Dalam tradisi keilmuan Islam, Imam Syafi’i bukan hanya dikenal sebagai pendiri mazhab fiqih yang sangat berpengaruh, tetapi juga sebagai sos...
Dalam tradisi keilmuan Islam, Imam Syafi’i bukan hanya dikenal sebagai pendiri mazhab fiqih yang sangat berpengaruh, tetapi juga sebagai sosok sufi yang lembut dan pemikir yang tajam. Nasehat-nasehatnya tidak hanya berbobot secara intelektual, tetapi juga merasuk ke dalam ruang batin manusia. Berikut ini tujuh nasihat Imam Syafi’i yang dapat dijadikan lentera dalam menapaki hidup yang fana.
1. “Jika lelah belajar, bersiaplah menanggung pedihnya kebodohan”
Ilmu menuntut perjuangan. Maka tak mengherankan jika Imam Syafi’i berkata:
"مَن لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً تَجَرَّعَ ذُلَّ الْجَهْلِ طُولَ حَيَاتِهِ"
Barang siapa tidak sanggup merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan menanggung hinanya kebodohan seumur hidup.
Al-Qur’an memberikan dorongan serupa:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Az-Zumar: 9)
2. “Banyak orang masih lalai, padahal kain kafannya sedang ditenun”
Waktu tidak akan pernah kembali. Imam Syafi’i mengajak untuk merenungi kematian sejak dini.
"كَمْ مِنْ سَاهٍ وَكَفَنُهُ يُنْسَجُ وَهُوَ لَا يَدْرِي "
Berapa banyak orang lalai, padahal kain kafannya sedang ditenun dan ia tak menyadarinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ
"Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (yakni kematian)." (HR. Tirmidzi)
3. “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman”
Perjalanan membuka cakrawala. Ulama-ulama besar lahir dari proses hijrah ilmu.
"طُوبَى لِغُرَبَاءِ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ"
Bahagialah orang asing yang mencari ilmu (HR. Abu Nu’aim, al-Hilyah)
Imam Syafi’i menulis:
"اغْتَرِبْ تَجِدْ عِوَضًا عَمَّنْ تُفَارِقُهُ"
Merantaulah, niscaya akan kau temui pengganti dari yang engkau tinggalkan.
4. “Siapa ingin akhir yang baik, bersangkalah baik kepada manusia”
Husnuzhan menjadi pondasi adab dalam pergaulan sosial. Imam Syafi’i tidak hanya berbicara hukum, tetapi juga akhlak sosial.
Al-Qur’an memperingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa." (QS. Al-Hujurat: 12)
5. “Ilmu bukan yang dihafal, tapi yang memberi manfaat”
Penguasaan ilmu tidak diukur dari banyaknya hafalan, tetapi pada manfaatnya dalam kehidupan. Imam Syafi’i menekankan esensi ilmu yang berdampak.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama." (QS. Fathir: 28)
6. “Siapa menasihati secara diam-diam, sungguh ia telah menasihati”
Budaya menasihati dalam Islam harus diiringi adab. Imam Syafi’i menolak tradisi mencela di depan umum.
"مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ"
Siapa yang menasihati saudaranya secara sembunyi, maka ia telah menasihatinya dan menghiasinya. Tapi siapa menasihatinya terang-terangan, ia telah membongkarnya dan mempermalukannya. (HR. Baihaqi)
7. “Jadikan akhirat di hati, dunia di tangan, dan kematian di pelupuk mata”
Keseimbangan hidup dalam Islam selalu dimulai dari orientasi yang benar.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
"Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan lupakan bagianmu dari dunia." (QS. Al-Qasas: 77)
Imam Syafi’i tidak mengajak hidup zuhud secara kering, tetapi mendorong untuk menghadirkan dunia dalam bingkai akhirat.
Penutup
Tujuh mutiara hikmah Imam Syafi’i ini menjadi jejak keteladanan bagaimana ilmu bukan sekadar hafalan, tetapi kearifan yang terinternalisasi dalam laku hidup.
Kang Robby