Negara, Kekerasan, dan Harapan Akan Keadilan Negara, Kekerasan, dan Harapan Akan Keadilan Film Breaking Bad bukan seka...
Negara, Kekerasan, dan Harapan Akan Keadilan
Film Breaking Bad bukan sekadar tontonan kriminal. Ia adalah cermin gelap dari dinamika kekuasaan, tekanan hidup, dan absurditas moral dalam masyarakat modern. Walter White, guru kimia yang berubah menjadi produsen narkoba, bukanlah sekadar tokoh fiksi. Ia representasi dari sosok yang terdorong melakukan kekerasan karena sistem tidak menyediakan pilihan bermartabat untuk bertahan hidup.
Dalam dunia Walter, kekerasan bukan kejahatan, melainkan "negosiasi" untuk eksistensi. Itulah dunia pra-negara yang oleh filsuf Thomas Hobbes digambarkan sebagai bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Dunia seperti itu tak memiliki aturan moral, hanya hukum rimba. Maka hadirnya negara seharusnya menjadi harapan: penakluk kekacauan dan pelindung dari kekerasan.
Negara Mengelola Kekerasan?
Max Weber, sosiolog Jerman terkemuka, menyatakan bahwa negara adalah satu-satunya entitas yang berhak memonopoli penggunaan kekerasan secara sah. Dalam teori Weber, kekerasan tidak pernah benar-benar hilang, tapi dikontrol, diatur, dan dialihkan untuk menjaga keteraturan sosial.
Namun ini melahirkan pertanyaan etis: bagaimana jika negara sendiri menjadi pelaku kekerasan atas nama hukum? Ketika aparat dikerahkan untuk membungkam kritik, saat kebijakan publik mencederai rasa keadilan, dan saat suara rakyat dianggap ancaman, maka negara tidak lagi sekadar mengelola kekerasan—ia memproduksi dan melegitimasinya.
Pandangan Harari: Kekerasan Bisa Dikendalikan
Yuval Noah Harari dalam Homo Deus menyampaikan fakta menarik: manusia saat ini hidup di masa paling damai dalam sejarah. Kekerasan fisik menurun drastis. Di masyarakat agraris kuno, 15% kematian disebabkan oleh kekerasan. Pada abad ke-20, angkanya turun menjadi 5%.
Ini menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah takdir. Ia bisa dikendalikan. Manusia punya potensi luar biasa untuk menciptakan dunia yang lebih manusiawi—selama negara benar-benar hadir sebagai pelindung, bukan pelaku ketakutan.
Kritik Konstruktif: Negara Jangan Jadi Pemicu Derita
Di tengah dinamika kebijakan yang kontroversial, publik sering merasa bahwa negara bukan menjadi solusi, melainkan masalah itu sendiri. Lihat saja saat bantuan sosial salah sasaran, kriminalisasi atas nama moralitas, atau undang-undang yang lahir tanpa partisipasi publik.
Imam Al-Ghazali dalam al-Iqtishad fil-I’tiqad menjelaskan, negara (atau kekuasaan) dibutuhkan untuk mencegah fitnah, yaitu kekacauan sosial. Tanpa pemimpin yang adil (imâmun muthâ’un), masyarakat akan tercerai-berai.
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)
Penutup: Menuju Negara yang Menyembuhkan
Negara ideal bukanlah yang memamerkan kekuatan, tetapi yang mampu menyembuhkan luka sosial, membuka ruang dialog, dan mengelola konflik dengan empati. Ia hadir bukan untuk menakuti, tetapi mengasuh. Di tengah meningkatnya kesadaran publik dan kuatnya suara masyarakat sipil, harapan untuk negara yang adil tetap menyala. Tugas kita hari ini adalah menjaga bara itu tetap hidup.
Ditulis oleh: Kang Robby
Untuk blog: Blog Kang Robby