Sportivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai, " sikap adil (jujur) terhadap lawan; sikap bersedia mengakui ke...
Sportivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai, " sikap adil (jujur) terhadap lawan; sikap bersedia mengakui keunggulan (kekuatan, kebenaran) lawan atau kekalahan kelemahan, kesalahan sendiri; kejujuran; kesportifan". Islam memandang sportivitas sebagai nilai universal yang harus ditanamkan dalam jiwa seorang muslim. Khususnya di era modern seperti sekarang ini, dimana kecenderungan umat beragama yang semakin hari semakin konservatif dan berlebih-lebihan. Meraka lebih memperioritaskan kesalehan pribadi, tetapi lupa terhadap kesalehan sosial dan intelektual.
Mari kita ambil contoh, Pada zaman sekarang banyak muslim yang berduyun-duyun mendatangi penceramah walaupun jarak yang ditempuh untuk sampai pada lokasi penceramah itu cukup jauh. Disamping itu, sosialisasi terhadap Sunnah Nabi seperti, Iktikaf, komunitas "yuk Ngaji" dan 1 day on Juz kian akrab dalam spektrum keagamaan masyarakat kita. Tetapi sangat disayangkan, banyak umat Islam yang memiliki tingkat kesalehan pribadi yang tinggi tapi dalam hal berintraksi sosial sangat memprihatinkan.
Misalnya, prilaku menyebar berita hoax yang sarat dengan nuansa religi; keagamaan foto Jecky Chen yang memakai kopiah saat berada di Brunei Darussalam diklaim sebagai bukti keislamannya. Hal ini tentu sangat mengada-ada. Ada juga, karena berbeda pandangan politik, budaya hoax; "sharing" membagikan berita kebencian dan isu-isu suku, ras dan agama semakin tidak terbendung. Yang mengherankan, orang-orang yang giat menyebar informasi-informasi palsu seperti itu, jika dilihat kesehariannya mereka memiliki kesalehan pribadi yang cukup baik. Mengapa demikian? Kurangnya literasi, "picnic" intelektual dan merasa paling benar adalah penyebab dari maraknya orang-orang yang tampak shaleh secara pribadi berprilaku tidak tepat.
Demikian pula, pada zaman sekarang ini, Generasi Muda kita lebih dominan dan menyukai aktifitas keagamaan yang sifatnya instan daripada pergi ke perpustakaan demi menambah ilmu pengetahuan Akibatnya, jika ada isu-isu sensitif yang berkaitan dengan penistaan simbol agama mereka, anak-anak muda ini cenderung menjadi beringas dan tak terkendali. Seperti Isu penistaan agama yang dilakukan Ahok memicu sikap yang kurang terpuji dari sebagian kalangan dengan berteriak lantang mengatakan, "Bunuh Ahok, Bunuh Ahok!".
Tentu prilaku seperti ini seharusnya tidak terjadi. Dan sekarang Ahok harus mendekam dipenjara beberapa Tahun. Tapi masih banyak juga orang-orang yang belum bisa memaafkannya. Padahal dalam ajaran Islam memaafkan adalah perbuatan yang sangat mulia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Adalah sikap sportivitas yang belum tertanam dalam diri sebagian umat Islam; Yang tidak menerima ketentuan hukum yang ditetapkan para Hakim Konstitusi.
Jika kita memperhatikan dengan seksama kondisi umat Islam saat ini, mereka sangat mudah untuk dipermainan emosinya. Contohnya, dalam Isu Palestina, dimana menurut beberapa kalangan Amerika juga memberi dukungan yang kuat terhadap Zionist Israel untuk memerangi Palestina. Akibatnya, Kita melihat Gerakan Boycot yang diinisiasi kelompok tertentu marak terjadi.
Kelompok ini membuat "Baleho" berupa gambar produk-produk apa saja yang wajib diboycot karena telah diasumsikan sebagai pendukung agresi Israel. Tapi yang membuat kita heran, beberapa produk yang diboycot itu sangat dibutuhkan oleh kalangan Islam itu sendiri. Akibatnya, Gerakan Boycot hanya seakan-akan seperti sebuah wacana saja tanpa aksi yang berkelanjutan. Apa makna dari prilaku seperti ini? Lagi-lagi sportivitas yang menjadi sorotan. Dimana kita sebagai umat Muslim masih suka "mengolok-ngolok" bangsa lain. Tapi tetap memakai produk mereka. Mengapa? Karena kita butuh dan masih terikat produk-produk mereka.
Tidak cukup lama, kita dikejutkan oleh sikap beberapa kalangan umat Islam yang mengajak untuk
memboycot Starbuck. Itu karena Starbuck mengatakan bahwa mereka turut memberikan dukungan terhadap komunitas LGBT. Akibatnya, banyak kalangan muslim yang ikut-ikutan memboycot Starbuck padahal mereka tidak pernah datang ke tempat ini. Tetapi, Bagi kalangan yang sudah terbiasa "nongkrong", "ngobrol ngalor-ngidul" di tempat ini, mereka tidak peduli itu semua. Mereka berdalih, " kami datang ke Starbuck untuk melepas lelah, bukan untuk berdebat prihal LGBT".
Yang juga sangat mengherankan, Para pembenci LGBT ini tidak menyadari bahwa Facebook yang selama ini mereka gunakan untuk bermedia sosial juga termasuk pendukung aktif LGBT.
Bahkan pada waktu tertentu, perusahaan ini merayakan hari kaum LGBT dengan melukis pelangi pada fitur aplikasinya. Mengherankan bukan? Ya. Inilah yang saya maksud dengan kurangnya jiwa sportivitas dalam masyarakat kita. Kita tentu belum bisa membuat aplikasi seperti facebook yang memiliki jangkauan luas dan fitur-fitur yang canggih. Karena itu, walaupun sebagian kalangan "koar-koar" mengatakan Facebook pendukung LGBT; kita cenderung tidak peduli, Mengapa? Karena kita masih belum bisa berpisah dari Facebook. Apakah ini tanda bahwa kita telah mengabaikan ajaran agama yang kita anut karena menolak untuk memboycot perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan LGBT? Tentu Tidak. Kita tidak bisa menghubungkaitkan perbedaan dalam ideologi
dan pemikiran dengan aktifitas sosial kita.
Aktifitas sosial dibangun atas dasar kepentingan dan kebutuhan, selagi kita butuh dan prilaku kita tidak merugikan orang lain, apapun pilihan yang kita lakukan, itu hak pribadi kita. Jangan hanya karena perbedaan yang kita miliki, kita acuh terhadap orang lain, tidak sportif dan tidak mahu berintraksi sosial dengan mereka. Mengapa? Karena kita hidup tidak bergantung pada diri sendiri.
Sebagai penutup dari tulisan ini, Mari kita tanamkan jiwa sportivitas ke dalam diri kita. Sportivitas yang dimaknai sebagai sikap adil dan mahu mengakui kesalahan dan kekalahan adalah manifestasi dari ajaran Islam Universal; nilai-nilai yang melintasi ruang dan waktu sepanjang sejarah manusia. Kita hidup di zaman modern dimana ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai oleh Negara barat. Hal ini berlaku juga terhadap sains yang kian hari semakin berkembang dan tidak terbendung.
Karena itu, jika kita ingin umat Islam tidak ketinggalan zaman. Mari kita sudahi nostalgia yang indah
tentang kemajuan peradaban islam di masa lalu. Kesadaran kita akan kelemahan dan mencoba untuk bangkit dari keterpurukan umat ini lebih mulia daripada hidup dalam kecurigaan, pengecaman dan mengutuk-ngutuk bangsa lain karena lebih maju daripada kita. Inilah sikap sportivitas yang harus kita pegang setiap saat; Sportivitas untuk Kemajuan.
Semoga Bermanfaat
Robby Andoyo
