Dalam bentangan jagat raya yang demikian luas, manusia tampak begitu kecil dan tak berarti. Ukuran tubuh manusia tak sebanding dengan luas g...
Dalam bentangan jagat raya yang demikian luas, manusia tampak begitu kecil dan tak berarti. Ukuran tubuh manusia tak sebanding dengan luas galaksi Bima Sakti, apalagi dengan gugusan semesta yang tak terjangkau batasnya.
Namun, apakah karena kecilnya manusia, lantas perhatian Tuhan menjadi mustahil diberikan padanya? Justru dalam tradisi Islam, makna dan tanggung jawab jauh lebih utama ketimbang ukuran semata.
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:
"قلب الإنسان قد يكون أوسع من السماء والأرض إذا عرف ربه"
"Satu hati manusia bisa lebih luas dari langit dan bumi, bila ia mengenal Tuhannya."
Pandangan ini sejalan dengan pemahaman tasawuf yang menekankan bahwa dimensi spiritual dan kapasitas etis manusia melampaui batas-batas fisik tubuhnya. Dalam Islam, manusia diposisikan bukan sebagai makhluk sembarangan, tetapi sebagai pemikul amanah dan wakil Tuhan di muka bumi.
Al-Qur'an menegaskan:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu."
(QS. Al-A'raf [7]: 156)
Rahmat Tuhan bukan hanya turun kepada makhluk besar seperti langit dan bumi, tetapi juga kepada manusia yang kecil ini. Sebab manusia adalah bagian dari "segala sesuatu" itu.
Lebih lanjut, manusia mendapat kehormatan karena mampu memilih dan bertanggung jawab. Ia diberi akal, kehendak, dan kesadaran untuk membedakan antara benar dan salah.
Al-Qur'an kembali menegaskan:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ
"Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah ini kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, namun mereka enggan memikulnya dan merasa takut terhadapnya, lalu manusia-lah yang memikulnya."
(QS. Al-Ahzab [33]: 72)
Kutipan ini menunjukkan betapa istimewanya posisi manusia dalam kosmos penciptaan. Ia berani mengambil amanah yang bahkan makhluk besar lainnya enggan memikul.
Dalam tasawuf, yang penting bukan seberapa luas alam semesta, tapi seberapa luas hati manusia menyerap makna kehadiran-Nya. Ini adalah bentuk dari teologi Islam tentang makna keberadaan manusia. Ukuran jasmani tidak menentukan nilai eksistensial. Justru, kemampuan hati manusia untuk mencintai, memahami, dan menyadari kehadiran Ilahi menjadi kunci utama.
Kesimpulan
Alam semesta memang besar. Tetapi ukuran bukanlah penentu makna. Dalam perspektif Islam, manusia menjadi pusat perhatian Tuhan bukan karena besarnya tubuh atau kapasitas material, tetapi karena akal, tanggung jawab, dan pilihan moralnya. Ia makhluk kecil yang mampu menanggung amanah besar. Karena itulah, meski kecil secara fisik, manusia adalah makhluk yang paling layak menerima perhatian dan rahmat Ilahi.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."
(QS. At-Tin [95]: 4)
Manusia itu kecil, tapi pertanyaan dan kesadarannya membuatnya istimewa. Ia mampu bertanya, "Mengapa aku ada?" Dan dari sanalah perjalanannya bermula menuju makna sejati hidupnya.
Penulis: Tim Editorial Blog Kang Robby
Referensi: Al-Qur'an, Hadis Shahih, Ihya Ulumuddin, Tafsir Al-Maraghi.