Spirit Kemerdekaan dalam Pandangan Mistik Islam Spirit Kemerdekaan dalam Pandangan Mistik Islam Oleh: Robby Andoyo ...
Spirit Kemerdekaan dalam Pandangan Mistik Islam
Oleh: Robby Andoyo
Pendahuluan
Spirit kemerdekaan merupakan salah satu tema fundamental dalam kehidupan manusia modern. Bangsa yang merdeka tidak hanya ditandai dengan bebasnya dari kolonialisme, melainkan juga mampu mengelola kebebasan tersebut dalam bingkai nilai, moral, dan spiritualitas. Dalam tradisi Islam, kemerdekaan tidak hanya bermakna politis, tetapi juga spiritual.
Kaum sufi memandang kemerdekaan sejati bukan semata-mata terlepas dari penjajahan luar, melainkan juga kebebasan dari dominasi hawa nafsu dan belenggu duniawi. Mereka melihat bahwa kebebasan ruhani adalah fondasi bagi kemerdekaan lahiriah. Namun demikian, pertanyaan penting muncul: apakah dunia sufi kemudian menjadi abai terhadap perjuangan fisik dan sosial-politik dalam rangka membela tanah air?
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menggali relevansi ajaran mistik Islam terhadap perjuangan kemerdekaan, memaparkan peran tokoh sufi dan ulama Nusantara, serta menutup dengan refleksi sufistik yang mengena di hati.
Spirit Kemerdekaan dalam Perspektif Sufi
Kaum sufi selalu berbicara mengenai hurriyah (kebebasan) dalam dimensi yang lebih dalam. Kebebasan hakiki adalah ketika hati manusia tidak lagi terbelenggu oleh dunia, melainkan hanya terikat kepada Allah. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa inti kebebasan adalah terlepasnya qalb dari selain Allah, sehingga manusia benar-benar merdeka dalam pengabdian.
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia tidak diciptakan untuk diperbudak oleh sesama, melainkan untuk beribadah kepada Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
(QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
Dalam pandangan sufi, ayat ini adalah fondasi kemerdekaan spiritual. Seorang hamba yang tunduk kepada Allah saja tidak akan rela diperbudak oleh manusia ataupun sistem yang menindas. Dengan demikian, semangat pembebasan lahiriah memiliki akar yang kuat dalam pembebasan batiniah.
Relevansi Ajaran Mistik Islam dengan Kemerdekaan Bernegara
Ajaran mistik Islam memiliki relevansi besar dalam perjuangan kemerdekaan bernegara. Kaum sufi mengajarkan nilai kesabaran, keberanian, keikhlasan, serta cinta tanah air sebagai bagian dari iman. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
"Hubbul wathan minal iman" (Cinta tanah air adalah bagian dari iman).
Meski status hadis ini diperdebatkan, spiritnya telah menjadi inspirasi bagi para ulama Nusantara. Mereka menafsirkan cinta tanah air bukan sekadar emosional, tetapi bagian dari tanggung jawab spiritual untuk menjaga amanah Allah di bumi.
Al-Qur’an juga menekankan kewajiban menegakkan keadilan dan melawan penindasan:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
(QS. Al-Baqarah [2]: 190)
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
Ayat ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap penjajah adalah bagian dari jihad, selama dilakukan untuk membela diri dan menegakkan keadilan. Dengan demikian, kaum sufi yang sejatinya membebaskan diri dari nafsu duniawi, justru lebih kuat dalam menegakkan perlawanan karena motivasi mereka murni lillahi ta’ala.
Apakah Dunia Sufi Abai terhadap Perjuangan?
Tuduhan bahwa dunia sufi abai terhadap perjuangan kemerdekaan adalah pandangan yang tidak akurat. Memang, sebagian tarekat menekankan aspek kontemplasi, tetapi banyak ulama sufi justru menjadi garda terdepan dalam perlawanan.
Sejarah membuktikan bahwa Syekh Yusuf al-Makassari, seorang sufi besar, terlibat aktif dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda. Beliau diasingkan hingga ke Afrika Selatan karena pengaruh perlawanan spiritual dan politiknya yang besar. Begitu pula dengan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang mengeluarkan resolusi jihad melawan penjajah tahun 1945. Ulama sufi justru mengintegrasikan spiritualitas dan perjuangan fisik.
Dalil Qur’an yang memperkuat sikap ini adalah:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ
(QS. An-Nisa [4]: 75)
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu...'"
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa membela kaum tertindas adalah kewajiban agama. Maka, kaum sufi tidak abai, justru mereka berjuang dengan kesadaran spiritual yang lebih dalam.
Tokoh-Tokoh Sufi dan Ulama Nusantara
Peran ulama sufi Nusantara sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan:
- Syekh Yusuf al-Makassari – sufi besar asal Sulawesi, pejuang gigih yang diasingkan oleh Belanda karena gerakan perlawanan.
- KH Hasyim Asy’ari – ulama sufi, pendiri NU, penggerak resolusi jihad yang memotivasi rakyat Surabaya melawan penjajah.
- KH Ahmad Dahlan – meski dikenal rasionalis, beliau juga seorang pembaharu spiritual yang mengaitkan ibadah dengan kemajuan bangsa.
- Buya Hamka – ulama, sastrawan, dan sufi modern yang menekankan kemerdekaan spiritual sebagai basis perjuangan nasional.
- Syekh Abdul Rauf Singkel – ulama sufi Aceh, tokoh besar dalam penyebaran tarekat Syattariyah, yang menanamkan kesadaran kebangsaan dan keagamaan.
Mereka menunjukkan bahwa sufisme bukanlah penghambat perjuangan, melainkan fondasi moral yang menguatkan tekad bangsa untuk merdeka.
Penutup Sufistik
Kemerdekaan sejati adalah ketika lahir dan batin terbebas dari belenggu penindasan. Batin bebas dari hawa nafsu, lahir bebas dari penjajahan. Kaum sufi mengajarkan bahwa kedua dimensi ini tidak boleh dipisahkan.
Dalam bahasa Jalaluddin Rumi: "Sejatinya, engkau adalah jiwa yang bebas. Jangan ikatkan dirimu pada rantai dunia." Kalimat ini mengingatkan bahwa kemerdekaan bangsa akan hampa tanpa kemerdekaan hati. Sebaliknya, kemerdekaan spiritual menjadi nyata ketika bangsa berdiri tegak di atas nilai keadilan, kemanusiaan, dan tauhid.
Dengan demikian, spirit kemerdekaan dalam pandangan mistik Islam adalah ajakan untuk membangun bangsa yang berdaulat, adil, dan penuh kasih, tanpa kehilangan arah spiritualnya. Inilah warisan ulama Nusantara yang patut terus kita hidupkan.
Referensi
- Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
- Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah.
- Hamka, Tasawuf Modern.
- Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.
- Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara.
- Sejarah Resolusi Jihad NU (1945).