Tanggal 22 Oktober 2017 adalah perayaan hari Santri Nasional. Kita bisa melihat begitu banyak ucapan selamat untuk merayakan hari santr...
Tanggal 22 Oktober 2017 adalah perayaan hari Santri Nasional. Kita bisa melihat begitu banyak
ucapan selamat untuk merayakan hari santri; di dinding-dinding facebook, twitter dan instagram
dipenuhi dengan foto-foto perayaan hari yang penuh dengan sejarah ini.
Santri dalam pengertian yang lebih luas bisa dimaknai dengan setiap orang atau kelompok
yang berjibaku belajar, mengkaji dan menelaah ajaran Islam secara komprehensif. Seorang santri
pasti memiliki Kiai, Guru dan Ustadz. Para Asatidz ini yang berkorban dalam mendidik dan mengajarkan Islam yang "rahmatan lil alamin" penuh cinta dan kasih sayang.
Jika kita melihat realitas penuntut Ilmu Agama "zaman now", kita hampir pasti bisa dibuat
"geleng-geleng kepala". Betapa tidak, banyak anak-anak muda yang memiliki semangat keislaman
yang luar biasa, tetapi dalam hal menuntut ilmu, mereka maunya yang instan.
Mari kita ambil contoh: Daripada harus mendatangi guru untuk belajar Islam secara menyeluruh;
para anak-anak muda ini lebih 'asik' mendatangi penceramah walaupun ribuan kilo harus ditempuh.
Padahal, kalau kita mau jujur, belajar Islam dari mendengarkan 'penceramah' saja tidak cukup. Karena, setiap 'penceramah' mempunyai cara yang unik dalam menyampaikan materinya; terkadang kita hanya mendapatkan hiburan seperti 'stand up comedy' saja, sedangkan nilai dari ilmu yang disampaikan 'penceramah' tidak banyak, hanya sedikit. Tentu kondisi seperti ini sangat memperihatinkan kita semua.
Untuk menjadi santri modern tidak cukup hanya mengandalkan "mbah google". Dalam artian, belajar agama tidak bisa hanya berdasarkan "searching" penelusuran mesin pencari google. Mengapa? karena tidak semua yang ada di internet itu benar. Terkadang ajaran "hoax" berseliweran di media sosial tanpa kita ketahui. Dan ketika seorang terbiasa mengkonsumsi berita bohong di internet, akal dan pikirannya akan "tumpul" tidak maksimal dan mudah terprovokasi, terpancing "esmosi" hanya karena ulah oknum-oknum tertentu yang mempolitisasi 'ayat suci' untuk kepentingan politik dan golongan.
Misalnya, paranoid terhadap kebangkitan PKI yang sempat membuat heboh. Bahkan ada pegiat media sosial yang saat ini sudah menjadi tersangka ujaran kebencian; menuduh pemerintah cenderung mengabaikan isu PKI ini. Tentu sikap seperti ini sangat tidak tepat. Pemerintah bahkan sudah menerbitkan Perpu Ormas yang bertujuan untuk mendisiplinkan ormas-ormas yang memiliki kecenderungan untuk anti kebinekaan dan dasar negara Indonesia; Pancasila.
Yang anehnya, Perpu Ormas yang didalamnya terdapat larangan-larangan terhadap organisasi komunis (PKI) digugat dan di demo bersamaan dengan slogan "Menolak Perpu Ormas dan Kebangkitan PKI". Jadi, seolah- olah para pendemo atas nama 'agama' ini tidak konsisten. Jika ormas yang dibubarkan berafiliasi dengan agama tertentu, mereka tolak walaupun terindikasi telah "merongrong" ideologi Pancasila. Sedangkan, mereka begitu semangat untuk menolak PKI. Padahal PKI sudah menjadi 'hantu' yang tidak menyeramkan lagi.
Demikian pula, Santri Modern adalah pribadi yang 'haus' Ilmu Pengetahuan. Walaupun Para santri biasanya mengkaji kitab-kitab "turast" klasik ulama-ulama terdahulu. Seperti: "Al-Ikhkam Fi Usuli Al-Akhkam" karya Al-Jassas. Kitab "Ar-risalah" Karya Imam Syafi'i, Kitab "Al-Muafaqat" Karya Imam As-syatibi dan Kitab " Bidayatu Al-Mujtahid" Karya Ibn Rusyd. Tetapi. Untuk menjadi santri modern harus bisaberpikir terbuka (baca:open minded), tidak kaku, menghargai perbedaan dan tidak pernah berhenti belajar. atau dalam pepatah Arabnya,
"Tuntutlah Ilmu dari buaian sampai ke liang lahat".
Tidak cepat puas terhadap Ilmu yang dimiliki adalah ciri santri modern sejati. Santri Modern memiliki pemikiran yang maju ke depan; melihat hikmah dalam setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat, sekaligus mencipta hikmah dalam realitas keberagaman: agama, sosial dan budaya;kearifan lokal.
Misalnya, dalam isu poligami yang santer dipaktikkan oleh 'ustad zaman now', santri modern tidak
lantas mengapresiasi praktik poligami. Tetapi, ia berupaya mengaktualisasikan diri mereka sebagai
manusia yang hidup pada abad ke-21, yang melihat memiliki pendamping hidup lebih dari satu dan dikumpulkan pada satu atap rumah tidaklah selaras dengan pemikiran manusia modern. Saya sudah mengulasnya dalam tulisan "Poligami Bukan Tujuan".
Walaupun demikian, Santri Modern tidak pernah mengucapkan sumpah serapah terhadap orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Baik itu perbedaan-perbedaan dalam agama, sosial dan politik. Baginya, perbedaan adalah fitrah dan sebuah keniscayaan yang ditakdirkan Tuhan kepada semua umat manusia. Atas dasar ini, Pandangan santri modern terhadap agama lain bukanlah pandangan penuh benci dan curiga. Tetapi, pandangan "tasamuh" Toleransi, "tawassuth" Moderat dan "ta'amul bersinergi dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas di dalam masyarakat. Dengan demikian, mereka mampu menjadi diri sendiri, tidak 'terombang-ambing' oleh "slogan" 'bela islam' dan 'bela ulama', sementara tidak memahami permasalahan dan ulama seperti apa yang harus dibela. Apakah orator diatas panggung yang melarikan diri "kabur" dari proses hukum yang disebut 'ulama'? tentu tidak. Membela ulama haruslah dengan sikap yang santun, dakwah "bil hikmah" bukan dengan aksi berjilid-jilid yang banyak merusak kenyamanan orang lain.
Pada zaman sekarang, Islam sudah menjadi identitas seorang muslim di tengah keramaian ideologi-ideologi; Kapitalisme, komunisme, liberalisme dan sekularisme. Santri Modern harus bisa bernalar dengan benar, jangan sampai kurangnya literasi membuat diri membenci sesuatu yang belum kita pahami secara baik. Tentu, Islam memiliki identitas, Islam juga memiliki aturan-aturan yang berkolerasi erat dengan konteks suatu zaman. Realitas yang ada pada zaman sekarang, tentu berbeda dengan realitas yang ada pada abad ke-7. Beberapa abad yang lalu, orang mungkin percaya bahwa bumi itu datar. Bahkan dalam 'kitab suci' ada isyarat 'ayat-ayat' yang menyebutkan Bumi yang kita huni ini terhampar dan matahari bergerak. Inilah yang menyebabkan terjadinya siang dan malam. Beberapa abad yang lalu, tidak ada manusia yang ke luar angkasa; mereka melihat bumi dari dalam. Sehingga bumi datar adalah sebuah realitas yang dipercayai pada masa itu.
Saat ini, perkembangan teknologi sudah sedemikian pesatnya. Manusia tidak hanya bisa melihat bumi dari dalam. Tapi mereka bisa pergi ke luar angkasa. Bahkan, beberapa orang ingin mencari planet baru yang bisa dihuni oleh kita umat manusia.
Jadi, Bumi bulat adalah sebuah realitas zaman sekarang. Bukan berarti ada semacam kontradiksi dalam 'ayat-ayat suci'. Tetapi Allah swt menurunkan 2 kitab:
Pertama, Al-Quran yang hidup bersama text-text sebagai pesan Ilahiah
Kedua, Hukum Alam. Atau dalam istilah "al-kitab wa al-Kaunu Al-Mutakharrik" Buku dan ciptaan yang bergerak.
Al-Quran bagi kita adalah panduan hidup dan tata cara menjalani hidup berdasarkan ajaran Islam.
Tapi itu tidak bermakna Al-Quran seperti "manual book" yang setiap permasalahan hidup termaktub secara harfiah di dalam kitab suci. Yang dimaksud tata cara hidup berbasis 'kitab suci' harus melalui mekanisme berpikir yang benar. Para Ulama terdahulu mengkonsep prihal panduan hidup dalam spektrum "ijtihad" penalaran hukum islam berbasis wahyu: Al-quran dan Hadis. Demikian pula, dalam menjadikan Al-Quran sebagai panduan hidup, kita tidak bisa hanya membacanya saja melalui terjemahannya.Tetapi, haruslah melalui pendekatan ilmu tafsir dan hukum syariah.
Artinya, jika kita hanya membaca terjemahan Al-Quran tanpa sedikitpun mau mengkaji setiap cakrawala makna yang ada dalam text-text Al-Quran ini, bisa dipastikan kita akan semakin tidak memahami ajaran islam. Karena Ilmu adalah soal sejauh mana kita bisa memahami, mengkaji dan menelaah segala hal yang bisa menambah pengetahuan kita dan cara berpikir terhadap suatu permasalahan.
Begitu pula, Hukum Alam juga merupakan hukum baku yang terus bergerak kearah kemajuan. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya penemuan-penemuan sains dan teknologi mutakhir yang beberapa abad lalu hanya dianggap mitos dan khayalan. Misalnya, Intraksi sosil berbasis Internet; Video call, voice call dlsb.
Jika Al-Quran sebagai panduan menjalani hidup dalam bingkai "ijtihad", hukum alam itu sendiri adalah cara Allah mendidik manusia untuk bisa mendayagunakan potensi akal secara maksimal. Karena itulah, perkembangan sains dan teknologi semakin berkembang, selama perkembangan di ranah sains tidak menimbulkan kerusakan dan kehancuran. Dengan kata lain, memberi kemanfaatan terhadap umat manusia, Semua praktik sains dan teknologi adalah bagian dari ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Mengapa? Karena Islam ada dalam kehidupan bukan kebinasaan.
Sebagai penutup, Menjadi santri modern harus pula berpikir modern. Santri boleh saja disebut "kaum sarungan" Tapi sebagai santri harus berwawasan luas, membuka diri, anti kejumudan berpikir dan tentunya cinta tanah air. Santri Modern tidak bolah terjebak dalam paham sektarianisme, tribalisme dan sukuisme. Apalagi berupaya untuk 'mengkotak-kotakkan' diri dalam golongan tertentu. Misalnya, Ormas NU (Nahdatul Ulama) adalah ormas terbesar di Indonesia. Zaman "now" ada semacam tendensi untuk memecah bela NU dengan menggaungkan slogan "NU Garis Lurus" yang konon sebagai upaya mengembalikan ormas ini dalam "khittahnya". Apakah benar demikian?
Entahlah. Yang jelas perwujudan "NGL" di tubuh NU tidak lantas bisa mempersatukan perbedaan. Malah, kehadiran "NU Garis Lurus" seolah-olah memperlebar "sekat-sekat" dan "kotak-kotak" di dalam NU sendiri.
Pada zaman sekarang, Banyak kalangan muslim menganggap orang yang berpikir terbuka, mengedepankan pendekatan dialektik terhadap realitas keberagaman disebut "liberal" dan "sesat". Padahal liberalisme "murni" itu sendiri sangat bertentangan dengan paham keislaman. Dalam liberalisme manusia bebas melakukan segala perbuatan selama tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Tentu hal ini sangat tidak sesuai dengan doktrin ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Dimana ajaran Islam memuat nilai-nilai religiusitas dan tata cara hidup.
Misalnya, Islam mengharamkan segala jenis minuman yang memabukkan. Ini adalah panduan moral dalam berislam. Minum minuman keras tentu tidak merugikan kenyamanan orang lain selama tidak melakukan aktifitas-aktifitas sosial: berkendara dan masih melakukan pekerjaan. Tetapi, doktrin minuman yang memabukkan "Al-Muskiraat Minal Masyrubat" dilarang dikonsusmi, merupakan cara hidup dalam berislam yang benar. Inilah contoh 'kecil' dari perbedaan ideologi liberalisme dan Ajaran Islam.
Dengan demikian, tidak etis bagi kita untuk membungkam orang lain dengan sebuatan-sebutan "liberal", "syiah", "sesat" dan "kafir". Bukan hanya menuduh orang lain itu tidak baik secara etika. Apalagi tuduhan itu hanya berdasarkan asumsi-asumsi belaka yang dikemas seolah-olah menjadi fakta. Selain nantinya akan menunjukkan kejumudan berpikir kita (baca:kebodohan), prilaku seperti itu juga tidak menambah wawasan keislaman kita sendiri.
Ali Bin Abi thalib pernah mengatakan,
"Seseorang cenderung memusuhi sesuatu yang belum dipahaminya".
Semoga bermanfaat
Robby Andoyo