Doa, Penjara Dunia, dan Etika Spiritual: Membaca Ulang Kehidupan dalam Perspektif Sufistik Doa, Penjara Dunia, dan Etika...
Doa, Penjara Dunia, dan Etika Spiritual: Membaca Ulang Kehidupan dalam Perspektif Sufistik
Oleh: Robby Andoyo
Doa telah lama dipahami sebagai senjata spiritual umat beriman. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Rasulullah ﷺ bersabda:
الدُّعَاءُ سِلاحُ الْمُؤْمِنِ، وَعِمَادُ الدِّينِ، وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Doa adalah senjata orang mukmin, tiang agama, dan cahaya langit serta bumi.”
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, no. 1813)
Dalam tradisi Islam, doa tidak hanya menjadi bentuk pengharapan, tetapi juga afirmasi spiritual atas keterbatasan manusia. Bahkan, dalam hadis lain disebutkan:
لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ
“Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa.”
(HR. at-Tirmidzi, no. 2139)
Doa sebagai Wujud Usaha Spiritual
Dalam pandangan sufistik, doa merupakan bentuk penghambaan tertinggi karena memuat pengakuan total atas kelemahan manusia dan pengharapan penuh pada kasih sayang Ilahi. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa doa adalah bentuk tawajjuh (menghadap secara total) kepada Tuhan; ia adalah pertemuan antara kehendak jiwa dan iradah Tuhan.
Dengan kata lain, doa adalah usaha. Tetapi bukan usaha lahiriah, melainkan usaha batiniah yang murni. Dalam terminologi sufi, ini disebut mujahadah an-nafs: perjuangan spiritual melawan egosentrisme dan ketakberdayaan.
Antara Dunia dan Penjara Orang Beriman
Dunia dalam pandangan spiritual Islam bukan tempat kutukan, tetapi tempat ujian. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ، وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.”
(HR. Muslim, no. 2956)
Kata “penjara” (سجن) di sini bersifat metaforis: bukan berarti penderitaan lahiriah, tetapi keterikatan ruhani terhadap dunia yang membelenggu jalan menuju Tuhan. Seorang mukmin, meski bergelimang harta, tetap hidup dalam penjara jika ia lalai menunaikan amanah sosial. Al-Qur’an mengingatkan:
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا
“Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.”
(QS. Al-Insan: 8)
Jika seorang mukmin menimbun kekayaan tanpa memedulikan tetangganya yang kelaparan, maka sesungguhnya kekayaan itu bukan berkah, melainkan jeruji penjara ruhani.
Ilmu dan Akal dalam Melandasi Kebaikan
Tidak ada kebaikan tanpa ilmu. Sebagaimana al-Syafi’i menegaskan, “Barang siapa yang menginginkan dunia, hendaklah dengan ilmu; dan barang siapa yang menginginkan akhirat, hendaklah dengan ilmu; dan barang siapa yang menginginkan keduanya, hendaklah juga dengan ilmu.”
(Manaqib al-Imam al-Shafi’i, Ibn Abi Hatim)
Al-Qur’an pun menyatakan secara tegas:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar: 9)
Spirit kebaikan sejati hanya akan memiliki arah dan orientasi yang benar bila dibingkai oleh akal dan ilmu. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah bahwa “ilmu adalah cahaya yang menuntun amal.” Tanpa ilmu, kebaikan bisa jadi hanyalah sentimentalitas kosong.
Anak di Masjid dan Bijaknya Orang Tua
Membawa anak ke masjid saat shalat Jumat tentu sebuah bentuk pendidikan dini yang baik. Namun idealnya, seperti disarankan oleh banyak fuqaha, anak-anak mulai diajak shalat jamaah secara konsisten sejak usia tujuh tahun. Rasulullah ﷺ bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun.”
(HR. Abu Dawud, no. 495)
Anak-anak yang terlalu kecil berisiko mengganggu kekhusyukan jamaah. Maka tanggung jawab orang tua adalah menakar antara mendidik dan menjaga adab jamaah. Ini adalah bentuk kebijaksanaan yang lahir dari adab dan ilmu.
Kesadaran sebagai Jalan Menuju Kebebasan Ruhani
Doa bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan penguatan batin dalam menghadapi kenyataan. Ia adalah ikhtiar spiritual yang meretas batas-batas keterbatasan manusia. Ketika dunia menjadi penjara, hanya doa yang menjadi cahaya. Maka al-Qur’an pun mengingatkan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
(QS. Al-Baqarah: 152)
Dalam semangat inilah, pengabdian spiritual bukan sekadar ritual, tetapi keterlibatan penuh jiwa dan akal dalam menata dunia dengan ruhani yang jernih. Sebagaimana dikatakan oleh seorang kiai pembaharu, “Iman bukan pelarian dari dunia, tapi cara kita menaklukkannya tanpa kehilangan cinta.”
Penutup: Spiritualitas sebagai Kompas Zaman
Zaman modern menawarkan kompleksitas luar biasa. Namun dalam pusaran itu semua, doa, ilmu, dan adab tetap menjadi kompas utama. Dunia boleh saja luas, tetapi bagi orang yang lupa pada tanggung jawab sosial dan spiritual, ia akan menjadi sempit seperti penjara. Maka, marilah memaknai kehidupan bukan semata sebagai peristiwa lahiriah, tetapi juga sebagai perjalanan batin yang menyadarkan kita bahwa setiap sujud, setiap dzikir, dan setiap doa—adalah jalan pulang menuju Tuhan.
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجٗا • وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2-3)
Daftar Referensi Akademik
- Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005.
- Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftah Dar al-Sa’adah, Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2013.
- Al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Saghir, Kairo: Maktabah al-Khanji, 2000.
- Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1998.
- Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
- Ulil Abshar Abdalla, “Islam dan Spirit Zaman”, dalam segmen Lesehan, THE AUTHORITY, YouTube, 2025.
- Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.