Hari-hari ini tepatnya tanggal 8 Oktober 2017, Poligami menjadi isu yang viral. Dinding-dinding facebook dibanjiri dengan Pro Kontra P...
Hari-hari ini tepatnya tanggal 8 Oktober 2017, Poligami menjadi isu yang viral. Dinding-dinding facebook dibanjiri dengan Pro Kontra Poligami. Karena itu, sebagai wujud dari solidaritas "netizen" Saya akan mencoba ikut berpartisipasi prihal poligami ini. Isu Poligami yang santer diberitakan media-media mainstream; tidak lepas dari peran seorang "Da'i Kondang" pendiri Majlis Dzikir ternama di ibu kota.
Da'i yang memiliki suara serak-serak basah ini dengan "happy" bahagia mengumbar kemesraan di media sosial; postingan foto dirinya ditemani dengan ketiga istrinya yang terlihat begitu akrab dan rukun itu langsung menjadi viral. Netizen dalam hal ini terbagi dalam beberapa kelompok.
Pertama, Golongan yang takjub akan kelihaian Sang Da'i yang sanggup berlaku adil
terhadap ketiga Istrinya. Mereka pun mersa yakin akan kealiman Sang Da'i.
Kedua, Golongan yang menganggap praktik poligami yang diumbar secara bebas, seperti yang dilakukan Da'i itu telah "mencoreng" wajah umat Islam; jelas-jelas membuat citra Islam semakin
rusak dengan ketidakmampuan pemuka agamanya dalam menahan nafsu dunianya.
terhadap ketiga Istrinya. Mereka pun mersa yakin akan kealiman Sang Da'i.
Kedua, Golongan yang menganggap praktik poligami yang diumbar secara bebas, seperti yang dilakukan Da'i itu telah "mencoreng" wajah umat Islam; jelas-jelas membuat citra Islam semakin
rusak dengan ketidakmampuan pemuka agamanya dalam menahan nafsu dunianya.
Golongan kedua ini berdalih,
"Jika pemuka-pemuka dari kalangan agamis Islam cenderung mempertontonkan praktik poligami secara terbuka, Islam yang kita kenal dengan agama rahmatan lil alamin akan memiliki wajah baru. Misalnya, orang akan mengenal Islam dengan agama yang mendukung praktik eksploitasi terhadap wanita". Anggapan ini tidak semestinya tepat dan benar.
Menurut Saya, agama Islam tidak akan dipandang keluar dari orientasi dan tujuan awalnya; " Islam Rahmatan Lil Alamin" , walaupun sebagian orang-orang Islam lebih nyaman hidup dalam spektrum
"politisasi" agama dan ayat-ayat suci.
Mari kita ambil contoh, Jika ada orang Islam yang sudah divonis bersalah oleh hakim, Tetapi ia tetap "ngotot" bersikeras tidak merasa bersalah. Bahkan ia mengatakan,
"Jika pemuka-pemuka dari kalangan agamis Islam cenderung mempertontonkan praktik poligami secara terbuka, Islam yang kita kenal dengan agama rahmatan lil alamin akan memiliki wajah baru. Misalnya, orang akan mengenal Islam dengan agama yang mendukung praktik eksploitasi terhadap wanita". Anggapan ini tidak semestinya tepat dan benar.
Menurut Saya, agama Islam tidak akan dipandang keluar dari orientasi dan tujuan awalnya; " Islam Rahmatan Lil Alamin" , walaupun sebagian orang-orang Islam lebih nyaman hidup dalam spektrum
"politisasi" agama dan ayat-ayat suci.
Mari kita ambil contoh, Jika ada orang Islam yang sudah divonis bersalah oleh hakim, Tetapi ia tetap "ngotot" bersikeras tidak merasa bersalah. Bahkan ia mengatakan,
" Demi Allah saya tidak korupsi, ini hanya manuver KPK saja, penegak hukum tidak bekerja degan adil; saya dipaksa untuk menerima kesalahan yang tidak saya lakukan. Saya tahu, semua ini terjadi agar saya berhenti berjuang untuk Islam". ( Ini hanya sebuah narasi rekaan)
Apa tanggapan Anda? Apakah perbuatan pernyataan orang ini bisa merusak wajah Islam? Tentu tidak. ini sebenarnya yang Saya maksud. Apapun yang dilakukan orang Islam, jika itu perbuatan buruk; Aksi terorisme membawa simbol Islam misalnya. Juga tidak bisa dijadikan alasan untuk mendeskreditkan Islam. Islam ibarat cakrawala keadilan yang luas, sedangkan manusia hanyalah orang yang dituntut untuk berlaku adil. Tidak semua orang bisa berlaku adil. Ketidakadilan bisa saja dilakukan oleh orang Islam. Walau demikian, apapun prilaku buruk atas nama agama Islam, tidak sedikitpun merubah wajah Islam yang damai seperti yang kita kenal.
Mungkin Saya akan masuk dalam golongan ketiga, Golongan ini beranggapan, poligami bukanlah tujuan. Tetapi ia hanyalah sebuah solusi yang terikat oleh syarat-syarat yang tidak mudah; berlaku adil. Terkait masalah poligami ini, Al-Quran menyatakan dengan terjemahannya sebagai berikut:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa/4 : 3]
Pada zaman sekarang, banyak orang yang "salah kaprah" prihal poligami ini, mereka menganggap poligami adalah "Ghayatu Syariah" tujuan dari syariat. Padahal, jika mereka mahu sedikit belajar melakukan "picnic" intelektual, membaca literatur-literatur islam klasik dan memahami konteks ayat
tentang poligami ini secara komprehensif. Maka mereka pasti sadar dan kembali pada nalar yang sehat.
tentang poligami ini secara komprehensif. Maka mereka pasti sadar dan kembali pada nalar yang sehat.
Dahulu, pada zaman jahiliyah, bangsa arab tidak mengenal istilah "takhdidu addad" pembatasan jumlah wanita yg bisa dinikahi. Kita tahu konsekuensi dari tidak adanya pembatasan jumlah wanita
untuk dinikahi ini, menjadikan para pembesar-pembesar Arab yang memiliki harta berlimpah zaman itu menikahi wanita dengan jumlah yang tidak terbatas. Itu tidak dihitung dengan jumlah budak yang dijadikan "selir" bangsawan-bangsawan Arab itu. Disinilah Islam melakukan proses kritik terhadap nalar bangsa arab jahiliyah yang tidak membatasi jumlah isteri dalam pernikahan.
untuk dinikahi ini, menjadikan para pembesar-pembesar Arab yang memiliki harta berlimpah zaman itu menikahi wanita dengan jumlah yang tidak terbatas. Itu tidak dihitung dengan jumlah budak yang dijadikan "selir" bangsawan-bangsawan Arab itu. Disinilah Islam melakukan proses kritik terhadap nalar bangsa arab jahiliyah yang tidak membatasi jumlah isteri dalam pernikahan.
Kehadiran Islam bukan saja membatasi prilaku "over poligami" bangsa Arab pada masa itu, tetapi juga merupakan solusi-konstruktif untuk membenahi nalar rusak bangsa Arab jahiliyah.
Jadi, Pembatasan praktik poligami dengan jumlah 4 isteri itu sebenarnya bukan tujuan utama syariat. Tetapi hanyalah solusi temporal dan harus dipahami secara kontekstual. Dengan demikian, Poligami
adalah ajaran yang terikat dengan syarat tertentu. Islam menentukan syarat tunggal yang berat; yaitu berlaku adil. Jika praktisi poligami tidak mampu berlaku adil. Maka, satu isteri lebih baik dan lebih utama. Biasanya, orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk berpoligami mengatakan,
" Adil tidak dilihat dari kasih sayang seorang suami terhadap isterinya, tetapi adil dinilai dari sejauh mana sang suami sanggup memberi nafkah lahir ( biaya hidup ) kepada isteri-isterinya".
Benarkah seperti itu? Entahlah. yang jelas Islam mengajarkan bahwa rumah tangga harus dibina dengan kasih sayang "mawaddah warrahmah" bukan dengan hanya memberi materi dan harta yang melimpah ruah saja tetapi rasa kasih sayang tidak pernah ada. Benar, tanggung jawab suami adalah menafkahi isterinya lahir dan batin. Tetapi, jika seorang suami memiliki banyak isteri, bagaimana ia bisa berlaku adil terhadap isteri-isterinya?
Ia bukan Nabi yang dididik secara langsung oleh Allah swt.
Nabi Muhammad mengatakan,
“Addabaniy Rabbi fa ahsana Ta'dibi”
Tuhanku telah mendidikku, terbaiklah didikan-Nya untukku.
Sebagai penutup, Alangkah baiknya beristeri satu saja. Jauh didasar lubuk hatinya, wanita tidak ingin dimadu. terkadang para pria ingin menjalankan sunnah nabi seperti poligami. Padahal, masih banyak sunnah-sunnah Nabi Muhammad saw yang belum diikuti. Kadang para praktisi poligami merasa telah berlaku adil. Iyalah, hanya mereka yang bisa merasakan. Kita tidak bisa. Yang jelas, jika ingin berpoligami harus siap mental.
Karena kepantasan zaman belum bisa menerima sepenuhnya praktik poligami ini. Banyak orang yang menganggap orang berpoligami hanya menuruti nafsu saja. Mereka berpendapat, mustahil manusia biasa apalagi bukan Nabi berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Tetapi jika hanya merasa "aku sanggup adil", semua orang juga bisa. Semua orang bisa mendakwah dirinya mampu berlaku adil.
tetapi jauh dilubuk hatinya, ia menjerit-jerit, dan berteriak-teriak tanpa suara,
"Aku hanya manusia biasa, adil menurutku belum tentu adil bagi dirimu".
tetapi jauh dilubuk hatinya, ia menjerit-jerit, dan berteriak-teriak tanpa suara,
"Aku hanya manusia biasa, adil menurutku belum tentu adil bagi dirimu".
Semoga bermanfaat
Robby Andoyo