Fanatisme, Ideologi, dan Tantangan Tauhid Modern Fanatisme, Ideologi, dan Tantangan Tauhid Modern Oleh: Robby A...
Fanatisme, Ideologi, dan Tantangan Tauhid Modern
Oleh: Robby Andoyo
Pendahuluan
Dalam dinamika sosial kontemporer, sering kali ditemukan gejala yang meresahkan: pemaksaan cara hidup dan ideologi keagamaan atas nama kebenaran tunggal. Dalam konteks ini, fanatisme bukan lagi sekadar komitmen, melainkan telah berubah menjadi ancaman epistemik dan sosial. Fanatisme, sebagaimana ia tampak di berbagai lini, tak jarang menjelma menjadi sikap menolak multiple maslahat, yaitu keberagaman nilai-nilai kemaslahatan yang hidup dalam masyarakat.
Fanatisme dan Krisis Maslahat Umum
Seorang fanatik tidak berpikir dalam kerangka maslahat umum (maslahah ‘ammah), melainkan dalam ruang sempit kepuasan ideologis semata. Dalam situasi ini, keyakinan berubah menjadi instrumen dominasi, bukan medium pencarian hikmah. Padahal, Al-Qur’an telah memberikan rambu yang jelas:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat." (QS. Al-Baqarah: 256)
Ayat ini tidak hanya menolak paksaan secara ritual, tetapi juga menolak paksaan ideologis—baik dalam bentuk otoritarianisme agama maupun hegemoni sekuler yang memutlakkan dirinya sendiri.
Desakralisasi: Kritik terhadap Sakralisasi yang Tidak Perlu
Cendekiawan muslim terkemuka Indonesia, Nurcholish Madjid, pernah menawarkan gagasan penting tentang desakralisasi. Menurut beliau, umat Islam harus mampu membedakan antara nilai-nilai yang benar-benar sakral (wahyu, kenabian, Tuhan) dengan unsur-unsur budaya dan politik yang bersifat profan. Ketika sesuatu yang tidak sakral disakralkan, maka kita berada dalam krisis epistemologis dan teologis.
Sebaliknya, dalam ideologi sekular ekstrem, sering terjadi sebaliknya: sesuatu yang tidak bermoral dijadikan standar moral. Hal ini menyerupai apa yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai bentuk taghut, yakni penggantian posisi Tuhan oleh otoritas buatan manusia:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
"Maka apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?" (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Ideologi dan Berhala Baru
Tauhid bukan hanya pengakuan terhadap keesaan Tuhan, tetapi juga penolakan terhadap segala bentuk "berhala modern". Ketika ideologi—baik agama maupun sekuler—dianggap mutlak, maka ideologi itu telah berubah menjadi berhala. Seorang tokoh pernah mengatakan, “Akulah jalan,” dan klaim ini hanya pantas diucapkan oleh nabi yang mendapatkan legitimasi wahyu, bukan oleh para pejuang ideologi partisan yang mengklaim kebenaran total.
Multiple Maslahat dan Keseimbangan Nalar
Dalam peradaban yang plural, pendekatan multiple maslahat menjadi sangat penting. Konsep ini menyiratkan bahwa tidak ada satu formula tunggal untuk kebaikan. Kebenaran bisa bercabang dalam ekspresi sosial, dan masing-masing memiliki legitimasi bila bersandar pada maqasid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariat) seperti keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap lima prinsip dasar: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ketika seseorang menolak kemungkinan adanya banyak maslahat, ia cenderung menjadi eksklusif dan menyempitkan spektrum etis kehidupan. Padahal, dalam Islam sendiri, ulama klasik telah membuka ruang untuk keberagaman solusi dan pendapat. Imam Syafi’i pernah menyampaikan:
"Pendapatku benar tapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah tapi mungkin benar."
Pernyataan tersebut bukan hanya mencerminkan etika berdiskusi, tapi juga mencerminkan pengakuan terhadap adanya ruang maslahat yang majemuk dalam masyarakat. Ini sangat selaras dengan gagasan multiple maslahat, bahwa realitas sosial tidak monolitik, dan oleh karena itu, pendekatan terhadapnya juga harus pluralistik.
Fanatisme membunuh kemungkinan ini. Ia menolak pluralitas maslahat dan menuntut satu-satunya kebenaran dalam format tunggal. Sedangkan pendekatan Imam Syafi’i mengandung epistemic humility—kerendahan hati dalam klaim kebenaran—yang sangat dibutuhkan dalam ruang publik yang kompleks seperti saat ini.
Memahami Sekularisasi secara Cerdas
Sekularisasi menurut Nurcholish Madjid bukanlah sekularisme. Ia adalah proses netralisasi ruang publik agar semua bisa hidup bersama secara adil. Sayangnya, banyak pendukungnya justru memitoskan pemikirannya hingga lupa untuk terus mengkritisinya. Ini paradoks: membela nalar, tapi lupa berpikir kritis terhadap tokoh yang dielu-elukan.
Toleransi Imam Syafi’i dan Kerendahan Hati Intelektual
Imam Syafi’i berkata: “Pendapatku benar, tapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar.” Ini bukan hanya kerendahan hati, tetapi juga fondasi epistemologi Islam yang sehat. Bandingkan dengan wacana modern seperti yang diusung Cak Nur, keduanya sama-sama mengajak kita pada kesadaran bahwa kebenaran itu harus didekati secara open-ended, bukan tertutup dan final.
HTI vs Sekularisme Radikal: Dua Kutub Sama Rigid
Di satu sisi, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) memaksakan sistem khilafah global tanpa mempertimbangkan konteks pluralitas bangsa. Di sisi lain, sekularisme radikal menolak agama dari ruang publik secara total. Keduanya ekstrem, dan sama-sama tidak sehat bagi demokrasi maupun kemanusiaan. Islam mengajarkan jalan tengah: ummatan wasathan (umat yang moderat).
Ideologi Itu Penting, Tapi...
Tidak ada manusia tanpa ideologi. Tapi tidak semua harus tunduk pada kerangka ideologis. Ketika semua dibaca dengan lensa ideologi, maka kita kehilangan sisi manusiawi dan kepekaan spiritual. Ideologi harus menjadi alat, bukan tuan. Jika tidak, maka kebenaran berubah menjadi penjara.
Kembali ke Imam Syafi’i: Tawadhu dan Kesehatan Nalar
Kembali ke sikap Imam Syafi’i akan membimbing kita menjadi manusia yang sehat: tidak jumawa atas ide sendiri, tidak menutup ruang diskusi. Inilah yang disebut sebagai intellectual humility atau kerendahan hati epistemologis.
Klaim Kebenaran dan Bahaya Pemaksaan
Mengklaim kebenaran itu manusiawi. Tapi memaksakan kebenaran kita pada orang lain adalah bentuk kezaliman. Lihatlah contoh ekstrem: kelompok takfiri yang membid’ahkan semua orang, atau kelompok nasionalis-sekuler yang menertawakan orang beriman atas dasar “nalar”. Keduanya sama buruknya.
Penutup: Tauhid dan Kritik atas Pensakralan Palsu
Saatnya umat manusia kembali ke tauhid sebagai kritik terhadap segala bentuk pensakralan palsu. Baik dalam bentuk ideologi, figur, sistem, ataupun budaya. Tauhid mengajarkan pembedaan yang jernih dan adil antara Tuhan dan selain-Nya. Membedakan antara yang sakral dan yang sekadar simbolik. Membedakan antara kebenaran dan kemegahan palsu.
Dalam dunia penuh ilusi dan propaganda, kesadaran tauhid bukan hanya pernyataan iman, tapi juga mode of thinking. Kita tidak bisa membangun peradaban atas dasar kebencian, fanatisme, dan keangkuhan ideologis. Dunia butuh iman yang cerdas, bukan semangat yang buta.
Referensi
- Al-Qur’an al-Karim, Surah Al-Baqarah [2]: 256 dan Surah Al-Jatsiyah [45]: 23.
- Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1992.
- Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.
- Syafi’i, Imam. Ar-Risalah. Diterjemahkan dan disunting oleh berbagai penerbit kontemporer.
- Abou El Fadl, Khaled M. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. HarperOne, 2005.
- Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press, 1982.
- Al-Jabiri, Mohammed Abed. Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1986.
- Abu Zayd, Nasr Hamid. Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Casablanca: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990.