Mustajiddat di Dunia Entertainment: Film Animasi dalam Pandangan Fikih Label: Fikih Kontemporer, Mustajiddat, Budaya Pop, Refleksi ...
Mustajiddat di Dunia Entertainment: Film Animasi dalam Pandangan Fikih
Label: Fikih Kontemporer, Mustajiddat, Budaya Pop, Refleksi Keimanan
Penulis: Robby Andoyo
Pendahuluan
Perkembangan zaman tak hanya membawa perubahan dalam bidang ekonomi dan teknologi, tetapi juga dalam medan sosial dan kultural, termasuk dunia hiburan. Di sinilah muncul apa yang oleh para ulama disebut sebagai mustajiddat, yakni fenomena-fenomena baru yang belum ada preseden hukumnya secara eksplisit dalam kitab-kitab fiqih klasik.
Salah satu bentuk mustajiddat yang perlu dicermati hari ini adalah kemunculan film animasi modern yang menggabungkan teknologi, narasi imajinatif, serta nilai-nilai budaya global yang lintas batas agama. Sebuah contoh aktual adalah film animasi K-Pop Demon Hunter dan lagu temanya, “Your Idol”, yang viral dan bertengger di puncak daftar Spotify global. Lagu ini bercerita tentang “iblis” yang menawarkan diri sebagai pelindung orang-orang yang membaca ayat-ayat suci.
Sekilas, narasi ini tampak problematik dan bisa memicu vonis keagamaan yang keras. Namun, apakah vonis semacam itu adil jika langsung dijatuhkan tanpa membedakan antara wilayah hukum, wilayah keimanan, dan wilayah imajinasi?
Imajinasi sebagai Ruang Ijtihad
Dalam tradisi Islam, ijtihad adalah instrumen utama untuk menjawab masalah-masalah kontemporer. Dalam hal ini, hiburan seperti musik dan animasi bisa dianggap sebagai hasil dari ijtihad budaya yang merepresentasikan kreativitas manusia. Tak semua ekspresi seni harus dikurung dalam kerangka literal keimanan yang rigid. Seni adalah ruang simbolik yang menggunakan bahasa metafor dan alegori untuk menyampaikan pesan, bukan kitab syariat yang mengikat dengan hukum.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Ma’idah: 105)
Ayat ini menegaskan prinsip tanggung jawab personal dalam menjaga iman. Artinya, selagi seseorang tidak tergelincir dari orientasi kebenaran, maka kontak dengan simbol-simbol asing atau bahkan negatif, tidak serta merta mengancam keimanannya.
Ulama dan Seni: Sebuah Perspektif
Beberapa ulama otoritatif memiliki pandangan yang lebih lentur terhadap seni, termasuk musik dan hiburan:
- Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menulis bahwa suara yang merdu dan nyanyian bisa melembutkan hati dan memperkuat spirit ketakwaan, selama tidak mengandung unsur maksiat.
- Ibnu Hazm al-Andalusi, dalam al-Muhalla menyatakan bahwa musik itu mubah (boleh) dan tidak ada satu pun dalil sahih yang mengharamkannya.
- Syaikh Yusuf al-Qaradawi, dalam bukunya Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, membagi musik ke dalam beberapa kategori, dan menyatakan bahwa musik yang baik dan tidak membawa pada keburukan, tidak haram.
Pandangan-pandangan ini memperlihatkan bahwa hukum atas seni, termasuk musik dan animasi, sangat bergantung pada konteks, niat, dan dampak.
Mengapa Mustajiddat Tidak Bisa Dihukumi Secara Hitam-Putih
Sikap tergesa-gesa dalam mengharamkan film, lagu, atau karya animasi karena memakai simbol-simbol non-Islam sejatinya bertentangan dengan prinsip maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Syariat tidak datang untuk membungkam kreativitas, tetapi untuk menjaga lima prinsip utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Narasi film seperti Demon Hunter tidak ditujukan untuk mengajarkan syirik, melainkan untuk mengajak berpikir ulang tentang batas-batas antagonisme dan protagonisme dalam budaya populer. Ini adalah hasil “ijtihad seni” yang sah untuk dibaca, ditonton, bahkan diapresiasi—selama keimanan tetap terjaga.
Kesimpulan
Menjadi seorang mukmin bukan berarti harus alergi terhadap segala bentuk hiburan dari luar tradisi Islam. Justru, di era mustajiddat, orang beriman harus lebih bijak dalam membedakan antara nilai yang prinsipil dan yang simbolik. Kematangan spiritual tidak diukur dari seberapa banyak seseorang mengharamkan seni, tetapi dari seberapa dalam ia memahami batas-batas agama, hukum, dan imajinasi.
“Berislam tidak selalu harus berarti menghindari dunia. Kadang, justru melalui dunia lah seseorang bisa lebih mengenal dan mencintai Tuhannya.”
Daftar Referensi
- Al-Qur’an al-Karim, Surah Al-Ma’idah ayat 105
- Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din
- Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar
- Yusuf al-Qaradawi, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam
- Artikel-artikel kontemporer tentang Mustajiddat dan Fikih Budaya