Tantangan Berijtihad di Era Modern Tantangan Berijtihad di Era Modern Penulis...
Tantangan Berijtihad di Era Modern
Penulis: Robby Andoyo
Abstrak
Era modern memperlihatkan dinamika kehidupan umat Islam yang belum pernah dibayangkan oleh para fuqaha klasik. Perkembangan kecerdasan buatan (AI), digitalisasi hukum, dan media visual keagamaan menantang metodologi ijtihad tradisional. Dalam tulisan ini dibahas dua kasus kontemporer: pemanfaatan AI dalam ruang fatwa, dan produksi film animasi Islami. Melalui pendekatan qiyas dan istihsan, serta dialog dengan lima pemikiran ulama otoritatif, tulisan ini menguraikan bagaimana ijtihad tetap relevan sebagai praksis hukum dan etika.
Pendahuluan
Ijtihad tidak lahir dari ruang kosong. Ia merespons kebutuhan, keterdesakan zaman, serta upaya menjawab kekosongan hukum melalui alat-alat yang diakui syariat. Seiring masuknya teknologi mutakhir seperti AI ke dalam ranah hukum Islam, ijtihad diuji: apakah ia sanggup menavigasi etika baru, atau justru tertinggal oleh zaman?
Sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
I. Fatwa Digital dan AI: Sebuah Medan Ijtihad Baru
A. Permasalahan Etika dan Kewenangan
AI kini mampu memproduksi keputusan berbasis data dan algoritma. Namun, apakah perangkat tanpa ruh dapat terlibat dalam produksi hukum Tuhan? Etika digital menjadi pertanyaan penting. Dalam konteks AI sebagai alat bantu berfatwa, yang dikhawatirkan bukan hanya akurasi, tetapi otoritas dan tanggung jawab moral.
B. Qiyas: Analogi Hukum terhadap Mushaf Digital
Komponen | Penjelasan |
---|---|
Asl (Pokok) | Mushaf digital – teknologi yang menyimpan wahyu dalam bentuk aplikasi. Tidak membawa hukum tersendiri, tetapi tunduk pada penggunaannya. |
Far’u (Kasus Baru) | Artificial Intelligence – sistem yang mampu memberikan saran atau keputusan fatwa secara otomatis. |
Illat (Sebab Hukum) | Alat bantu dalam menyampaikan atau merujuk hukum, tanpa menjadi otoritas hukum itu sendiri. |
Hukum Asl | Mubah, karena teknologi hanya sarana. |
Hukum Far’u | Maka, penggunaan AI dalam fatwa diperbolehkan (mubah), asalkan tidak menggantikan otoritas manusia sebagai mufti. |
Referensi:
- Al-Ghazali, al-Mustashfa, Juz 2, hal. 237
- Ibn Qudamah, Rawdhatun Nadhir, hal. 192
C. Istihsan: Fleksibilitas demi Maslahat
Dalam kasus tertentu, AI bisa menganalisis data hukum dan sosial lebih cepat dari manusia. Dalam situasi darurat seperti pandemi atau bencana besar, keputusan cepat dari sistem AI yang terprogram oleh fuqaha bisa menjadi bentuk istihsan.
- Istihsan bi al-‘Urf: Mengikuti kebiasaan modern yang membutuhkan kecepatan dan efisiensi.
- Istihsan bi al-Maslahah: AI digunakan untuk kebutuhan publik (hajat al-nas), misalnya dalam aplikasi fatwa digital darurat di zona konflik.
Referensi:
- Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, Jilid 2, hal. 92
- Abu Bakr al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, dalam pembahasan istihsan
II. Film Animasi Islami dan Representasi Visual
A. Permasalahan Hukum Gambar dan Visualisasi Tokoh Suci
Banyak film animasi edukatif untuk anak-anak yang menampilkan kisah para nabi atau sahabat. Pertanyaan fiqh-nya: apakah animasi termasuk gambar yang dilarang? Apakah visualisasi Nabi hanya untuk hiburan?
B. Qiyas: Analogi dengan Lukisan atau Wayang
Komponen | Penjelasan |
---|---|
Asl | Lukisan makhluk hidup – yang dilarang jika menyerupai ciptaan Allah untuk disembah atau diagungkan. |
Far’u | Film animasi Islami – menampilkan tokoh-tokoh sejarah Islam dengan suara, gerak, dan narasi. |
Illat | Visualisasi bernyawa dengan potensi penyimpangan teologis atau pengultusan. |
Hukum Asl | Makruh jika ada potensi syirik, haram bila disengaja untuk disembah, tetapi bisa mubah bila untuk edukasi. |
Hukum Far’u | Mubah (bahkan dianjurkan) jika ditujukan untuk dakwah, pendidikan, dan tanpa menimbulkan fitnah. |
Referensi:
- Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Bukhari, Kitab al-Libas
- Al-Nawawi, Syarh Muslim, Bab Larangan Gambar
C. Istihsan: Demi Tujuan Pendidikan dan Dakwah
- Istihsan bi al-Maslahah: Film animasi Islami membawa pesan edukatif yang menjangkau anak-anak dan generasi muda dengan cara yang sesuai zaman.
- Istihsan bi al-‘Urf: Budaya visual kini menjadi media dakwah paling efektif. Maka, penggunaan animasi menjadi mustahsan selama menjaga adab dan tidak menampilkan wajah Nabi secara eksplisit.
Referensi:
- Al-Karakhy, al-Usul, hal. 101
- al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Juz 6, hal. 28
III. Pendapat Ulama Otoritatif dan Referensinya
- Yusuf al-Qaradawi: Fiqh al-Muwazanat (1998), menekankan bahwa pendekatan hukum Islam harus mempertimbangkan keseimbangan antara maslahat dan mafsadat.
- Ali Jum’ah: Dar al-Ifta al-Misriyya (2019), menyatakan bahwa teknologi seperti AI boleh digunakan dalam fatwa, selama bukan pengganti mufti manusia.
- Ibnu ‘Asyur: Maqashid al-Shari’ah al-Islamiyyah (2001), menekankan bahwa tujuan utama syariat adalah pemeliharaan lima hal pokok.
- Fazlur Rahman: Islam and Modernity (1982), menyebut bahwa teks harus dibaca secara kontekstual. Ijtihad harus dipahami sebagai usaha historis.
- Muhammad Said Ramadan al-Buthi: Dhawabit al-Maslahah fi al-Shari’ah al-Islamiyyah, fatwa kontemporer membutuhkan perangkat ijtihad yang fleksibel.
Penutup: Ijtihad sebagai Nafas Peradaban
Ijtihad bukanlah pembacaan beku atas teks masa lalu, melainkan dialog kritis dan penuh tanggung jawab dengan kenyataan hidup umat Islam hari ini. Ketika AI dan media digital masuk ke ruang keislaman, tantangan etis menjadi panggilan bagi para mujtahid: bukan hanya memutuskan hukum, tetapi merawat nilai dan kemanusiaan.