Bukan saja hidup harus kita jalani dengan keceriaan, tapi orang beragama harus bisa menjalani agamanya dengan ceria dan bergembira. Apa...
Bukan saja hidup harus kita jalani dengan keceriaan, tapi orang beragama harus bisa menjalani agamanya dengan ceria dan bergembira. Apa yang terjadi saat ini, adalah begitu banyak orang beragama dengan amarah, benci, dendam dan hanya memanfaatkan agama untuk tujuan temporal yang negatif. Tidak perlu kita mengambil contoh jauh-jauh. Cukup bagi kita melihat apa yang hadir disekitar kita, begitu mudahnya orang beragama menipu dengan “embel-embel syariat”.
Misalnya, pada kasus yang cukup lama sekali; tentang sebuah perusahan First Travel yang begitu banyak merugikan jutaan Umat Islam sebagai patner bisnisnya. Ada juga Sebuah perusahaan investasi bodong yang mengatasnamakan Invertasi berbasis syariah. Berupa kredit perumahan-perumahan murah dan menguntungkan. Dan yang terjadi, semua itu hanyalah kepalsuan yang bertujuan untuk memanfaatkan kesadaran dan semangat umat Islam dalam menjalankan syariat.
Karena itu, Saya ingin menunjukkan bagaimana cara beragama dengan ceria. Adapun yang dimaksud dengan “ceria” disini, bukan beragama tanpa melewati prosedur yang sudah ditetapkan oleh aturan-aturan dalam beragama. Tapi, yang Saya maksud beragama dengan ceria ini, lebih kepada pengamatan terhadap bagaimana orang Islam saat ini membawa agama yang mereka anut bersahabat dengan peradaban dan adat-istiadat masyarakat modern.
Sebagai contoh, Saat ini, salahsatu Trending Music Youtube Indonesia adalah sebuah Music Video dari Chanel Putih Abu-Abu. Adapun lagu yang mereka modifikasi adalah lagu Boyband BTS Boy With Luv. Lirik yang mereka rubah cukup baik. Dimana pesan-pesan yang hadir dalam lirik lagu tersebut sarat dengan nilai religiusitas yang tinggi. Boy With Luv versi Hijrah ini diberi judul Ngaji Qur’an. Lirik ini bercerita tentang ajakan untuk belajar mengaji dengan ustadz di masjid.
Disamping itu juga, ada keutamaan membaca Al-Quran seperti menambah keimanan, hati menjadi tenang dan bisa menjadi penerang kita dalam kuburan. Inilah yang menurut saya salah satu cara beragama dengan ceria. Memodifikasi unsur-unsur budaya orang lain dan memodifikasinya agar relevan terhadap semangat umat beragama. Sikap memodifikasi budaya asing seperti ini seharusnya dijadikan pertimbangan dalam berdakwah. Bukan malah menjadikan budaya asing sebagai musuh bahkan menjustifikasi budaya-budaya dan trend dari Negara lain sebagai budaya “kafir” dan harus dihindari sama sekali.
Misalnya, Seorang penceramah yang memfatwakan menonton Film Korea dan menggemari K-PoP hukumnya haram. Dengan dalil, orang-orang Korea Tidak sunat dan mandi wajib. Jika yang diharamkan adalah prilaku berlebih-lebihan dalam menonton korea dan sikap “ghulu” cinta berlebih-lebihan masih bisa diterima. Tapi untuk mengharamkan sepenuhnya itu tidaklah tepat. Karena persoalan akidah harus dibedakan dengan produk budaya.
Music jenis apapun adalah produk budaya. Karena itu tidak layak diharamkan. Tetapi, Music dengan jenis apapun, jika dimodifikasi dengan baik dan sarat dengan nuansa religiusitas yang menakjubkan bukanlah sebuah kesia-siaan tapi akan sangat bermanfaat bagi orang lain sekaligus bisa menyadarkan semangat beragama kita semua. Bukan malah mengganggap setiap budaya asing adalah “wasilah” sarana untuk melalaikan umat dalam beribadah.
Sebagai penutup, mari kita beragama dengan ceria. Ceria dalam artian tidak terpaku dengan cara beragama klasik yang terkadang tidak lagi selaras dengan semangat zaman. Misalnya, Jika dahulu untuk belajar Ilmu agama seorang harus mendatangi seorang guru walaupun harus menempuh perjalanan yang panjang, tapi saat ini, perkembangan zaman dan teknologi membuat semuanya semakin mudah.
Kita bisa belajar dan berguru melalui media online seperti fitur Livestreaming di Facebook. Bahkan Kiai-kiai besar dari Nadlahtul Ulama saat ini banyak yang melakukan pengajian melalui Livestreaming Facebook. Seperti Kiai Bisri Mustofa, Prof. Said Aqil Siradj dan masih banyak lagi.
Menurut Saya, Tradisi pengajian seperti ini harus senantiasa diperluas dan dikembangkan. Karena, jika pengajian hanya disaksikan oleh orang yang hadir diacara tersebut. Dampak dan pengaruhnya tidak akan besar jika dibandingkan dengan pengajian yang menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menyebarkan dakwah yang lebih luas. Apalagi saat ini. Dunia media sosial sudah banyak dibombardir oleh para pengajar agama yang tidak memiliki otoritas dalam mengajarkan agama. Mereka adalah orang-orang yang belajar agama dengan serampangan, tidak mengerti Ilmu tafsir, Hadist, Fiqh apalagi Usul Al-Fiqh tapi berusaha berfatwa yang menimbulkan kericuhan ditengah-tengah masyarakat.
Semoga Bermanfaat
Robby Andoyo
