Imam Ghazali dalam Bukunya Ihya Ulumuddin menjelaskan secara terperinci tentang bahaya-bahaya yang mengancam lisan manusia. Salah satu bahay...
Imam Ghazali dalam Bukunya Ihya Ulumuddin menjelaskan secara terperinci tentang
bahaya-bahaya yang mengancam lisan manusia. Salah satu bahaya yang dijelaskan
Imam Ghazali iaitu: Bahaya lisan ke-6 "Attaqaur Fil Kallami Bi Tassaduqi"
mendalam-dalami perkataan tanpa substansi dengan mulut berbusa-busa. "Qa'run"
sendiri bermakna bagian yang terdalam dari sumur.
Artinya, prilaku berlebih-lebihan dalam berkata-kata tanpa adanya
substansi yang jelas merupakan bahaya lisan yang mengancam diri manusia.
Adapun "Attaqaur" mendalam-dalami perkataan disini harus dipahami secara kontekstual.
Hal ini agar tidak disalahpamahi. Misalnya, seorang pemuda yang sedang melakukan
resepsi pernikahan dalam adat melayu, biasanya mendalam-dalami perkataan dengan
melantunkan sebuah puisi dan kata-kata artistik. Atau seorang yang berprofesi
sebagai MC dalam suatu acara besar cendrung "all Out" dalam berbicara;berbasa-basi
untuk menghidupkan suasana. Hal seperti ini diluar dari konteks "attaqaur"
yang dijelaskan Imam Ghazali.
Berkata-kata secara "artificial" dibuat-buat dalam konteks berbagi ilmu pengetahuan
merupakan "attaqaur" yang wajib dihindari. Terkadang seseorang dengan sengaja berbicara
dengan bahasa sastra dan artistik hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya memiliki
kemampuan bahasa yang luar biasa. Sehingga dengan itu ia seolah-olah melakukan
"pressure" tekanan terhadap lawan berbicaranya. Ini adalah sikap yang tidak berakhlak
yang harus kita hindari. Karena sebenarnya, Ilmu pengetahuan itu bukan soal seberapa
indah kata-kata yang kita miliki, tapi lebih kepada esensi ilmu yang terucap dari lisan
dan hati yang tulus.
Bangsa Arab sendiri mempunyai ciri khas berbicara panjang lebar. Oleh karena itu, kita
melihat begitu banyak narasi dari hadist-hadist Nabi Muhammad SAW yang menekankan
pentingnya menjaga lidah.
Nabi Muhammad SAW bersabda,
" Inna Shaqassiqa Kallami min Shaqassiqa Shaitaan"
Artinya, Sesungguhnya Berbicara/berkata-kata berbusa-busa tanpa esensi
adalah manifestasi dari sikap syaitan dalam berbicara".
Jadi, memaksakan berbicara terlalu banyak tanpa berpikir logis dan substantif
akan menyebabkan narasi yang telah dibangun dengan sedemikian rupa tidak bermanfaat dan rusak.
Inilah sebab mengapa berfikir sebelum berbicara merupakan sebuah keniscayaan yang wajib kita
praktikkan dalam hidup.
Sebuah Hadist juga diriwayatkan oleh Fatimah RA.
" Shiraru Ummati Alladzina Ghadzu binnaimi, ya'kulluna alwana ta'ami,
Wa yalbasuna Alwana atsiabi wa Yatashaddaquna fi Kalami"
Artinya, Paling jelek diantara umatku adalah orang-orang yang diberi nikmat,
menikmati segala jenis makanan, berpakaian berlebih-lebihan dan berbusa-busa
dalam berbicara.
Dalam menjelaskan hadist ini, Imam Ghazali seakan-akan memberikan kita pesan penting
tentang cara menjalani hidup. Menurut pemahaman Imam Ghazali, Hidup yang kita jalani
harus dibangun dari narasi "Qadra Al-hajati" Sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya,
kita mungkin bisa membeli segala hal karena memiliki kemampuan finansial yang baik.
Tapi orang beriman adalah orang yang hidup dengan sederhana;tidak berlebih-lebihan.
Nabi Muhammad SAW pada dasanya juga menyeru umatnya untuk hidup dengan sederhana
dan jauh dari sikap boros;bermewah-mewah tanpa tujuan yang jelas. Bahkan pada suatu
waktu, Nabi Muhammad SAW pernah menolak pemberian pakaian mewah dari orang lain;
dengan cara enggan menggunakannya lalu memberikan pakaian mewah itu kepada orang lain.
Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menyuruh orang menyingkirkan
gambar-gambar dari pakaian-pakaian mewah yang digunakan ketika shalat.
Mengapa Nabi Muhammad SAW mengambil tindakan seperti itu?
Itu semua karena pada masa Nabi Muhammad hidup, Umat Islam masih pada masa perjuangan.
Nabi Muhammad tidak ingin Umat Islam lepas kendali dan memiliki sikap melampaui batas.
Sikap "qadral Hajati" terkontrol/terkendali dalam segala hal merupakan ajaran islam
yang tersirat dan sangat penting untuk dipratikkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Inilah sebenarnya laku sufi yang mampu membebaskan kita dari larut dalam kubangan
kehidupan material yang menjerat hati kita.
Sebagai penutup, Mari kita berpikir sebelum berkata-kata. Artinya, setiap kata yang hadir
hendaklah kita analisa dengan pikiran yang jernih. Bahkan Nabi Muhammad SAW sangat
menentang sikap berbicara berlebih-lebihan tanpa substansi yang jelas. Bukan hanya berbicara
diluar batas saja, Nabi Muhammad SAW juga melarang umatnya untuk menjalani laku hidup
yang hedonis;berorientasi pada kesenangan dan kemewah-mewahan semata.
Sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok cerdas yang mampu memprediksi apa yang
akan terjadi dimasa depan. Selain Nabi SAW juga diberi kemampuan berupa Wahyu dari Allah;
Nabi sendiri juga orang yang memiliki sisi kalkulasi masadepan yang tinggi.
Misalnya, Nabi Muhammad memprediksi bahwa agama Islam pada akhirnya akan menguasai
emperium-emperium besar di Eropa. Prediksi Nabi Muhammad SAW pada akhirnya terbukti.
Karena itu, untuk mengimbangi kemewahan dunia material yang diperoleh dari kemenangan
politik. Nabi memberi pesan umatnya untuk tidak larut dalam sikap berlebih-lebihan.
karena orang yang tidak bisa mengendalikan diri dengan kebutuhan konsumtif, pada
akhirnya akan menyesali segala perbuatannya.
Robby Andoyo