Zaman yang Bergulir, Manusia yang Angkuh Zaman yang Bergulir, Manusia yang Angkuh: Tafsir Sosial atas Perjala...
Zaman yang Bergulir, Manusia yang Angkuh: Tafsir Sosial atas Perjalanan Peradaban
1. Zaman Berubah, Manusia Mengulang
Zaman tidak pernah berhenti berjalan. Selama bumi masih berotasi pada porosnya, perubahan akan menjadi niscaya. Namun, manusia seringkali gagal belajar dari perubahan itu sendiri. Mereka membangun masa depan dengan teknologi, tetapi tetap menanamkan benih kesombongan yang sama dari masa lalu.
"Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu." (QS. Ali Imran: 185)
2. Alam Rusak karena Ulah Tangan Manusia
Banjir, longsor, gempa, dan krisis iklim bukan sekadar gejala alamiah. Ia adalah hasil dari kerakusan manusia yang merusak keseimbangan ekologis demi kepentingan sesaat.
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia..." (QS. Ar-Rum: 41)
3. Zaman dan Keangkuhan Pikiran
Ironi besar di abad ke-21 ini adalah ketika manusia berpikir modern, namun bermental purba. Padahal Tuhan telah menegaskan:
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal." (QS. Al-Hujurat: 13)
4. Dua Sumbu Keangkuhan Zaman
Manusia tidak hanya sombong dalam tindakan, tetapi juga dalam pola pikir. Setidaknya, ada dua arus besar keangkuhan dalam merespons zaman:
A. Fundamentalisme-Konservatif Radikal
Ini adalah sikap yang menolak perubahan zaman dan menganggap teks keagamaan sebagai instruksi literal yang tidak boleh ditafsir. Filsuf besar Islam, Ibn Rusyd, pernah berkata:
"Jika wahyu bertemu akal, maka keduanya akan saling menegaskan. Jika keduanya tampak bertentangan, maka pasti akal kita yang belum mencapai makna batin dari wahyu."
B. Progresivisme-Liberal Radikal
Kebalikan dari kelompok sebelumnya. Mereka mengagungkan zaman, bahkan menempatkan sejarah manusia lebih tinggi daripada wahyu.
"Dan Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi celaka." (QS. Thaha: 2)
5. Spirit Inklusif: Jalan Tengah yang Terlupakan
Rumah ibadah bukan arena propaganda, melainkan ruang sakral membangun nurani. Nabi bersabda:
“Seorang Muslim adalah yang tidak mengganggu Muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari & Muslim)
6. Mengembalikan Tujuan Keberadaan Kita
Kita bukan Tuhan. Kita adalah khalifah di bumi.
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi." (QS. Al-Baqarah: 30)
7. Menjadi Manusia yang Menyadari Fitrahnya
Jangan takut berbeda. Kembalilah pada fitrah.
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu." (QS. Ar-Rum: 30)
8. Tawassuth: Nilai yang Harus Diarusutamakan
Moderasi adalah kekuatan spiritual, bukan kelemahan sosial. Sikap moderat (tawassuth) bukan berarti lunak, tapi bijak dalam membaca realitas.
9. Penutup: Jangan Terlena oleh Zaman
"Janganlah engkau menjadi budak zaman. Jadilah anak zaman yang menciptakan makna bagi zamannya."
Kita tidak sedang melawan zaman, tapi sedang mencari arah. Maka, beribadahlah dengan penuh keinsafan, berpikirlah dengan akal sehat, dan berbuatlah demi kemanusiaan.
Sebab pada akhirnya, bukan dari mana kita berasal yang menjadi ukuran, melainkan apa yang telah kita lakukan sebelum kematian datang mengetuk pintu.
Robby Andoyo
Blog Kang Robby — Edisi Refleksi Zaman
“Menulis untuk merawat kewarasan dan menyemai pemikiran.”