Kesuksesan Para Ulama Nusantara: Jejak Keilmuan, Spirit Kebangsaan, dan Tantangan Kontemporer Kesuksesan Para Ulama N...
Kesuksesan Para Ulama Nusantara: Jejak Keilmuan, Spirit Kebangsaan, dan Tantangan Kontemporer
Oleh: Robby Andoyo
Pendahuluan
Ulama Nusantara menempati posisi sentral dalam sejarah kebangsaan, pendidikan, dan kebudayaan Indonesia. Mereka bukan sekadar pengajar ritual atau komentator teks; mereka adalah pembentuk praktik sosial, perumus gagasan kebangsaan, dan penjaga etika publik. Keberhasilan mereka diukur bukan semata popularitas, tetapi kemampuan menerjemahkan ajaran suci ke dalam program-program konkret yang memperbaiki kehidupan masyarakat, menjaga persatuan, dan membangun peradaban.
Tulisan ini mengurai jejak keilmuan dan strategi moral sejumlah ulama Nusantara — termasuk Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Said Aqil Siradj—dan mengkaji tema-tema sentral: tafsir ayat kunci tentang pluralitas dan takwa, makna Resolusi Jihad dalam perspektif Islam moderat, peran santri sebagai mundzirul qawm, kritik terhadap kultus nasab, serta jihad moral melawan korupsi. Pendekatan yang digunakan bersifat teks-konteks dengan nuansa sufistik-modern: memadukan kedalaman spiritual dengan ketajaman analitis.
Tafsir Al-Hujurat 13: Pluralitas sebagai Kondisi Etis dan Epistemik
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini sering dibaca sebagai penegasan normatif bahwa takwa adalah ukuran kemuliaan. Namun, tafsir yang bernuansa sufistik-modern menawarkan pembacaan yang lebih lapang: pluralitas tidak hanya diberi legitimasi, tetapi dimaknai sebagai sumber epistemik—sumber ilmu dan pengayaan nilai. Dalam pengertian ini, perbedaan etnis, bahasa, dan kebudayaan menjadi 'ruang bacaan' yang memungkinkan umat saling belajar, bukan objek dominasi.
Pendekatan sufistik-modern menempatkan takwa sebagai kapasitas spiritual yang berimplikasi sosial: takwa bukan sekadar khusyuk personal melainkan praktik pelayanan yang menegakkan keadilan, mendidik masyarakat, dan merawat kemanusiaan. Oleh karena itu, kemuliaan yang dijanjikan bukan warisan genealogis tetapi hasil kerja etis: ilmu yang diamalkan, kejujuran yang ditegakkan, dan karya yang memperbaiki masyarakat.
KH. Hasyim Asy'ari dan Resolusi Jihad: Fatwa sebagai Instrumen Pembelaan Kemanusiaan
Pada 22 Oktober 1945, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad. Fatwa ini menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan dari upaya penguasaan kembali penjajah adalah bagian dari kewajiban agama. Jika dibaca dari perspektif maqāṣid al-syāri‘ah, fatwa itu menempatkan perlindungan jiwa, agama, dan kebebasan sebagai nilai prioritas yang wajib dipertahankan.
Teks inti Resolusi Jihad (intisari): mempertahankan kemerdekaan merupakan kewajiban agama karena ancaman kolonialisme merampas martabat serta hak hidup rakyat.
Penting diingat: pembacaan modern terhadap Resolusi Jihad harus menegaskan dua hal: pertama, fatwa sebagai legitimasi pembelaan kolektif ketika eksistensi masyarakat terancam; kedua, perlunya batas etis—ketentuan “la ta‘tadū” (jangan melampaui batas). Fatwa tidak memberi ruang untuk tindakan kejam yang melewati tujuan pembelaan; ia memanggil umat untuk bertindak proporsional dan menjaga martabat kemanusiaan.
Dalam konteks masa kini, semangat fatwa tersebut relevan ketika menghadapi ancaman struktur—seperti kolonialisme ekonomi, eksploitasi sumber daya, dan penindasan sistemik—yang menggerogoti kemerdekaan substantif rakyat. Para ulama yang mengeluarkan fatwa dalam situasi seperti itu berperan merumuskan etika perlawanan yang bukan hanya sah secara teologis tetapi juga bermartabat dan berorientasi pemulihan sosial.
Gus Dur: Islam Nusantara sebagai Praktik Rahmah dan Diplomasi Kebudayaan
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meredefinisi peran ulama dalam ruang publik: bukan sekadar penafsir teks, tetapi negarawan budaya yang memprioritaskan kemanusiaan. Gagasan Islam Nusantara yang dipromosikan olehnya menekankan inkulturasi, dialog, dan praktek kebajikan sosial. Bagi Gus Dur, rahmah bukan sentimentalitas; ia adalah prinsip etis yang harus diaktualisasikan lewat kebijakan, advokasi hak asasi, dan dialog lintas agama.
Di arena internasional, Gus Dur menjadikan organisasi tradisional (seperti NU) sebagai aktor soft power—memperkenalkan wajah Islam yang inklusif, plural, dan kemanusiaan. Dalam terminologi sufistik-modern, rahmah adalah energi spiritual yang dikonversi menjadi etika publik: membela kemiskinan, menegakkan toleransi, dan merawat keanekaragaman sebagai modal bersama.
KH. Said Aqil Siradj: Pendidikan Tinggi, Khitah, dan Tsaqāfah
KH. Said Aqil Siradj menggambarkan profil ulama yang menjembatani pesantren klasik dan institusi akademik modern. Pendidikan tinggi yang ditempuhnya dan aktivitas intelektualnya mendorong keterbukaan metodologis: pengujian klaim historis, analisis tekstual yang kritis, dan penempatan tradisi pesantren dalam wacana global.
Khitah NU yang ditegaskan beliau—organisasi berkhidmat untuk keagamaan dan kebangsaan tanpa menjadi alat politik praktis—mengilustrasikan bagaimana institusi keagamaan dapat memelihara otonomi normatifnya sambil berkontribusi pada pembangunan sosial. Tsaqāfah (budaya ilmu) yang dipromosikan menjadi kunci untuk menjadikan pesantren sebagai pusat produksi pengetahuan, bukan sekedar reservoir tradisi.
Santri sebagai Mundzirul Qawm: Peran Pendidikan dan Peringatan
فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَهُوا فِي الدِّينِ
“Mengapa tidak pergi beberapa orang dari tiap golongan untuk memperdalam ilmu agama …” (QS. At-Taubah: 122)
Ayat ini menegaskan fungsi pendidikan dan tanggung jawab sosial: kelompok-kelompok tertentu wajib memperdalam ilmu agar dapat memberi peringatan dan panduan bagi kaumnya. Dalam konteks modern, santri yang ideal adalah mereka yang keluar dari ruang pesantren—masuk ke universitas, birokrasi, media, dan lembaga riset—serta mengkonkretkan ilmu mereka menjadi kebijakan, pendidikan, dan advokasi publik.
Perlu reformasi kurikulum pesantren yang menjaga identitas keilmuan klasik (nahwu, tafsir, fiqh) sambil menambahkan literasi digital, metodologi ilmiah, dan kompetensi kebijakan publik—agar pesantren menghasilkan kader yang mampu menjawab problem kemiskinan, ketidakadilan, dan disinformasi.
Islam yang Merangkul Tradisi: Kaidah, Praktik, dan Contoh Kontemporer
Kaidah ushul fiqh al-‘ādah muḥakkamah (adat dapat dijadikan pertimbangan hukum jika tidak bertentangan dengan syariat) memberi legitimasi metodologis bagi inkulturasi. Di Nusantara, tradisi seperti selametan, tahlilan, maulid, seni rebana, wayang, dan gamelan telah menjadi medium dakwah yang efektif—menerjemahkan nilai-nilai etika dalam bahasa budaya setempat.
Dalam perspektif sufistik-modern, ritual dan seni tradisi memerankan fungsi psikologis dan sosial: mereka menyusun memori kolektif, menyalurkan nilai moral, dan meneguhkan solidaritas komunitas. Contoh kontemporer yang relevan: penggunaan pertunjukan seni untuk kampanye kesehatan publik, program literasi agama berbasis kesenian lokal, serta festival budaya yang mempromosikan pluralisme sebagai aset diplomasi budaya.
Kritik terhadap Glorifikasi Nasab: Tafsir, Praktik, dan Relevansi Socio-politik
Glorifikasi keturunan—klaim keistimewaan semata karena garis nasab—menjadi tantangan etis ketika menggeser pengukuran moral dari tindakan ke simbol. Dalam kerangka Al-Hujurat:13, legitimasi bukan berasal dari silsilah melainkan dari takwa. Oleh karena itu, diskursus publik perlu menegaskan kriteria baru: akhlak, kontribusi pendidikan, pembelaan keadilan, dan pelaksanaan pelayanan sosial.
Di Indonesia, problem ini muncul saat status sosial dipakai untuk menutup praktik meragukan atau melanggar hukum. Kritik ulama intelektual menekankan verifikasi historis dan penilaian berbasis bukti: gelar atau predikat religius harus selaras dengan jejak amal nyata. Pendekatan ini menegakkan meritokrasi moral yang memadukan standar akademik dengan etika publik.
Ketajaman Sosial Gus Dur: Intuisi, Jaringan, dan Keberanian Moral
Anekdot tentang 'ramalan' Gus Dur sebaiknya dibaca sebagai pengakuan atas ketajaman analitisnya: kemampuan membaca pola sosial, mengenali karakter, dan merumuskan tindakan moral. Intuisi ini lahir dari kombinasi pengalaman historis, jaringan intelektual, dan komitmen moral—bukan sekadar klaim supranatural.
Ketepatan prediksinya sering kali berasal dari pemahaman mendalam terhadap struktur sosial: siapa yang memiliki modal moral, siapa yang berpotensi berubah, dan bagaimana momentum politik dapat dimobilisasi demi nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah bentuk kepemimpinan moral yang berbasis realpolitik etis.
Jihad Anti-Korupsi: Redefinisi Jihad di Negara Hukum
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud)
Korupsi merusak maqāṣid syāri‘ah: menghambat keadilan, merampas hak hidup yang layak, dan menghancurkan kesejahteraan publik. Ulama yang memilih posisi aktif melawan korupsi—melalui pendidikan etika, advokasi hukum, atau dukungan kepada institusi pencegah—melakukan jihad moral yang relevan di era modern. Ini menuntut strategi multi-kanal: pendidikan akar rumput, ceramah yang berorientasi kebijakan, kerja sama dengan lembaga penegak hukum, dan pengembangan budaya akuntabilitas.
Praktik sukses di beberapa daerah memperlihatkan bahwa ketika ulama meneguhkan pesan anti-korupsi dalam retorika agama dan program komunitas, efeknya lebih tahan lama ketimbang kampanye parsial oleh aktor non-agama. Oleh karena itu, penguatan kapasitas ulama untuk memahami tata kelola publik adalah langkah strategis.
Pancasila dan Sintesis Keindonesiaan: Peran Ulama dalam Menjaga Rumah Bersama
Pancasila menyediakan kerangka konstitusional bagi kehidupan berbangsa yang plural. Ulama Nusantara yang meyakini prinsip keadilan, persatuan, dan kemanusiaan melihat Pancasila tidak sebagai penyangga sekuler, melainkan berefleksi: nilai-nilai Qur’ani tentang keadilan dan kemanusiaan dapat berintegrasi dengan semangat Pancasila. Kepemimpinan Gus Dur dalam menegaskan relasi ini menunjukkan bahwa ulama dapat menjadi mediator antara nilai agama dan konsensus kebangsaan.
Dalam praktik, ini menuntut terjemahan konkret: kurikulum pendidikan yang inklusif, kebijakan yang melindungi hak minoritas, dan ruang publik yang menjaga kebebasan beragama sambil mempromosikan tanggung jawab sosial. Ulama berperan menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan kohesi sosial sehingga bangsa tidak terpecah oleh klaim eksklusif.
Tantangan Kontemporer dan Rekomendasi Kebijakan
Ulama Nusantara menghadapi tantangan signifikan: disinformasi di ruang digital, komodifikasi agama oleh aktor partisan, tekanan ekonomi yang memperlemah basis sosial pesantren, serta kebutuhan mendesak untuk kurikulum yang relevan. Berikut beberapa rekomendasi praktis:
- Modernisasi kurikulum pesantren: integrasi literasi digital, metodologi ilmiah, dan pengantar kebijakan publik tanpa menghilangkan kurikulum tradisional.
- Verifikasi gelar keagamaan: dukungan lembaga riset independen untuk verifikasi klaim genealogis dan catatan keilmuan, sekaligus standar etik publik.
- Kolaborasi anti-korupsi: kemitraan antara pesantren, ormas keagamaan, LSM, dan institusi penegak hukum untuk pendidikan integritas.
- Diplomasi kebudayaan: program pertukaran kebudayaan yang mempromosikan Islam Nusantara sebagai model pluralisme damai.
- Pendidikan multikultural: kurikulum nasional yang memuat literasi lintas budaya dan agama untuk generasi muda.
Penutup: Menghargai Ulama, Menjaga Peradaban
Ulama Nusantara adalah penjaga naskah moral bangsa; di dalam sunyi pengajian mereka, lahir gagasan yang menyelamatkan ruang publik. Keberhasilan mereka terletak pada kemampuan merawat tradisi sekaligus bersikap adaptif terhadap perubahan zaman. Tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat ulama bukan sebagai monumen yang harus dipuja tanpa kritis, tetapi sebagai mitra kritik dan konstruksi sosial—figur yang diuji bukan oleh label, melainkan oleh karya.
Jika bangsa ingin berdaulat dan beradab, maka pengakuan terhadap jasa ulama harus diwujudkan dalam kebijakan yang mendukung pendidikan, penelitian, dan etika publik. Pendidikan pesantren yang modern, lembaga verifikasi yang kredibel, serta peran ulama dalam anti-korupsi dan diplomasi kebudayaan adalah langkah konkrit. Akhirnya, kearifan sufistik-modern mengingatkan: iman adalah cahaya yang menuntun tindakan; ilmu tanpa amal adalah potret kosong; dan tradisi tanpa pembaruan adalah museum—keduanya harus hidup berdampingan. Semoga generasi kini mampu meneruskan estafet itu dengan keberanian intelektual dan ketulusan moral.
Referensi Pilihan
- Al-Qur'an al-Karim (teks Arab dan terjemahan resmi bahasa Indonesia).
- Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari — arsip fatwa dan tulisan sejarah (Resolusi Jihad, 1945).
- KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) — biografi, karya, dan kumpulan pidato.
- KH. Said Aqil Siradj — ceramah, tulisan, dan dokumen lembaga PBNU.
- Quraish Shihab — Tafsir al-Mishbah (untuk pendekatan tafsir kontemporer).
- Martin van Bruinessen — studi tentang NU, pesantren, dan modernitas.
- Studi akademik tentang Islam Nusantara, modernisasi pesantren, dan peran ulama dalam politik kebudayaan.