Mengaji Ihya Ulumuddin bukanlah sekadar kegiatan intelektual atau rutinitas santri di pesantren. Ia adalah sebuah ziarah spiritual yang mend...
Mengaji Ihya Ulumuddin bukanlah sekadar kegiatan intelektual atau rutinitas santri di pesantren. Ia adalah sebuah ziarah spiritual yang mendalam, sebuah upaya menapaki jalan kesucian batin dalam rangka membangun peradaban yang berbasis pada kebeningan hati, kesadaran moral, dan kebajikan universal. Di tengah bisingnya dunia modern yang penuh hiruk-pikuk digital dan kekosongan makna, karya monumental Imam al-Ghazali ini hadir sebagai pelita yang menuntun pada kedalaman eksistensial manusia.
Menghidupkan Kembali Ruh Agama
Imam al-Ghazali menulis Ihya dalam suasana kegelisahan spiritual yang mendalam. Ia melihat bahwa ilmu keislaman kala itu mulai kehilangan ruhnya, hanya berhenti pada formalitas hukum dan perdebatan teologis yang kering. Melalui Ihya, ia mengajak pembaca untuk kembali pada esensi agama: penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), keikhlasan, zuhud, cinta kepada Allah, dan akhlak mulia.
Firman Allah dalam QS al-Syams ayat 9–10 menegaskan urgensi dari proyek ini:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
Ayat ini menjadi fondasi spiritual dari setiap bab dalam Ihya. Tujuan akhirnya bukan sekadar mengetahui, tetapi mengalami: merasakan kehadiran Ilahi dalam seluruh aspek kehidupan.
Kritik, Sanad, dan Relevansi
Sebagian kalangan mungkin mempertanyakan validitas hadis dalam Ihya, karena sebagian bersumber dari riwayat yang lemah. Namun penting untuk dipahami bahwa al-Ghazali tidak sedang menyusun kitab hadis. Ia menyusun peta perjalanan ruhani, di mana kekuatan utama bukan terletak pada kekakuan sanad, tetapi pada dampak transformasional terhadap batin manusia.
Inilah yang membedakan pendekatan Ihya dengan kitab fiqh atau tafsir klasik lainnya. Ia menyentuh dimensi terdalam manusia. Setiap bab-nya seperti cermin: memperlihatkan wajah batin yang kadang kusam oleh nafsu duniawi, lalu membersihkannya dengan cahaya ma’rifat.
Tasawuf dalam Dunia Modern
Dalam lanskap sosial hari ini, manusia mengalami krisis eksistensial. Disorientasi makna, kehilangan arah hidup, dan keterasingan batin menjadi penyakit peradaban. Maka kehadiran Ihya sangat relevan. Ia bukan hanya teks klasik, tapi panduan kontemporer untuk menemukan jati diri sejati.
Praktik seperti muraqabah (kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi), muhasabah (introspeksi diri), dan uzlah (menyendiri dalam keheningan) sangat aplikatif untuk melawan kelelahan mental zaman digital. Ihya bukan mengajak lari dari dunia, tapi menyucikan diri agar mampu hadir secara utuh di dalam dunia.
Membaca Sebagai Dialog, Bukan Dogma
Mendekati Ihya harus dengan sikap terbuka: bukan sekadar menerima secara pasif, tapi berdialog secara aktif. Teks ini menantang pembacanya untuk bertanya, merenung, dan menemukan sendiri makna terdalam dari hidup. Di sinilah spiritualitas Islam tampil sebagai kekuatan intelektual yang menyinari zaman.
Hadis Nabi Muhammad ﷺ menguatkan arah pembacaan ini:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Dengan perspektif ini, mengaji Ihya menjadi proyek spiritual yang mencerahkan sekaligus membebaskan. Ia mengembalikan agama pada hakikatnya: sebagai jalan menuju keindahan moral dan kemuliaan ruhani.
Menuju Peradaban Spiritual
Ihya Ulumuddin bukan sekadar kitab. Ia adalah proyek besar dalam membangun peradaban spiritual. Peradaban yang tidak hanya ditopang oleh sains dan teknologi, tetapi juga oleh kearifan batin, ketulusan hati, dan panduan etis yang mendalam.
Dalam dunia yang kering makna, membaca Ihya adalah oase. Dalam masyarakat yang berisik, ia adalah keheningan yang menghidupkan. Dalam zaman yang penuh ilusi, ia adalah cahaya yang menyingkap kebenaran terdalam: bahwa hidup ini bukan soal memiliki, tetapi soal menjadi.
Dan menjadi manusia seutuhnya, tak lain adalah menjadi hamba yang mengenal Tuhannya, menyucikan jiwanya, dan membawa damai bagi semesta.