasik, dua istilah mendapat perhatian paling sentral: zannī al-thubūt (dugaan pada tingkat keotentikan teks) dan zannī al-dilālah (dugaan pada makna teks). Keduanya bukan dianggap kelemahan metodologis, tetapi justru penanda bahwa Allah mengizinkan manusia berpikir, menafsir, menimbang, dan memutuskan. Ruang ini bukan ruang kekacauan, tetapi ruang tanggung jawab.
1. Zannī al-Thubūt: Ketika Keotentikan Teks Membuka Penalaran
Zannī al-thubūt muncul ketika sebuah teks—biasanya hadis—tidak mencapai tingkat kepastian absolut. Artinya, ia sahih, diterima, dan layak dijadikan dasar hukum, tetapi tidak berada pada derajat yang menutup ijtihad.
Contohnya terlihat dalam hadis-hadis tentang mekanisme muamalah, seperti bentuk transaksi tertentu yang pada masa Nabi dilakukan secara sederhana. Para ulama berbeda pandangan apakah hadis-hadis tersebut memuat ketentuan baku atau hanya deskripsi situasi sosial waktu itu. Ketidakpastian ini justru membuka ruang bagi ulama kontemporer untuk menyusun standar transaksi modern, baik digital maupun non-digital, tanpa merasa keluar dari prinsip syariah.
Spirit yang muncul: ketika thubūt tidak absolut, maka manusia diminta untuk bekerja. Wahyu tidak memerintahkan kepasifan, tetapi tanggung jawab intelektual.
Sebagaimana firman Allah:
وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan Allah menimpakan kehinaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.” (QS. Yunus: 100)
Ayat ini menegaskan bahwa akal bukan pelengkap, tetapi syarat kelayakan manusia dalam menerima petunjuk.
2. Zannī al-Dilālah: Ketika Makna Tidak Tunggal, Akal Menjadi Kompas
Zannī al-dilālah berarti makna teks tidak definitif. Kata atau frasa dalam Al-Qur’an atau Hadis dapat memiliki lebih dari satu penafsiran. Ulama terdahulu sangat mengenal hal ini, sehingga perbedaan mazhab tidak dianggap ancaman, tetapi konsekuensi alamiah dari dinamika makna.
Contoh aplikatifnya: ayat tentang “memegang atau menyentuh perempuan” dalam hukum wudu. Kata lamasa dapat berarti sentuhan fisik biasa, dapat pula berarti hubungan suami-istri. Perbedaan makna ini membuka dua konsepsi hukum yang sama-sama sah. Ulama Syafi'i menganggap sentuhan membatalkan wudu, sementara yang lain tidak—keduanya hidup berdampingan dalam sejarah Islam tanpa saling menegasikan.
Di sinilah terlihat kebijaksanaan wahyu: ketika makna tidak tunggal, Allah seakan berkata bahwa ruang ijtihad harus tetap bernapas.
Allah berfirman:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Seruan ini bukan kepada hafalan, tetapi kepada pembacaan kreatif terhadap realitas.
Ijtihad sebagai Dialog antara Wahyu dan Akal
Ketika teks bersifat zannī—baik thubūt maupun dilālah—agama seakan membuka pintu bagi manusia untuk ikut serta merumuskan masa depannya. Zaman bergerak, pengalaman berubah, tantangan berkembang; dan ijtihad tidak boleh tertinggal di belakang sejarah.
Para pemikir besar dalam tradisi Islam selalu menekankan bahwa akal bukan musuh wahyu. Justru akal adalah instrumen yang membuat wahyu relevan lintas generasi. Tanpa akal, teks hanya akan menjadi fosil yang dipamerkan, bukan cahaya yang menuntun kehidupan.
Dalam kerangka ini, zannī al-thubūt dan zannī al-dilālah adalah “ruang kosong” yang sengaja tidak diisi oleh wahyu, agar manusia belajar bertanggung jawab. Tugas ijtihad bukan mengubah agama, tetapi menjaga agar agama tetap hidup dalam dinamika zaman.
Menghidupkan Kembali Keberanian Berpikir
Ketakutan terhadap perbedaan atau terhadap “kebaruan” sering kali justru menghilangkan substansi agama. Ketika teks dipaksakan untuk selalu bersifat tunggal, maka agama kehilangan ruang dialoginya. Padahal sejarah Islam menunjukkan bahwa kekayaan peradaban justru lahir dari keberanian para ulama dalam menafsir, membedakan, dan memperluas horizon hukum.
Pada titik ini, yang diperlukan bukan keberanian melawan tradisi, tetapi keberanian menghidupkannya kembali. Ijtihad bukan wacana filosofis kosong, melainkan aksi nyata: membaca ulang teks dengan sensitivitas moral, ketelitian ilmiah, dan kesadaran konteks.
Zaman modern—dengan seluruh kompleksitas teknologinya—menuntut umat Islam kembali pada keberanian intelektual itu. Tanpa ijtihad, teks akan membatu; dengan ijtihad, teks menjadi panduan yang relevan dan memanusiakan.
Penutup: Cahaya yang Terus Menyala
Zannī al-thubūt dan zannī al-dilālah bukanlah sisi “lemah” dari warisan syariah, tetapi justru jantung vitalnya. Di sanalah umat Islam diajak untuk berpartisipasi aktif dalam perjalanan wahyu. Ketika akal bergerak, maka agama tidak mati; ia tetap berdenyut dalam sejarah, mengarahkan manusia kepada kedalaman makna.
Pada akhirnya, bukan kepastian yang membuat syariah hidup, tetapi keberanian untuk berpikir dengan jujur dan bertanggung jawab.
“Agama tidak meminta manusia berhenti berpikir; ia hanya meminta agar pikiran berjalan menuju kebaikan. Selama akal berani melangkah, selama itu pula wahyu tetap menemukan jalannya menuju kehidupan.”