Agama adalah nasihat. Itu hadis Nabi Muhammad saw. Jadi, nasihat adalah semacam mutiara yang sangat berarti dalam kehidupan orang beri...
Agama adalah nasihat. Itu hadis Nabi Muhammad saw. Jadi, nasihat adalah semacam mutiara yang sangat berarti dalam kehidupan orang beriman.
Tapi, di era moderen ini, begitu banyak orang yang sudah melupakan mutiara berharga dari konsep beragama ini.
Ajaran agama yang seharusnya di gaungkan dengan akhlak yang baik dan penuh dengan kasih sayang. Seolah-olah telah menjelma dan bertransformasi menjadi begitu rigid, kasar dan tidak mencerminkan keluhuran akhlak dan budi pekerti.
Atasnama agama, caci dan makian sering sekali menjadi pembenar dalam menyikapi konflik diantara kita.
Akhir-akhir ini perilaku tidak terpuji: persekusi telah mewabah dalam interaksi sosial kita.
Akhir-akhir ini perilaku tidak terpuji: persekusi telah mewabah dalam interaksi sosial kita.
Setiap kelompok membentuk aliansinya sendiri-sendiri. Orang-orang yang cenderung beraliran kiri "left-wing" menuduh orang yang agak ke kanan "right-wing" sebagai kelompok menyimpang dan harus dijauhi.
Begitu pula sebaliknya, mereka yang berada pada kelompok kanan menvonis golongan kiri sebagai kelompok yang bermasalah dan harus dihindari.
Akibatnya, polarisasi yang terjadi pun semakin tidak bisa dibendung. Masing-masing kelompok merasa paling benar dengan menuduh pihak lain sebagai kelompok yang menyimpang. Situasi ini semakin mengkhawatirkan setelah beberapa politikus jahat mempolitisasi agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan mereka.
Adapun dampak dari "kubu-kubuan" semacam ini membuat kita melupakan tujuan kita beragama. Beragama yang seharusnya membuat kita lebih "ambil berat" atau peduli dengan derita yang dialami orang lain, malah membuat kita menampilkan sikap yang buruk dan menyeramkan. Inilah sikap yang sudah saatnya kita buang jauh-jauh ke dalam dasar samudera hasrat kebinatangan dalam jiwa kita.
Jika tidak, bisa dipastikan kita akan menjadi budak terhadap hawa nafsu dan amarah yang terpendam dalam jiwa kita sendiri.
Ada kaitan yang erat antara Islam sebagai sebuah nilai universal dan rasa terimakasih kita terhadap dunia; yang semakin hari kian meredup. Dunia saat ini sudah banyak berubah. Bahkan perubahan yang saat ini kita rasakan sudah mencapai tingkat "dewa" dalam artian begitu menakjubkan.
Mari kita ambil contoh, beberapa abad yang silam pola komunikasi antar manusia hanya bisa dilalui dengan cara tradisional/ortodoks. Sangat kontras dengan realitas yang terjadi saat ini. Internet telah merubah segala Interaksi kita menjadi lebih cepat dan tidak terbendung lagi.
Facebook saat ini bisa dikatakan telah merajai dunia media sosial. Terlebih setelah diakuisinya WhatsApp dan Instagram yang saat ini memilki fitur-fitur yang canggih dan kekinkan. Sudah rahasia umum bahwa pemilik Facebook adalah non-Muslim. Dialah Mark Zuckerberg sosok yang berpengaruh dalam perusahaan ini. Ia beretnis Yahudi tapi memiliki wawasan global yang sangat dibutuhkan di era moderen.
Dalam banyak kesempatan, Mark sering sekali menulis tentang bagaimana cara membuat dunia ini semakin dekat dengan kita. Artinya, Mark Zuckerberg ingin selama hidup ini kita sanggup membumikan nilai-nilai kemanusiaan untuk kemaslahatan semua umat manusia.
Oleh sebab itu, gagasan-gagasannya bisa dikatakan sangat progresif dan layak untuk dikembangkan. Kita tentu patut berterimakasih kepada Facebook. Inilah yang Islam ajarkan kepada kita. Maka tidak salah jika terdapat narasi hadis yang menyatakan,
"Barangsiapa yang tidak berterimakasih kepada manusia, maka ia belum berterimakasih kepada Tuhannya".
Narasi hadis ini hendaknya bisa membuat kita lebih peduli dengan pentingnya sebuah gagasan bersama dalam mengapresiasi setiap pengorbanan yang orang lain berikan kepada kita. Walaupun ia bukan saudara kita dalam keimanan, tapi seperti yang Imam Ali Rahimahullah katakan,
"Mereka yang bukan saudaramu dalam keimanan, adalah saudaramu dalam kemanusiaan".
Ungkapan ini bisa dikatakan sangat Kontektual di era millennial ini. Era Baru "new era" yang kita ketahui merupakan suatu masa; di mana menghilangkan sekat-sekat suku, ras dan agama adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dimaksudkan agar dunia yang menjadi rumah kita saat ini bisa semakin baik, kondusif, aman, tenteram dan jauh dari konflik serta ancaman-ancaman yang dapat membahayakan keberlangsungan hidup umat manusia di bumi ini.
Beberapa waktu yang lalu sejumlah ormas keislaman beraliansi secara terbuka dan bersama-sama dalam menolak kezaliman Facebook. Tagar di Twitter pun tidak lepas dari aksi "bombastis" perjuangan kelompok ini.
Salah satu pemicu lahirnya gerakan ini tidak lain adalah kebijakan Facebook yang secara tegas memblokir permanen sejumlah account Organisasi Keislaman yang memiliki model dakwah "offensive" tidak kenal istilah mediasi.
Facebook menilai, sejumlah konten-konten yg dimuat di fans Page organisasi terkait banyak menyinggung etnis, suku, agama dan kelompok tertentu. Hal seperti ini yang dianggap telah melanggar kode etika/aturan kebijakan Facebook selama ini.
Tidak sampai disitu saja. Kelompok ini juga sering sekali menginiasi upaya-upaya "boycott" terhadap produk tertentu yang dianggap berkonspirasi untuk melawan model dakwah mereka.
Jika kita mau jujur, perilaku dan aksi "boycott" ini sebenarnya masih terkesan "abu-abu" atau tidak konsisten. Misalnya, orang beramai-ramai hendak memboycott produk yahudi karena konflik yang terjadi di Palestina. Maka muncullah daftar-daftar produk yang divonis telah memberi dukungan finansial terhadap penjajah Palestina.
Apakah vonis semacam ini benar? atau ini hanya upaya "cocoklogi" saja tanpa ada bukti dan fakta yang jelas. Sudah waktunya kita "waras" atau kembali pada jalan kesadaran. Jangan pernah mengimpor konflik negara lain ke dalam Negara kita sendiri.
Jika memang orang beragama atau etnis tertentu dizalimi di negaranya sendiri, itu tidak menjamin konflik mereka murni persoalan agama. Justru yang terjadi faktor politik seringkali mempertajam permasalahan dan membuat konflik semakin panas.
Banyak orang yang melakukan aksi boycott produk yahudi tapi mereka lupa, hidup mereka dikelilingi oleh inovasi teknologi bangsa ini. Kita seringkali "menyapu rata" setiap orang yahudi itu jahat;anti Islam.
Padahal orang jahat bukan hanya ada pada orang Yahudi saja tapi juga ada dalam etnis, agama yang dan bangsa lain.
Sebagai penutup, Bumi adalah rumah kita bersama. Allah swt memberi kita mandat untuk memakmurkan bumi dan melestarikan alam ini. Hal ini dilakukan agar rumah bersama ini tidak rusak dan mengalami kehancuran global.
Pada zaman sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang sedemikian rupa. Dan banyak orang-orang yang andil dalam melestarikan alam ini adalah orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan kita.
Sebagai muslim kita patut berterimakasih. Karena berterimakasih adalah bagian dari ajaran agama ini.
Telpon genggam yang ada ditangan kita saat ini juga banyak diproduksi oleh orang-orang non-Muslim. Belum lagi sejumlah aplikasi Android yang dapat memudahkan pola komunikasi kita juga merupakan hasil karya mereka. Kita harus berterimakasih atas itu semua.
Memang, mereka tentu mendapatkan pundi-pundi uang yang banyak dari setiap produk yang dijual. Tapi berkat mereka kita bisa selalu "stay connected" dan bersilaturahim kepada saudara-saudara kita yang dibatasi oleh jarak yang cukup jauh.
Mari kita berterimakasih kepada siapapun yang sudah memberikan sumbangsih teknologi di era milenial ini. Bukan malah mencurigai mereka dengan sejumlah dalih-dalih fiktif yang bersumber dari kadangkalan wawasan dan kejumudan berpikir dan bernalar kita selama ini.
Semoga bermanfaat
Robby Andoyo