Candu atau bisa diartikan dengan hasrat yang tidak terkontrol terhadap sesuatu, adalah sikap yang jauh dari tuntunan dan ajaran Islam ...
Candu atau bisa diartikan dengan hasrat yang tidak terkontrol terhadap sesuatu,
adalah sikap yang jauh dari tuntunan dan ajaran Islam "Rahmatan Lil Alamin".
Orang yang "kecanduan" bermaksiat, pasti tidak akan pernah berhenti melakukan
perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang Allah swt. Pecandu Narkoba misalnya,
akan mencari sedaya upaya untuk mendapatkan barang haram itu bagaimanapun caranya.
Pada Artikel kali ini, Saya tidak membahas tentang candu dalam spektrum Ilmu medis.
Akan tetapi yang akan saya ulas adalah sikap "sakaw" dan "candu" yang mengarah
pada kebencian terhadap etnis, agama dan budaya". Di dalam kehidupan bermasyarakat kita.
"candu kebencian" seolah-olah sudah mengakar sedemikian kuat sampai pada tahap
di mana aksi-aksi mendeskreditkan orang lain bermula dari pengabaian terhadap
realitas ini (baca:candu kebencian).
Lantas, bagaimana cara meminimalisir sikap "candu" kebencian ini? Apa solusi yang tepat bagi generasi millenial dalam menangkal "candu kebencian"? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu sangat "menggelitik" hati kita. Beberapa langkah solutif yang bisa kita ambil dalam memerangi sikap "candu kebencian" sebagai berikut:
Pertama, Membudidayakan "Humor" dalam berislam
Banyak orang beranggapan bahwa Islam adalah ajaran yang berkutat pada dimensi
yang rigid dan kaku. Ajaran Islam yang memuat nilai-nilai universal yang selaras
dengan suara kemoderenan mereka abaikan, bahkan dianggap sebagai upaya
"menghancurkan Islam dari dalam". Apakah benar demikian? Tentu Tidak.
Orang-orang yang bersikap seperti ini biasanya adalah orang yang memiliki semangat keislaman yang tinggi, tapi minim literasi (untuk tidak mengatakan kurang membaca). Padahal, jika mereka membaca sedikit tentang diskursus kajian Islam secara mendalam; yang dimulai dari perbedaan pandangan keislaman antara Sarjana Islam klasik dan Sarjana Islam kontemporer, Tentu mereka akan terkejut akan begitu banyaknya perbedaan-perbedaan yang terjadi.
Dalam diskursus Fiqh Islam misalnya, begitu banyak "ikhtilaf" yang bahkan akhirnya
menghasilkan/memproduksi "hukum" yang berbeda terhadap suatu permasalahan.
Dan walaupun perbedaan sering kali terjadi diantara ulama-ulama terdahulu,
tetap tidak ada yang memvonis "kafir","sesat" dan "liberal" kepada orang yang
berbeda.
Hal ini sangat kontras dengan kehidupan umat di zaman "now" yang demi "kepuasan peribadi"
dengan bangga berteriak mengatakan, "dasar sekuler!!". Orang-orang ini, konon membenci
budaya sektarian yang cenderung "mengkotak-kotakkan" masyarakat. Tapi, ironis sekali,
merekalah sebenarnya yang kerap melakukan tindakan yang bernuansa provokatif, menebar hoax,
mengedepankan sikap eksklusif dan "memamerkan" kelompok sendiri dengan berbagai jenis
"simbol" dan aksesoris yang mereka asumsikan sebagai "ajaran Islam".
Ada Video Ceramah Prof DR Said Aqil Siradj yang mengatakan, "Ulama-Ulama Otoritatif,
seperti: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali semuanya berbeda dalam
prihal "berdiri" setelah takbir pertama; ada yang berdiri saja, ada juga yang meletakkan
tangannya di dada dan ada juga yang meletakkan kedua tanggannya dekat dagu dan "janggutnya".
Demikian pula, kaum "wahabi" biasanya shalat dengan merapatkan kakinya, seakan-akan menginjak
orang yang shalat disampingnya. Mereka berdalil, jika diantara "shaf" dalam solat berjamaah ada
yang kosong atau celah. Bagi mereka, setan akan leluasa mengganggu shalat kita. Prof Dr Said Aqil
Siradj menambahkan, Kalau setan bisa shalat disamping kita, itu lebih bagus. Setan solat,
itu luar biasa". Saya yang mendengar ceramah Prof Dr Said Aqil Siradj tidak bisa menahan tawa.
Dan Saya pun melihat di video itu, para jamaah mayoritas juga tertawa; bahagia.
Inilah yang saya maksud dengan "membudidayakan "humor", canda tawa dalam berislam.
kalau tidak begitu, hati kita akan kaku, "tegang" dan pikiran kita akan "sumpek"
dan pada akhirnya kita akan sering marah-marah dan menuduh orang lain telah "menista agama".
Seperti beberapa orator di atas panggung yang menanggapi ceramah ini secara emosional
dan mengatakan Sangat "sesat" mengataka Iblis shalat. Padahal, jika kita melihat
keseluruhan isi video itu, Prof Dr Said Aqil Siradj tidak bermaksud mengamini
"iblis yang solat" tetapi ia hanya mengajak orang-orang yang mendengarkan ceramahnya
dalam nuansa "humor" sebagaimana sudah menjadi khas ceramah Kiai-Kiai NU.
Ada juga penceramah Ustad Abdul Somad yang banyak mengisi ceramahnya dengan "humor",
canda tawa yang menghibur jamaahnya. Seperti dalam hal merapatkan shaf shalat.
Ia menukil riwayat Anas Ibn Malik yang mengatakan, "dan sebagian diantara kami merapatkan
shafnya sampai bersentuhan kaki satu dengan yang lain".
Tetapi, Ustad Abdul Somad memasukkan unsur "humor" dengan mengatakan, " kalau ada orang hendak
ditempel kakinya dia menjaauh, ya sudahlah jangan ditempel-tempel lagi kakinya, nanti asik
menempel-nempel kaki saja, gak tahu imam udah sujud pulak". Ini juga bentuk dari berislam
dengan membudidayakan "humor" agar kita bisa terus berpikir "waras" dan tidak emosional.
Demikan pula, Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang memiliki selera humor yang baik.
Pernah dalam suatu riwayat. Saat beliau melakukan "blusukan" ke pasar-pasar.
Dilihatnya seorang sahabat yang berpenampilan sederhana. Nabi pun mendekap/memeluk
sahabat itu dari belakang, menutup matanya dan berkata, "ada yang ingin membeli budak" kata Nabi.
Setelah tahu bahwa yang mendekapnya dari belakang itu Rasulullah. Ia memohon sambil bersedih,
"wahai Rasul saya sudah tua, jikalau dijual pun saya tidak laku. Mohon jangan jual saya".
Kata Sahabatnya.
Rasulullah sambil tersenyum dan melepaskan dekapannya mengatakan,
" engkau, walaupun tidak laku dimata manusia,tapi ketaqwaanmu dan kesalehanmu
sangatlah berarti di mata (dihadapan) Allah swt". Inilah sekelumit kisah
tentang jiwa humor Nabi Muhammad saw.
Kedua, Mahu memaksimalkan potensi akal: Berfikir dan Bernalar dengan benar.
Akal adalah karunia terbesar Allah swt kepada umat manusia. Bagi seorang muslim
memaksimalkan potensi akal adalah sebuah keharusan dan kewajiban. Mengapa?
karena Agama Islam sendiri mendorong pemeluknya untuk menggunakan akal secara benar.
Dalam hal apapun, seorang muslim harus mengunakan akalnya agar pesan maha penting
Allah swt untuk umat manusia bisa dituntaskan. Menjadi khalifah adalah salah satu
tujuan dari penciptaan. Dan kita tidak akan pernah bisa menjadi khalifah dalam artian
pemimpin bumi ini, jika "ogah-ogahan" dalam memaksimalkan potensi akal kita.
Pada zaman "now" banyak orang yang sudah berhenti memaksimalkan potensi akalnya.
Malah mereka menyerang secara "brutal" orang-orang yang hidup dengan mendayagunakan akalnya.
Orang-orang yang minim dan kurang memakai akal sehatnya dikenal dengan nama "kaum sumbu pendek". Mengapa harus "kaum sumbu pendek" karena pendeknya sumbu membuatnya mudah terbakar. Begitula tamsil nyata orang-orang yang mudah terpancing emosinya dalam beragama.
Demikian pula, ada juga istilah "kaum pentol korek" dinamakan "kaum pentol korek"
karena ibarat pentol korek, punya kepala tapi tidak punya otak. Digesek sedikit
langsung api pun menyala. Sehingga jika ada orang yang memainkan isu-isu yang bisa
menyinggung agama mereka, seketika mereka akan marah "menyala" ibarat pentol korek
yang cepat terbakar. Emosi yang tidak terkendali ini sebenarnya yang bisa memproduksi
"candu kebencian" yang bisa merugikan orang lain. Sehingga, tidak ada ruang lagi
bagi orang-orang yang terlanjur dibenci untuk bermediasi atas setiap permasalahan
yang sudah terjadi. Padahal, bermediasi adalah ajaran yang baik dan sangat sesuai
dengan semangat zaman modern, di mana orang lebih mengedepankan perdamaian
daripada pertikaian yang berlarut-larut.
Sebagai penutup dari tulisan ini, kita harus belajar menghargai orang lain. Perbedaan
pandangan keagamaan janganlah membuat kita kehilangan kontrol terhadap diri kita.
Apalagi membuat kita kehilangan kesadaran hingga akhirnya terjangkit penyakit "candu kebencian". Jika ini terjadi, bisa dikatakan kita akan kehilangan jiwa kemanusiaan kita. Manusia dinamakan manusia karena memiliki akal. Ketika akal dibiarkan tidak berfungsi, dianggap mati; saat itulah kita telah kehilangan sebutan sebagai manusia. Manusia yang tidak menggunakan akalnya, sangat mungkin disebut "gila" dan tidak berguna.
Dalam mendayagunakan akal, kita juga perlu memberhatikan kondisi batin dan jiwa kita.
Jangan pernah menuduh orang lain menyimpang, sesat, kafir dan liberal. Sementara kita
sendiri belum mengetahui sepenuhnya jalan agama yang mereka jalani. Kita harus menyadari
kebenaran manusia tidak bersifat mutlak (abadi) berbeda dengan kebenaran versi Allah swt
yang abadi sampai kapanpun. Jadi, bukanlah hak kita memvonis orang lain dengan label
yang "bombastis sesat" cukup Allah swt saja yang menilai segala perbuatan kita di dunia ini.
Akhir kata, mari kita tinggalkan sikap "candu kebencian". Jangan sampai hidup kita tidak
bahagia karena kebencian yang sudah terlalu lama bersemayam di relung jiwa dan hati kita.
Semoga bermanfaat
Robby Andoyo